Era Keajaiban China Diperkirakan Berakhir, Bagaimana Nasib RI?
Tetap ada peluang mempertahankan ekspor dan mendulang investasi di kala era pertumbuhan ekonomi tinggi China berakhir.
Era keajaiban China yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi tinggi diperkirakan segera berakhir. China bakal memasuki era steady-state economy. Indonesia perlu mewaspadai dampak sekaligus menangkap peluang ekonomi dari kondisi itu.
Sejak pandemi Covid-19 pada 2020 hingga sekarang, ekonomi China tak kunjung pulih cepat. Memang, pertumbuhan ekonominya sempat melejit menjadi 8,45 persen pada 2021 usai terpuruk minus 2,24 persen pada 2020.
Namun, ekonomi China kembali anjlok kembali menjadi 2,99 persen pada 2022 dan hanya mampu tumbuh 5,2 persen pada 2023. Setelahnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi China bakal terus merosot dari 4,6 persen pada 2024 menjadi 3,38 persen pada 2028.
Harga barang dan jasa di tingkat konsumen dan produsen juga mengalami deflasi terburuk. Hal itu merupakan cerminan pelemahan daya beli masyarakat, sekaligus tertahannya geliat industri domestik China.
Pada Januari 2024, China mengalami deflasi sebesar 0,8 persen secara tahunan. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) itu merupakan penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir atau sejak September 2009.
Harga barang dan jasa di tingkat produsen juga deflasi sebesar 2,5 persen secara tahunan. Indeks Harga Produsen (IHP) tersebut masih melanjutkan tren deflasi selama 16 bulan berturut-turut atau sejak Oktober 2022.
Apakah keajaiban ekonomi Tiongkok sudah berakhir? Jawabannya mungkin ya karena tidak ada keajaiban yang bertahan selamanya.
Sebenarnya, kekhawatiran itu mencuat pada Juni 2023. Waktu itu, China mengalami deflasi baik di tingkat konsumen maupun produsen masing-masing sebesar 0,3 persen dan 5,4 persen. Sejumlah lembaga dan kalangan menyebut era keajaiban China diperkirakan bakal berakhir.
Sejak reformasi ekonomi diinisiasi pemimpin China, Deng Xiaoping, pada 1978, China tumbuh menjadi salah satu negara dengan laju pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Selama 1989-2018, China tumbuh rata-rata 9,61 persen per tahun sekaligus tumbuh menjadi raja manufaktur dunia.
Yiping Huang, misalnya, Guru Besar Bidang Pembangunan Universitas Peking, dalam artikelnya ”Has the Chinese Economy Hit The Wall?” mengupas keresahan tersebut. ”Apakah keajaiban ekonomi Tiongkok sudah berakhir? Jawabannya mungkin ya karena tidak ada keajaiban yang bertahan selamanya,” tulisnya dalam artikel yang dimuat dalam East Asia Forum, 10 Oktober 2023.
Ia menjelaskan, pendapatan yang lebih tinggi dan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi, serta kondisi eksternal yang memburuk dan populasi yang menua, semuanya merupakan hambatan jangka panjang yang serius terhadap tingginya pertumbuhan. Perang dagang dengan Amerika Serikat, pandemi Covid-19, dan krisis properti semakin memperkuat tantangan perlambatan ekonomi China.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, Jumat (16/2/2024), juga berpendapat sama. Dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang lebih dari 12.000 dollar AS, ekonomi China sudah berada di ambang batas negara berpendapatan tinggi. Jadi cukup sulit sebetulnya bagi China untuk memiliki tingkat pertumbuhan tinggi seperti 10-15 tahun terakhir.
Ekonomi China yang tumbuh 5,2 persen pada 2023 saja sebetulnya sudah fantastis. Hal itu lantaran sejumlah negara yang memiliki PDB per kapita yang setara, seperti Brasil, yang hanya bisa bisa tumbuh 3,4 persen pada 2023.
Baca juga: Meritokrasi, Rahasia di Balik Keajaiban China
Menurut Shinta, perlambatan pertumbuhan ekonomi China perlu dilihat sebagai pertumbuhan yang ”new normal”. Apalagi, sejak muncul tren diversifikasi rantai pasok nilai global China, perang dagang dengan Amerika Serikat, dan penuaan penduduk, kinerja ekonomi China sudah tidak seperti sebelumnya.
”Pandemi dan krisis properti semakin menambah tekanan perekonomian China. Semua faktor itu sebetulnya hanya mengakselerasi efek perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga deflasi yang terjadi saat ini menjadi outcome yang rasional bagi tren ekonomi China,” katanya.
Sejak muncul tren diversifikasi rantai pasok nilai global China, perang dagang dengan Amerika Serikat, dan penuaan penduduk, kinerja ekonomi China tidak seperti sebelumnya.
Dampak-peluang ekonomi
China merupakan negara mitra dagang terbesar dan investor utama Indonesia. Kontribusi ekspor ke China pada 2023 dan Januari 2024 terhadap total ekspor Indonesia masing-masing sebesar 25,09 persen dan 23,09 persen.
