Pemerintah Bangun Tambak Udang Seluas 2.085 Hektar di NTT
Setelah Kebumen, tambak udang terintegrasi akan kembali dibangun di Sumba Timur. Pembangunan tambak itu menuai sorotan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur bekerja sama membangun percontohan budidayaudang terintegrasi hulu dan hilir di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Lahan tambak udang seluas 2.085 hektar akan mulai dibangun tahun 2024-2027.
Pembangunan proyek tambak udang terintegrasi dilakukan dengan perjanjian kerja sama pinjam pakai barang milik daerah Kabupaten Sumba Timur, yakni berupa lahan seluas 2.085 ha di Desa Palakahembi, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. Pada lahan itu akan dibangun tambak udang terintegrasi dengan anggaran mencapai 500 juta dollar AS atau lebih kurang Rp 7,5 triliun.
Lahan tambak terintegrasi itu terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona hulu meliputi pembenihan dan pabrik pakan; zona onfarm meliputi saluran intake (masuk), tandon utama, tandon kluster, petak pemeliharaan, saluran outlet (keluar), instalasi pengolahan air limbah kluster dan vegetasi. Selain itu, zona hilir yang mencakup gudang pendingin, pabrik es, dan pabrik styrofoam.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Waktu Trenggono, dalam keterangan pes, Kamis (8/2/2024), mengemukakan, kondisi lahan yang akan dibangun merupakan lahan kosong, terbuka dan berbatu, serta tidak termanfaatkan. Sementara itu, kondisi rencana lokasi intake merupakan perairan terbuka dan tidak ada vegetasi mangrove.
Kesepakatan perjanjian kerja sama pinjam pakai barang milik daerah Kabupaten Sumba Timur dan nota kesepakatan antara Dirjen Perikanan Budi Daya dan Bupati Sumba Timur dilaksanakan di Gedung KKP, Selasa (6/2/2024).
Penandatanganan kerja sama itu disaksikan Menteri Trenggono.
”Modeling budidaya udang terintegrasi akan kita bangun di Sumba Timur, NTT, guna menumbuhkan ekonomi dan terdistribusi ke wilayah Indonesia timur, tidak hanya di Jawa saja,” kata Trenggono.
Menteri Trenggono menambahkan, pengembangan budidaya udang terintegrasi akan menghadirkan pertumbuhan ekonomi baru di Sumba Timur. Proyek itu akan memberikan dampak multiefek bagi kebutuhan perumahan, listrik, air bersih, dan pelabuhan. Oleh karena itu, diperlukan pula dukungan dari seluruh kementerian/lembaga.
Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Tb Haeru Rahayu menjelaskan, proyek percontohan (modeling) tambak udang modern terintegrasi di Sumba Timur pada 2024-2027 membutuhkan anggaran 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,5 triliun.
Tambak udang itu diproyeksikan mendistribusikan nilai ekonomi sekitar Rp 3,4 triliun per tahun dan menyerap tenaga kerja lokal sekitar 4.730 orang untuk kebutuhan di hulu hingga hilir.
”Melalui pembangunan modeling tambak udang modern ini juga diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi masyarakat lokal, serta diharapkan dapat berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional,” kata Tb Haeru.
Bupati Sumba Timur Khristofel Praing menyampaikan, program percontohan tambak udang modern di Sumba Timur merupakan awal kebersamaan masyarakat Sumba Timur dalam mendapatkan manfaat dari pembangunan tambak udang serta penyerapan tenaga kerja.
Sulit lestari
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Haris Muhtadi, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, pemerintah perlu berhati-hati dalam pembangunan proyek tambak udang terintegrasi, yakni dalam hal desain dan teknis pembangunan. Hal ini becermin dari pembangunan proyek tambak udang modern di Kebumen, Jawa Tengah.
Ia menambahkan, untuk menghasilkan target produktivitas 40-50 ton per ha dalam setiap siklus, dibutuhkan kepadatan tebar lebih dari 150 ekor per meter persegi. Tambak skala besar dan masif dengan teknologi intensif itu dinilai sulit bertahan dalam jangka panjang akibat beban lingkungan yang ditimbulkan. Sekalipun telah menerapkan teknik IPAL, sulit mengantisipasi penurunan mutu lingkungan dan beban lingkungan dari air tambak yang dihasilkan jika kolam besar, masif, serta kepadatan tebar tinggi.
Dalam sejarah, tidak ada tambak udang intensif dan terintegrasi dengan skala masif yang mampu lestari dan berhasil dalam jangka panjang.
Pengalaman petambak udang swasta selama puluhan tahun membuktikan bahwa tambak yang lestari adalah tambak yang tidak berskala masif dan terkonsentrasi di satu titik. Tambak masif yang terpusat di satu kawasan hanya akan menyebabkan beban lingkungan terkonsentrasi di satu lokasi sehingga cepat atau lambat akan berdampak berat pada lingkungan dan membuat budidaya sulit lestari.
”Dalam sejarah, tidak ada tambak udang intenstif dan terintegrasi dengan skala masif yang mampu lestari dan berhasil dalam jangka panjang,” kata Haris.
Ia mencontohkan, Ekuador yang merupakan salah satu negara produsen udang terbesar dunia hingga kini mengandalkan pola teknologi yang lebih rendah, yakni semi-intensif dengan kepadatan tebar hanya 15-20 ekor per meter persegi. Budidaya udang skala masif dengan teknologi semi-intensif berdampak pada beban lingkungan lebih rendah sehingga Ekuador mampu mempertahankan produksi yang berkelanjutan dan memimpin pasar dunia.
Haris menambahkan, pihaknya berharap pemerintah sebaiknya fokus membantu kesulitan para petambak udang yang kini tengah menghadapi hambatan pemasaran. ”Kami berharap pemerintah membantu petambak dalam menghadapi jatuhnya harga udang serta membuka akses ke pasar-pasar baru,” ujar Haris.