Upaya menjaga inflasi berfokus pada pengendalian harga pangan bergejolak dan bantuan langsung tunai Rp 11,25 triliun.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menetapkan target inflasi Indonesia sebesar 2,5 persen plus minus 1 persen pada 2025 hingga 2027. Upaya menjaga inflasi berfokus pada pengendalian harga pangan bergejolak dan penerapan program bantuan langsung tunai bernilai Rp 11,25 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, rapat Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) menyepakati sasaran inflasi 2025 hingga 2027 sebesar 2,5 persen plus minus 1 persen. Nantinya, acuan ini akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan.
Tahun ini, pemerintah menetapkan langkah kebijakan moneter dan fiskal guna mengendalikan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, juga dilakukan pengendalian harga pangan bergejolak (volatile food)yang ditargetkan terjaga di bawah 5 persen. Fokusnya pada komoditas beras, aneka cabai, dan aneka bawang.
”Kemudian jaga ketersediaan pasokan dengan distribusi pangan untuk mitigasi risiko jangka pendek dan antisipasi pergeseran musim panen, serta jaga harga menjelang hari besar keagamaan,” ujar Airlangga di Gedung Ali Wardhana, Jakarta, Senin (29/1/2024).
Dalam lima tahun terakhir, tingkat inflasi Indonesia berfluktuasi. Sebelum pandemi Covid-19, realisasi inflasi pada 2019 sebesar 2,72 persen secara tahunan. Angkanya menurun pada 2020 serta 2021 sebesar 1,68 persen dan 1,87 persen. Namun, terjadi kenaikan inflasi hingga menyentuh 5,51 persen pada 2022, melebihi target tahunan Bank Indonesia pada kisaran 2-4 persen. Hal ini dipicu kenaikan harga bahan bakar minyak. Selanjutnya pada 2023, tingkat inflasi Indonesia sebesar 2,61 persen secara tahunan.
Guna menjaga kestabilan inflasi pada tahun ini, pemerintah memutuskan akan melanjutkan bantuan pangan beras hingga Juni 2024. Setiap penerima manfaat akan mendapat bantuan 10 kilogram (kg) beras per bulan.
Pihaknya juga akan menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) mulai Februari mendatang dengan besaran Rp 200.000 per bulan. Bantuan ini menggantikan program BLT El Nino yang diterapkan pada tahun lalu.
BLT baru ini menargetkan 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan besaran anggaran yang disetujui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Program ini akan dievaluasi pada Maret ini, kemudian tindak lanjut akan ditentukan setelahnya.
Seusai konferensi pers, Sri Mulyani mengatakan, besaran dana BLT untuk tiga bulan pertama ini sebesar Rp 11,25 triliun. Bantuan ini diberikan untuk Januari hingga Maret 2024. Pemberian akan diberikan tiga bulan sekaligus. ”Nanti kami akan lihat kesiapan dari Kementerian Sosial,” kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, pemerintah menggelontorkan BLT El Nino bagi keluarga terdampak bencana kekeringan imbas fenomena musim kemarau berkepanjangan. Setiap keluarga menerima Rp 200.000 per bulan pada November-Desember 2023 untuk 18,8 juta keluarga. Total anggarannya sebesar Rp 7,52 triliun yang diambil dari anggaran tambahan Kemenkeu sebesar Rp 8,8 triliun (Kompas.id, 29/12/2023).
Target realistis
Menanggapi hal ini, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menyampaikan, target inflasi pemerintah 2024-2027 dapat dipahami. Tren ini berkaca dari perkembangan global dan dinamika perekonomian Indonesia saat ini.
”Jadi, ini cukup akal, diturunkan ke 2,5 persen (dari 3 persen plus minus 1 persen), apalagi tingkat inflasi Indonesia dan global belakangan ada di lower bound dari target Bank Indonesia sebelumnya. Ini revisi target yang realistis dan relevan,” tuturnya.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, target inflasi pemerintah masih tergolong normal. Hanya saja, harga pangan dan energi perlu diwaspadai.
Harga energi perlu diwaspadai karena konflik geopolitik yang belum mereda. Apalagi harga barang cenderung naik menjelang puasa yang jatuh pada Maret mendatang.
”Kondisi global ini juga belum normal sepenuhnya. Biasanya pemerintah akan lebih memilih kebijakan-kebijakan populis karena ini tahun politik, jadi bagi-bagi bantuan sosial, beras itu solusinya,” kata Esther.
Selain itu, inflasi harga pangan berkaitan erat dengan kondisi iklim. Namun, solusi pemerintah sejauh ini bersifat jangka pendek.