Pinjaman Pendidikan KMI Berakhir lantaran Macet?
Kehadiran KMI pada mulanya untuk mengatasi persoalan biaya kuliah. Namun, yang terjadi justru kredit macet.
Skema pinjaman kuliah atau student loan yang kini masih dibahas Kementerian Keuangan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP pernah diterapkan di Indonesia sejak 1982 dalam bentuk Kredit Mahasiswa Indonesia atau KMI.
KMI menjadi salah satu topik yang dibahas dalam debat calon presiden (capres) kelima di Jakarta Convention Center pada Minggu (4/2/2024) malam. Topik itu terlontar dari capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, ketika menjawab pertanyaan capres nomor urut 1, Anies Baswedan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pada kesempatan sesi tanya jawab antarcapres dalam debat pamungkas tersebut, Anies bertanya kepada Ganjar mengenai persoalan mahalnya biaya pendidikan, khususnya di ranah perguruan tinggi. Hal itu kemudian memicu fenomena pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) melalui pinjaman daring oleh kalangan mahasiswa yang ramai diperbincangkan belakangan.
”Saya ingin mengangkat kembali sebenarnya. Dulu, era senior-senior kita, termasuk kakak saya sendiri, dia punya KMI kalau tidak salah waktu itu, Kredit Mahasiswa Indonesia,” ujar Ganjar.
Baca juga: Pinjaman Biaya Pendidikan, Mungkinkah?
Menurut Ganjar, keberadaan KMI tersebut mampu menekan biaya pendidikan sehingga seseorang dapat lulus dengan biaya yang sangat murah. ”Modelnya seperti yarnen (akronim), bayarnya setelah panen, panennya apa? Ketika dia sudah lulus,” lanjut Ganjar.
Sebagaimana disebutkan oleh Ganjar, skema KMI memang pernah diterapkan di Indonesia sejak 1982. Namun, dalam perjalanannya, program KMI mengalami kendala layaknya penyaluran kredit pada umumnya, yakni kredit macet. Lantas, bagaimana awal mula KMI dicetuskan dan mengapa KMI akhirnya dihentikan?
Wacana awal
Dalam arsip pemberitaan harian Kompas yang telah terdokumentasikan sejak 1965, istilah KMI muncul pada era Orde Baru, tepatnya awal 1982. Kala itu, muncul wacana mengenai bantuan kepada mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar ongkos kuliahnya melalui skema kredit atau pinjaman, yakni KMI.
Bantuan tersebut rencananya diberikan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) yang semula hendak diberikan kepada mahasiswa tingkat doktoral, khususnya di perguruan tinggi negeri (PTN), baik universitas maupun institut.
Dalam pemberitaan harian Kompas berjudul Berita Gembira bagi Mahasiswa: Bank Indonesia Akan Beri Kredit untuk Rampungkan Kuliah pada Senin (25/1/1982), KMI akan diberikan hanya kepada mereka yang cukup mampu menyelesaikan kuliahnya. BI memperkirakan, besaran KMI untuk setiap mahasiswa berkisar Rp 400.000-Rp 750.000 per tahun atau rata-rata Rp 60.000 per bulan.
Di tengah bergulirnya wacana tersebut, sejumlah mahasiswa merasa keberatan. Sebab, KMI justru dirasa akan memberikan beban baru kepada para penerimanya. Selain dituntut untuk bisa selesai tepat waktu, para penerima KMI juga turut terbebani lantaran harus mengembalikan pinjaman setelah lulus kuliah.
Menanggapi berbagai keraguan dari para mahasiswa tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menegaskan, pengembalian kredit itu soal nanti. Yang terpenting bagi para mahasiswa ialah mereka akan lebih giat belajar dan tidak lagi perlu memikirkan biaya studinya.
Menurut Daoed, pemberian kredit belajar tersebut sudah sejak lama direncanakan oleh pemerintah. Gagasan tersebut muncul dengan harapan semakin cepat mahasiswa menyelesaikan studinya, semakin cepat hasil capaiannya dirasakan masyarakat.
Di sisi lain, KMI tidak bisa dibandingkan dengan beasiswa lantaran beasiswa tidak mengikat kewajiban untuk mengembalikan. Lebih lanjut, KMI harus dilihat sebagai perhatian dari pemerintah terhadap beratnya beban biaya pendidikan yang dihadapi para mahasiswa.
