Hikayat Pinjaman Daring: Dari Terobosan Inklusi Keuangan ke Stigma Hitam
Lahir sebagai terobosan inklusi keuangan, pinjaman daring tumbuh dengan stigma buruk akibat sejumlah persoalan.
Perbincangan mengenai pinjaman daring (pindar) atau pinjaman online (pinjol) kembali menghangat setelah polemik mengenai pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) Institut Teknologi Bandung (ITB) mencuat di media sosial beberapa hari terakhir.
Terlepas dari klaim setiap pihak yang terlibat, penggunaan terminologi pindar telah mengalami pergeseran makna dan telanjur melekat kesan-kesan negatif di dalamnya.
Pinjaman daring sebagaimana dikenal oleh masyarakat luas sejatinya merupakan layanan jasa keuangan yang mempertemukan pihak pemberi pinjaman (lender) dengan penerima pinjaman (borrower) dalam rangka perjanjian pinjaman berbasis teknologi. Istilah lainnya dikenal dengan financial technology (fintech) peer to peer lending (P2P lending).
Baca juga: Ratusan Mahasiswa ITB Tuntut Penghapusan Pinjaman Daring untuk Bayar Uang Kuliah
Layanan jasa keuangan tersebut diperkirakan mulai berkembang di Indonesia pada 2016. Saat itu, pihak regulator menerbitkan regulasi berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Kendati sudah berpayung hukum, pinjaman daring yang telah mengantongi izin harus menghadapi situasi yang sulit dengan munculnya sejumlah pindar ilegal. Selain tidak terdaftar secara legal, pindar-pindar ilegal tersebut telah membuat gaduh masyarakat dengan tingkat bunga yang tak masuk akal. Dan, tak jarang, cara-cara penagihannya dilakukan dengan ancaman disertai tindakan kriminal.
Tak sedikit kalangan masyarakat pun merasa resah dan terganggu lantaran dihubungi oleh nomor-nomor tak dikenal. Pesan-pesan singkat dan suara di balik telepon tersebut mengancam mereka yang dianggap memiliki hubungan dengan peminjam.
Persepsi negatif
Selama 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) tercatat telah memberangus 2.248 pinjaman daring ilegal dan menerima 8.891 pengaduan dari masyarakat mengenai pinajaman daring ilegal. Secara keseluruhan sejak 2017, sudah ada 6.680 pindar ilegal yang dihentikan.
Berbagai pemberitaan kerap tak menjelaskan duduk perkara di balik berbagai kasus kriminal yang disebabkan oleh keberadaan pindar ilegal. Apa pun pemberitaan terkait persoalan akibat peminjaman secara daring alias pindar tanpa menyertakan apakah itu legal atau tidak.
Alhasil, masyarakat kadung berpersepsi jika fintech P2P lending, layanan pinjaman berbasis teknologi informasi, ataupun pindar merupakan sesuatu yang buruk lantaran telah terasosiasi dengan citra yang negatif. Dalam linguistik, fenomena ini dikenal sebagai pergeseran makna.
Makna kata pindar juga mengalami penyempitan lantaran pemahaman masyarakat terhadap pindar sudah terkonstruksi sedemikian rupa tanpa melihat apakah itu ilegal atau legal.
Aminuddin dalam bukunya yang berjudul Semantik: Pengantar Studi tentang Makna menyebut, pergesaran makna kata dapat terjadi akibat sikap dan penilaian tertentu dari masyarakat pemakainya. Terkait hal itu, makna dapat mengalami peyorasi atau menjadi negatif (degradasi) dan ameliorasi atau bergeser menjadi positif (elevasi).
Selain itu, makna juga dapat mengalami perluasan, penyempitan, pengonotasian, penyinestesian, dan pengasosiasian. Dalam terminologi pindar, makna kata pindar telah terdegradasi (peyorasi). Hal ini tidak lepas dari serentetan kasus pindar ilegal dan pemberitaan negatif mengenai pindar sehingga persepsi masyarakat menjadi negatif.