Adapun penanaman modal asing (PMA) China di Indonesia sejak 2018 hingga 2022 terus tumbuh dari 2,37 miliar dollar AS menjadi 8,22 miliar dollar AS. Per triwulan III-2023, PMA tersebut tercatat sebesar 1,8 miliar dollar AS.
Menurut Shinta, era berakhirnya pertumbuhan ekonomi tinggi China itu bisa berdampak buruk sekaligus baik bagi Indonesia. Dampak negatifnya, ekspor Indonesia ke China berpotensi turun, sedangkan impor dari China berpotensi naik lantaran harga produknya semakin murah.
Deflasi yang terjadi di China pada Januari 2024 turut memicu penurunan kinerja ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kinerja ekspor Indonesia ke China pada Januari 2024 hanya senilai 4,57 miliar dollar AS atau turun sebesar 20,73 persen secara bulanan dan 12,92 persen secara tahunan.
Baca juga: Deflasi China Turut Picu Penurunan Kinerja Ekspor RI
Penurunan kinerja ekspor itu menyebabkan defisit neraca pedagangan RI terhadap China semakin besar. Pada Januari 2024, neraca perdagangan nonmigas RI terhadap China defisit 1,38 miliar dollar AS. Padahal, pada Desember 2023, RI masih mencatatkan surplus dagang atas China sebesar 318,7 juta dollar AS.
Shinta juga menyatakan, kondisi ekonomi China tersebut bisa menjadi peluang bagi investasi Indonesia, terutama di sektor industri manufaktur. Tentu saja, hal ini hanya bisa terjadi bila Indonesia terus memiliki iklim usaha yang kompetitif di kawasan dan meningkatkan partisipasi dalam rantai pasok nilai global. Kedua elemen itu akan menjadi penentu apakah China akan mengalirkan banyak investasi ke Indonesia atau tidak.
”Saat ini, pelaku usaha dan investor China dan dunia masih terus mencari tempat untuk menggantikan atau mendiversifikasi hub produksi rantai pasok nilai global yang berada di China. Hub produksi tersebut dianggap sudah tidak lagi cukup efisien atau bersaing di kancah global,” kata Shinta.
Seperti Jepang, setelah puluhan tahun membangun ekonomi dan merasakan bonus demografi, China akan memasuki era steady-state economy.
Sementara itu, Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani menilai, kondisi ekonomi China tengah berada di titik jenuh. Sejumlah indikatornya, antara lain, pembangunan infrastruktur sudah tidak tumbuh signifikan, banyak investor yang memindahkan lokasi industri dari China, krisis properti, dan daya beli masyarakat turun akibat penuaan penduduk.
Era pertumbuhan ekonomi tinggi China memang diperkirkan bakal berakhir. Namun, bukan berarti ekonomi China ke depan akan terpuruk terus-menerus. Ekonomi China tetap akan tumbuh, hanya saja tidak setinggi beberapa tahun sebelumnya.
”Seperti Jepang, setelah puluhan tahun membangun ekonomi dan merasakan bonus demografi, China akan memasuki era steady-state economy. Ekonomi negara tersebut berada dalam keadaan stasioner atau tidak banyak berubah,” kata Dendi.
Baca juga: Rakyat Enggan Berbelanja, China Deflasi
Berdasarkan data Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), China mengalami bonus demografi sejak 1982. Pada tahun tersebut, jumlah penduduk usia produktif mencapai 620 juta orang atau 61,5 persen dari total populasi.
Adapun Biro Statistik Nasional China mencatat, jumlah penduduk China pada 2023 sebanyak 1,41 miliar orang, turun sekitar 2 juta orang dari 2022. Dari jumlah itu, penduduk usia produktif, 16-59 tahun, pada 2023 sebesar 61,3 persen. Jumlah tersebut turun dari jumlah sebelumnya yang mencapai 62 persen.
Dendi juga menuturkan, berakhirnya era pertumbuhan ekonomi China ke depan bisa berdampak pada ekspor Indonesia ke negara tersebut. Namun, permintaan dari China tetap akan ada kendati volumenya bakal berkurang.
Senada dengan Shinta, Dendi juga berharap RI bisa menangkap peluang perpindahan investasi dari China. Investasi itu tidak hanya bertumpu pada sektor pertambangan, tetapi juga sektor-sektor ekonomi lain, terutama industri manufaktur.
Yiping Huang juga menegaskan, China tidak akan pernah kehabisan amunisi untuk mempertahankan pertumbuhan sekaligus merespons tantangan ekonomi terkini. Sektor-sektor, seperti platform teknologi, kendaraan listrik, energi ramah lingkungan, dan elektronik, kini menjadi sumber inovasi dan pertumbuhan yang dinamis.
Krisis keuangan besar, seperti di sektor properti, masih kecil kemungkinannya terjadi. Dampak ekonomi dari pergeseran demografi sebagian akan diatasi dengan kecerdasan buatan dan ekonomi digital.
Baca juga: Tahun Naga Kayu, Bisakah Jadi Momentum Ekonomi China Bangkit dari Keterpurukan?