”Saudara harus ingat, para pemimpin yang sekarang duduk di pemerintahan dan lembaga-lembaga banyak yang pernah jadi mahasiswa. Keadaan mereka ketika dulu belajar praktis lebih sulit dari sekarang. Ini membekas betul di dalam dirinya hingga rencana semacam KMI betul-betul merupakan pengertian mereka terhadap mahasiswa,” ujar Daoed.
Baca juga: Menanti Terobosan Pendanaan dari Dana Abadi Pendidikan
Mulai berlaku
Akhirnya, skema KMI pun mulai berlaku sejak 8 Mei 1982 ditandai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Nomor 15/12/Kep/Dir/UKK tentang pemberian kredit bank kepada mahasiswa oleh direksi BI. Kredit tersebut diberikan kepada mahasiswa di tingkat S-1, S-2, S-3, dan program nongelar diploma III.
Bagi kalangan mahasiswa S-1 yang ingin mendapatkan KMI, wajib lulus sarjana muda. Untuk kalangan mahasiswa institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) syaratnya wajib menyelesaikan minimal 90 satuan kredit semester (SKS), sedangkan bagi kalangan non-IKIP diwajibkan menyelesaikan 110 SKS. Secara keseluruhan, KMI hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah lulus 4 semester pertama.
Dalam setahun, para penerima KMI maksimal menerima Rp 750.000 dengan besaran suku bunga 6 persen per tahun untuk tenor selama 10 tahun yang terhitung diluar masa tenggang, yakni masa belajar ditambah kompensasi waktu paling lama setahun.
Kredit tersebut, antara lain, dapat digunakan untuk keperluan uang kuliah, praktikum, biaya penelitian, studi tour, studi lapangan, penyusunan skripsi atau tesis, dan pembelian buku. Selain itu, kredit juga bisa dialokasikan untuk biaya hidup atau biaya lain tergantung persetujuan bank pelaksana dan pihak perguruan tinggi.
Para pemimpin yang sekarang duduk di pemerintahan dan lembaga-lembaga banyak yang pernah jadi mahasiswa.
Lebih lanjut, KMI dapat diberikan kepada mahasiswa yang sudah bekerja atau menerima beasiswa bergantung dari perguruan tinggi. Pengajuan KMI dilakukan dengan mengisi formulir yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.
Dalam tahapan pendaftaran, perguruan tinggi akan memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bank pelaksana. Adapun bank pelaksana yang ditunjuk adalah Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 dan secara khusus untuk wilayah Palangkaraya dan Jayapura masing-masing diakomodasi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Ekspor Impor Indonesia.
Dalam penerapannya, pembayaran angsuran pokok dan bunga KMI dilakukan dengan pemotongan langsung gaji secara langsung (auto debet) setiap bulan melalui instansi atau perusahaan tempat bekerjanya penerima KMI. Sebagai jaminan, ijazah mahasiswa akan ditahan sampai pinjaman tersebut lunas. Bank pelaksana kemudian dapat menghentikan penyaluran KMI apabila mahasiswa penerima kredit telah lulus atau putus kuliah.
Pada ajaran 1982/1983, tercatat 20.420 mahasiswa PTN dari 23 provinsi yang mendapatkan KMI dari BNI. Realisasi pemberian KMI yang baru berjalan pada September-Oktober 1982 tercatat baru mencakup 1.675 mahasiswa dengan nilai kredit mencapai Rp 1,052 miliar dengan alokasi terbanyak diberikan kepada mahasiswa Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara, kepada 699 mahasiswa senilai Rp 359 juta.
Berlakunya penerapan KMI tersebut pun menuai protes dan dinilai diskriminatif, terutama mereka yang berkuliah di perguruan tinggi swasta (PTS). Menurut mereka, fasilitas di PTN jauh lebih lengkap ketimbang PTS dan biaya yang ditanggung pun relatif lebih rendah dibanding biaya kuliah di PTS.
”Saya memandang bahwa pemberian KMI pada mahasiswa negeri merupakan tindakan diskriminatif. Membeda-bedakan mahasiswa negeri dan swasta. Padahal, peran swasta sudah cukup banyak dalam dunia pendidikan,” ujar salah seorang mahasiswa dalam pemberitaan harian Kompas bertajuk Diskriminatif, KMI Hanya bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri, Selasa (29/6/1982).
