Potensi Surplus Beras Dihantui Risiko Banjir dan Bera
Potensi surplus beras pada Maret 2024 dibayangi risiko banjir dan masih banyak sawah bera atau belum ditanami.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi beras nasional pada Maret 2024 diperkirakan meningkat sehingga berpotensi membuat neraca beras surplus. Namun, surplus beras di sejumlah daerah itu dihantui risiko banjir dan bera. Untuk itu, setiap pemerintah daerah diharapkan memitigasi banjir dan mempercepat penanaman padi.
Dalam Rapat Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri secara hibrida di Jakarta, Senin (5/2/2024), Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan hasi Kerangka Sampel Area (KPA) luas panen dan produksi padi. Produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari-Maret 2024 diperkirakan lebih rendah dibandingkan periode sama tahun 2023.
Pada Januari-Maret 2023, produksi GKG sebanyak 16,2 juta ton dan pada Januari-Maret 2024 diperkirakan 10,1 juta ton. Produksi GKG pada Januari dan Februari 2024 masih rendah, masing-masing 1,58 juta ton dan 2,42 juta ton.
Pada Maret 2024, produksi GKG diperkirakan naik menjadi 6,1 juta ton. Produksi GKG itu turun 2,82 juta ton dari produksi Maret 2023 yang sebanyak 8,92 juta ton.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, Senin (5/2/2024), mengatakan, kendati turun secara tahunan, produksi GKP pada tahun ini akan mulai melonjak pada Maret. Hal itu akan menyebabkan neraca produksi dan konsumsi beras mulai surplus.
”Dampak El Nino menyebabkan surplus beras yang pada tahun lalu mulai terjadi di Februari, pada tahun ini mundur menjadi Maret,” ujarnya.
Pada Maret 2024, produksi GKG diperkirakan naik menjadi 6,1 juta ton. Produksi GKG itu turun 2,82 juta ton dari produksi Maret 2023 yang sebanyak 8,92 juta ton.
BPS memperkirakan surplus beras pada Maret 2024 sebesar 970.000 ton. Surplus beras tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Maret 2023 yang mencapai 2,59 juta ton.
Dalam rapat tersebut juga terungkap produksi beras nasional dibayangi perubahan cuaca yang tidak merata. Ada sejumlah daerah yang mengalami curah hujan tinggi sehingga berpotensi banjir. Ada pula sejumlah daerah yang curah hujannya masih rendah sehingga masih banyak sawah yang masih bera atau belum ditanami padi.
Deputi III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menuturkan, kondisi cuaca tahun ini berbeda dengan tahun lalu sehingga perubahan cuaca tersebut tidak boleh diabaikan. KSP bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memetakan daerah-daerah di Indonesia yang berpotensi mengalami gangguan tanam dan panen akibat perubahan cuaca.
Pada Februari 2024, misalnya, terdapat 19 daerah yang berisiko tinggi mengalami ganggunan tanam dan 50 daerah yang berisiko tinggi mengalami gangguan panen. Beberapa daerah yang berisiko tinggi mengalami gangguan panen, antara lain Sambas, Sanggau, Malang, Pasuruan, Demak, Agam, dan Kudus.
Pada Februari 2024, misalnya, terdapat 19 daerah yang berisiko tinggi mengalami ganggunan tanam dan 50 daerah yang berisiko tinggi mengalami gangguan panen.
Menurut Edy, gangguan tanam dan panen itu bisa berupa penurunan kualitas atau kuantitas. Penyebabnya bisa kebanjiran, kadar air meningkat, atau kekurangan air. Gangguan itu juga bukan berarti melanda seluruh areal sawah di daerah tersebut, tetapi hanya di beberapa lokasi.
”Setiap pemerintah daerah perlu mendetailkan lokasi dan memitigasinya. Jangan sampai beras yang sudah sulit produksinya pada tahun ini malah mengalami gangguan produksi ketika panen,” katanya.
Direktur Serealia Tanaman Pangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Mohammad Ismail Wahab menuturkan, kondisi cuaca telah menyebabkan musim tanam padi pada awal tahun ini mundur. Dari target tanam padi pada musim tanam (MT) I seluas 6,38 hektar baru terealisasi seluas 4,63 juta hektar.
”Hal itu menyebabkan masih ada 1,75 juta hektar sawah yang harus segera dipercepat penanaman padinya. Selain itu, ada pula potensi sawah bera seluas 1,46 juta hektar dan 1,5 juta hektar sawah yang sudah mulai digenangi atau memasuki proses persiapan lahan,” tuturnya.
Ia mencontohkan, di Jawa Barat ada potensi sawah seluas 348.000 hektar yang perlu percepatan tanam padi. Dari total luasan itu, seluas 297.000 hektar berupa sawah bera dan 51.000 hektar sudah digenangi.
”Kementan tengah bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk segera mempercepat penanaman padi dengan memastikan ketersediaan air, benih, pupuk, dan peralatan pendukungnya,” kata Ismail.
Di tengah kondisi itu, harga rerata beras nasional masih tinggi dan cenderung naik. BPS mencatat, per pekan I Februari 2024, harga rata-rata nasional beras mencapai Rp 14.107 per kilogram (kg), naik 0,93 persen dalam sepekan.
Jumlah kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras juga bertambah. Pada pekan IV Januari 2024, jumlahnya sebanyak 142 kabupaten/kota dan pada pekan I Februari 2024 menjadi 179 daerah.
Pada Januari 2024, harga beras menjadi salah satu komoditas penyumbang inflasi. Tingkat inflasi nasional pada Januari 2024 sebesar 0,04 persen secara bulanan dan 2,57 persen secara tahunan. Tingkat inflasi bulanan dan tahunan beras pada Januari 2024 masing-masing sebesar 0,64 persen dan 15,65 persen. Andil komoditas pangan pokok itu terhadap inflasi bulanan sebesar 0,03 persen dan inflasi tahunan 0,56 persen.
Untuk menekan kenaikan harga beras, Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama Perum Bulog berupaya mempercepat penyaluran bantuan beras kepada keluarga berpenghasilan rendah dan mengintervensi pasar beras. Pasar murah di sejumlah daerah juga digelar untuk menstabilkan harga beras.
Bantuan beras tahap I (Januari-Maret 2024) bagi 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) telah terealisasi 145.163 ton dari target 640.590 ton. Gerakan pangan murah juga sudah digelar di 429 tempat di 3 provinsi dan 359 kabupaten/kota.
Adapun intervensi beras di pasar melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) per 3 Februari 2024 telah terealisasi 177.700 ton. Penyaluran terbesar berada di wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwigno mengemukakan, kendala umum distribusi bantuan beras adalah masih banyak daerah yang belum menyerahkan hasil verifikasi dan validasi data KPM. Untuk itu, Bapanas meminta agar proses itu segera dirampungkan agar penyaluran bantuan beras tahap I bisa kelar pada Febuari 2024.
”Kami juga telah meminta Bulog untuk segera menyalurkan bantuan beras tahap I ke daerah-daerah yang sudah merampungkan verifikasi dan validasi data KPM,” katanya.
Nyoto juga menyatakan, bantuan beras itu efektif menekan laju inflasi beras. Ia mencontohkan, bantuan beras tahap I pada 2023 dapat menekan tingkat inflasi beras dari 0,7 persen pada Maret 2023 menjadi 0,02 persen pada Mei 2023. Pada tahun yang sama, penyaluran bantuan beras tahap II dapat menekan inflasi beras dari 5,61 persen pada September menjadi 0,48 persen pada Desember.