Berubah makna
Di sisi lain, makna kata pindar juga mengalami penyempitan lantaran pemahaman masyarakat terhadap pindar sudah terkonstruksi sedemikian rupa tanpa melihat apakah itu ilegal atau legal. Indikasi ini tecermin dari indeks literasi keuangan nasional mutakhir yang lebih kecil ketimbang indeks inklusi keuangan.
Indeks literasi keuangan nasional 2022 sebesar 49,68 persen. Sementara indeks inklusi keuangan sebesar 85,10 persen. Artinya, akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan belum diimbangi dengan pengetahuan yang cukup.
Baca juga: ITB Klaim Tak Jadikan Pinjaman Daring Opsi Utama Bayar Tunggakan UKT
Fenomena pergeseran makna tersebut diamini oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Director of Corporate Communication AFPI Andrisyah Tauladan mengatakan, kata pindar sudah terasosiasi dengan pindar ilegal. Akibat penggunaan diksi tersbut, isu pembayaran UKT di ITB meledak.
”Stop bilang kami pinjol, stop gunakan pinjol, karena pinjol itu (terasosiasi dengan) pinjaman online ilegal. Mereka (pinjdaman daring ilegal) itu ugal-ugalan. Berbeda dengan kami yang diatur dengan ketat sekali,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Nama baru
Oleh sebab itu, AFPI berharap agar ada penamaan baru terhadap Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) sehingga industri pinjaman daring berbasis teknologi tersebut dapat keluar dari stigma negatif. Sebab, industri ini tidak hanya membiayai kebutuhan konsumtif masyarakat, tetapi juga kegiatan produktif.
Andrisyah berpendapat, fintech lending justru menjadi garda terdepan untuk melawan pinjaman ilegal yang hingga detik ini masih banyak berkeliaran. Apabila isu-isu mengenai pinjdar ilegal tersebut beredar dan tidak dijelaskan dengan benar, masyarakat akan sulit membedakan mana yang ilegal dan mana yang legal.
”Kami berharap ke depannya, panggillah kami dengan nama lain, fintech lending kah, P2P lending-kah, silakan dicari. Kami sedang menggodok sebenarnya. Rebranding. Yang pasti kami ingin keluar dari stigma negatif ini. Kenyataannya, Rp 700 triliun sudah kami keluarkan dan hampir 40 persennya produktif,” kata Andrisyah.
AFPI berharap agar ada penamaan baru terhadap Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) sehingga industri pinjaman daring berbasis teknologi tersebut dapat keluar dari stigma negatif.
Data OJK per November 2023 menunjukkan, industri Fintech P2P Lending telah menyalurkan pinjaman ke masyarakat secara akumulasi senilai Rp 740,67 triliun. Sementara jumlah penyaluran kepada sektor produktif pada November 2023 senilai Rp 7,4 triliun atau setara dengan 34,08 persen dari total penyaluran pinjaman.
Menurut Andrisyah, mencuatnya isu pinjol terkait dengan pembayaran ITB juga disebabkan oleh adanya opsi cuti yang diberikan oleh pihak kampus. Di sisi lain, penyelenggaraan alternatif pembiayaan oleh Danacita selaku fintech P2P lending dengan ITB merupakan hal yang wajar dan sah sesuai dengan ketentuan (market conduct).
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen, OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengatakan, kerja sama yang terjalin di antara kedua belah pihak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak ditemukan adanya pelanggaran. Danacita juga telah berizin dan diawasi oleh OJK berdasarkan Keputusan Anggota Komisioner OJK Nomor KEP-68/D.05/2021 per 2 Agustus 2021.
Dua pihak
”Kalau memang itu kesepakatan bisnis di antara kedua belah pihak, silakan saja, yang penting seharusnya kedua belah pihak melakukan asesmen. Misalnya, kampus harus melihat, apakah term and condition yang ditawarkan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan mahasiswanya. Sebaliknya, pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) juga harus melihat apakah term and condition tersebut akan bisa dipenuhi,” ujarnya dalam media briefing, di Jakarta, Kamis (1/2/2024).
Friderica atau yang akrab dipanggil Kiki menekankan, jangan sampai PUJK menawarkan atau memaksakan produk yang tidak pas dan tidak sesuai dengan ketentuan. Hal yang tak kalah penting adalah PUJK dapat memastikan kemampuan membayar dari konsumennya.
