Masalah Sampah Bertumpuk Bikin Investor Tak Tertarik Masuk
Tarif retribusi sampah di Indonesia terlalu murah, tak menutup kebutuhan operasional pengelolaan sampah yang jumbo.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Di awal tahun ini, warga Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dibuat kalang kabut oleh wacana kenaikan retribusi sampah. Mengutip situs resmi Pemerintah Kabupaten Bekasi, besaran kenaikan tarif retribusi sampah rumah tangga mulai dari Rp 11.000-Rp 20.000, bergantung pada klasifikasi rumah.
Adin (39), warga Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, menilai cara mengatasi persoalan sampah di Kabupaten Bekasi seharusnya tak hanya bertumpu pada tingkat pungutan retribusi yang dibebankan kepada masyarakat, tapi juga meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah. Limbah sampah seharusnya tidak cuma ditumpuk di tempat pembuangan sampah (TPS), tetapi harus diolah.
”Saya baca berita, kan, banyak masalah di TPS. Ya, berarti perlu cari solusi untuk masalah yang ada. Tidak cuma menambah tarif retribusi untuk ongkos angkut sampah,” ujarnya, Rabu (31/1/2024).
Keresahan Adin ada benarnya, tapi tidak sepenuhya tepat. Sampah dari hulu hingga hilir memang perlu dikelola dan diolah untuk mengurangi jumlah sampah tak terolah yang dapat mengancam keberlangsungan lingkungan. Namun, di sisi lain, manajemen sampah dari hulu hingga hilir membutuhkan pendanaan jumbo.
Di Indonesia, tarif retribusi sampah terlalu murah sehingga selalu terjadi kekurangan dana untuk operasional sampah. Di sisi lain, bertambahnya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat selalu menjadi tanggungan pemerintah.
Mengutip data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbunan sampah tahunan pada 2023 mencapai 17,44 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya 66,47 persen (11,59 juta ton) sampah yang terkelola dan sisanya, 5,84 juta ton, tidak terkelola. Tapi, data ini hanya diambil dari 132 kabupaten/kota di Indonesia yang di-input secara mandiri oleh pemerintah daerah.
Dalam sebuah kesempatan, CEO dan Founder Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano mengatakan, di Indonesia, perdebatan soal besaran retribusi yang ideal masih belum menemukan titik temu. Mirisnya, sebagian besar dana pengelolaan sampah membebani anggaran daerah. Padahal, sampah seharusnya jadi tanggung jawab setiap individu ataupun organisasi yang menghasilkannya.
Negara maju, seperti Korea Selatan, menerapkan prinsip pencemar yang membayar (polluters pays principle). Pemerintah Korea Selatan mewajibkan warganya membeli kantong sampah berbayar bertanda khusus sebagai kantong sampah yang mereka hasilkan. Itu artinya, semakin banyak sampah yang dibuang, semakin banyak juga biaya yang mesti dikeluarkan untuk pengelolaan sampahnya.
”Sementara di Indonesia, tarif retribusi sampah terlalu murah sehingga selalu terjadi kekurangan dana untuk operasional sampah. Di sisi lain, bertambahnya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat selalu menjadi tanggungan pemerintah,” ujarnya, yang akrab disapa Ano.
Waste4Change adalah kewirausahaan sosial yang memberikan solusi terhadap permasalahan sampah, dengan prinsip perubahan perilaku dan pengelolaan yang bertanggung jawab. Misinya adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang bertanggung jawab atas sampah mereka.
Perhitungan retribusi
Berdasarkan kajian Waste4Change dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hingga saat ini belum ada standardisasi penghitungan retribusi yang jelas di setiap daerah di Indonesia. Padahal, tiap-tiap daerah punya karakteristik jenis sampah yang berbeda sehingga dapat membuat perbedaan mekanisme dan biaya pengelolaan sampah.
Dari sampel empat kota, yakni Banjar, Jawa Tengah; Yogyakarta, DIY; Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Surabaya, Jawa Timur, sumber pendanaan melalui APBD dan retribusi hanya mencukupi 64 persen dari total pendanaan kota yang diperlukan untuk mengelola sampah. Sisanya didanai oleh dana alokasi khusus (DAK), pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR), dan bantuan dari APBN.
Di sisi lain, terdapat persoalan metode pengumpulan iuran atau retribusi sampah yang masih terlalu konvensional dan berbasis uang tunai sehingga terkumpulnya dana retribusi ini tidak terlaksana 100 persen.
Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam sehari produksi sampah nasional mencapai 175.000 ton. Ano mengatakan, dengan asumsi infrastruktur pengelolaan sampah yang optimal memerlukan investasi senilai Rp 1 miliar untuk setiap ton sampah, maka dibutuhkan dana investasi sebesar Rp 175 triliun.
”Ini bukan angka yang sulit kalau investor berpikir secara jangka panjang, seperti ketika berinvestasi di infrastruktur jalan tol,” ujarnya.
Sayangnya, kesemrawutan sistem pendanaan dan belum akuratnya data tentang sampah, menurut Ano, menjadi satu hal yang membuat investor enggan masuk ke sektor pengelolaan sampah. Potensi keuntungan lain yang didapat dari skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) juga hilang.
”Saya bercita-cita KPBU persampahan bisa sematang KPBU infrastruktur jalan tol yang semuanya sudah clear, peran pemerintah apa, peran swasta apa, dan bagaimana pembiayaannya bisa long term 30 tahun. Jadi investor mau berinvestasi,” ujarnya.
Reformasi persampahan
Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Priyanto Rohmatullah mengatakan, perbaikan pengelolaan data persampahan serta penerapan polluter pays principle lewat retribusi yang berkeadilan menjadi dua dari enam aspek utama yang didorong Bappenas dalam upaya reformasi sistem persampahan untuk mendukung pengelolaan sampah berkelanjutan.
Reformasi sistem tata kelola sampah mendesak untuk segera dilakukan karena gas metana yang dihasilkan oleh 17 juta ton sampah di Indonesia lebih banyak dari emisi gas karbon dioksida CO2 yang dihasilkan 6 juta mobil dalam setahun. Sebagai perbandingan, jumlah mobil di Jakarta tahun 2020 ”hanyalah” 3,3 juta unit.
Reformasi pengelolaan sampah yang terintegrasi dari hulu ke hilir ini juga akan menjadi salah satu dari 20 upaya transformasi superprioritas di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.
”Pemilahan sampah di hulu krusial dalam mengurangi jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir. Adapun pengelolaan sampah di hilir ini bisa mengurangi dampak lingkungan sekaligus bisa meraup keuntungan ekonomis,” ujarnya.