Baca juga: Menanti Skema Biaya dan Pinjaman Kuliah yang Ramah di Kantong
Kredit macet
Sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan menyebabkan para penerima KMI kesulitan membayar cicilan. Fenomena tersebut terutama terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah sejak dua tahun KMI berlaku.
Dalam perjalanannya, lebih kurang selama enam tahun, Pemimpin Wilayah V BNI Zulmar Rafii mengatakan, sebagian pengembalian KMI yang seharusnya sudah mulai dilunasi mengalami kendala. Alamat para mahasiswa penerima KMI banyak yang tidak tentu dan ada pula yang penghasilannya jauh dari kata cukup sehingga tak mampu membayar cicilan.
Para penerima kredit di Jawa Tengah dan DIY notabene bekerja sebagai pegawai negeri dengan penghasilan rata-rata Rp 60.000 per bulan dan akan meningkat menjadi Rp 84.000 per bulan setelah diangkat. Dengan penghasilan tersebut, para penerima kesulitan mengangsur cicilan Rp 15.000-25.000 per bulan.
”Sulitnya mencari lapangan kerja sekarang kemungkinan besar menjadi penyebab para penerima kredit sulit diketahui alamatnya. Akan tetapi, banyak pula yang setelah lama menghilang tiba-tiba muncul lagi dan melunasi kredit itu,” kata Zulmar dalam pemberitaan harian Kompas bertajuk Sulitnya Lapangan Kerja Hambat Pengembalian Kredit Mahasiswa, Senin (4/6/1988).
Selama 1986, penerima KMI di Jawa Tengah dan DIY tercatat mencapai 9.945 mahasiswa dengan akumulasi kredit mencapai Rp 6,034 miliar atau meningkat 13 persen pada 1987 menjadi 11.052 dengan akumulasi kredit senilai Rp 6,84 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar 3 persen di antaranya mengalami kredit macet dengan berbagai alasan, seperti acuh tak acuh dengan cicilan tersebut karena dianggap sebagai beasiswa.
Tiga tahun kemudian, terdapat ribuan ijazah sarjana yang menumpuk di kantor bank pelaksana KMI di tiga kota besar di Jawa Tengah dan DIY. Ijazah tersebut milik penerima KMI yang tidak pernah melunasi kewajibannya sehingga ditahan pihak bank meskipun mereka telah bekerja.
Kendati tidak menghambat proses selanjutnya bagi para penerima, penahanan ijazah tersebut justru memberatkan pihak bank penyelenggara akibat membengkaknya kredit macet. Dari tiga perguruan tinggi di wilayah tersebut, diperkirakan terdapat kredit macet mencapai lebih dari Rp 4 miliar.
Selain itu, sedikitnya 3.400 alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menunggak KMI yang disalurkan oleh BNI. Atas tunggakan tersebut, BNI menanggung sedikitnya Rp 3,4 miliar kredit macet.
Setelah berbagai kasus kredit macet tersebut, kejelasan berlanjutnya program KMI menjadi kabur. Setelah tahun 1990-an, pemberitaan mengenai KMI mulai surut dan tak pernah didengar lagi kabarnya.
Baca juga: Heboh Pinjaman untuk Kuliah, Pemerintah Godok ”Student Loan” Lewat LPDP
Wakil Pemimpin Bank BNI 46 Kantor Wilayan 05 Semarang Maseri Setyono membenarkan, fasilitas KMI sejak tahun 1989/1990 dihentikan, tetapi karena kebijakan perbankan sehingga yang dikenai tidak hanya KMI.
Sebelumnya, ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto, mengatakan, manajemen risiko skema KMI lemah sehingga mengakibatkan banyak terjadi kredit macet. Banyak mahasiswa yang setelah lulus kuliah malah tidak mengangsur kreditnya hingga akhirnya program itu pun dihentikan (Kompas.id, 30/1/2024).
Tak mengherankan, saat ditanya detail terkait pinjaman pendidikan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pihaknya masih menggodok hal itu bersama LPDP jangan sampai pinjaman pendidikan justru memberatkan.