Baca juga: Pindar di Pusaran Otonomi Pendidikan Tinggi
Di sisi lain, Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB Muhammad Yogi Syahputra menyampaikan, permasalahan yang terjadi di ITB tersebut bukan berasal dari pinjol. Masalah justru bermula dari kebijakan institusi yang meminta sejumlah mahasiswa mengambil cuti lantaran tunggakan UKT pada semester sebelumnya sehingga memicu reaksi negatif dari para mahasiswa.
Terhadap sejumlah mahasiswa yang mengalami kendala pembayaran UKT tersebut, pihak kampus kemudian menawarkan solusi berupa pinjaman daring yang terintegrasi dalam laman pembayaran ITB. Kendati demikian, KM ITB mengimbau para mahasiswa yang terancam cuti tersebut untuk tidak serta-merta mengambil solusi yang ditawarkan tersebut dan berupaya mencari jalan keluar lain.
Beban mahasiswa
”Skema pinjaman itu dirasa memberatkan mahasiswa karena dari Rp 12,5 juta tagihan UKT, mahasiswa harus membayarnya sekitar Rp 15,5 juta. Ini memberatkan mahasiswa. Agar bisa dinaikkan isunya ke skala nasional, kami gunakan hashtag (tagar) ’institut tapi berpinjol’,” kata Yogi saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Yogi menambahkan, para mahasiswa mempermasalahkan pihak kampus yang terkesan memaksa penggunaan skema pinjaman daring bagi sejumlah mahasiswa yang terancam cuti. Meski pihak kampus telah mengakomodasi sekitar 180 mahasiswa untuk mendapat keringanan, KM ITB merasa kajian yang dilakukan belum menyeluruh.
Baca juga: Menanti Skema Biaya dan Pinjaman Kuliah yang Ramah di Kantong
Akumulasi tunggakan UKT dari mahasiswa yang terancam cuti tersebut mencapai Rp 1 miliar. Dari jumlah tersebut, dana yang telah berhasil dikumpulkan senilai Rp 650 juta yang didapatkan dari beasiswa luar biasa, beasiswa ITB, dan dana dari alumni.
”Kami menolak segala bentuk bantuan skema berupa pinjaman karena menurut kami, kemampuan pemerintah masih memungkinkan untuk memberikan skema-skema pembiayaan lainnya, seperti dari dana abadi LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang mengendap begitu saja,” katanya.
Aspek literasi
Di sisi lain, Yogi melanjutkan, mekanisme pinjaman justru akan memberatkan mahasiswa ke depan. Oleh sebab itu, ia berharap solusi yang ditawarkan dapat berupa keringanan ataupun beasiswa mengingat biaya perguruan tinggi semakin hari semakin mahal.
Sebelumnya, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Perencanaan, dan Pengembangan ITB Muhamad Abduh menepis isu penggunaan pinjaman daring sebagai solusi utama pelunasan tunggakan UKT para mahasiswa. Adapun kerja sama dengan Danacita hanya menjadi salah satu opsi pembayaran bagi mahasiswa yang belum melunasi UKT.
Mekanisme pinjaman justru akan memberatkan mahasiswa ke depan.
”Kami ingin tekankan, Danacita bukan menjadi opsi pertama. Masa tiba-tiba Danacita. Semua ada prosedurnya. Kami tidak pernah memaksa dan mengarahkan karena ada metode pembayaran yang lain,” ujar Abduh dalam jumpa pers di gedung Rektorat ITB, Kota Bandung, Jawa Barat, (Kompas.id, 31/1/2024).
Gaduh soal pinjaman daring dan institusi pendidikan di jagat maya dalam beberapa hari terakhir ini kiranya dapat menjadi pelajaran bersama. Keberadaan layanan keuangan berbasis teknologi yang hendak memberikan terobosan di tengah perkembangan era digital adalah hal penting untuk meningkatkan inklusi keuangan.
Namun, perlu diingat pula, tidak semua orang siap dengan perubahan sehingga aspek literasi juga menjadi satu kesatuan dalam rangka menyongsong perkembangan teknologi.