Makan Siang Gratis dan Jebakan Ilusi Fiskal
Ada harga dan risiko yang harus ditanggung rakyat di kemudian hari demi realisasi janji politisi yang populis.
Gaduh seputar program makan siang gratis dengan anggaran jumbo akhir-akhir ini mengingatkan tentang adagium klasik, there is no such thing as free lunch. Tidak ada makan siang yang gratis di dunia ini.
Seperti bunyi adagium di atas, pemberian makan siang gratis sebagai program andalan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada prinsipnya tidak gratis. Ada ”harga” yang harus ditanggung negara dan masyarakat selaku pembayar pajak, entah sekarang atau di masa depan.
Apalagi, anggaran untuk program makan siang gratis tidak kecil. Estimasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, diperlukan sekitar Rp 400 triliun per tahun untuk membagikan makan siang gratis ke 80 juta penerima manfaat yang terdiri dari anak sekolah, anak balita, dan ibu hamil di seluruh Indonesia.
Baca juga: Membedah Dana Jumbo Program Makan Siang Gratis
Kebutuhan untuk makan siang gratis itu saja sudah mencakup 12 persen dari total belanja negara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang nilainya Rp 3.325,1 triliun. Bahkan, lebih besar dari total anggaran untuk berbagai program di bidang kesehatan (Rp 187,5 triliun), ketahanan pangan (Rp 114,3 triliun), dan program subsidi (Rp 286 triliun).
Sementara itu, mengacu pada hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Januari 2024, anggaran yang dibutuhkan bisa lebih kecil, yakni Rp 185,2 triliun per tahun untuk makan siang dan susu gratis bagi anak sekolah, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil. Meski masih lebih kecil dari hitung-hitungan TKN, estimasi ini tetap memakan porsi anggaran yang besar, yakni 5,6 persen dari total belanja APBN 2024.
Uangnya ada?
Tentu saja, pertanyaannya, apakah negara ini punya ruang fiskal yang cukup untuk membiayai program baru dengan kebutuhan biaya yang besar?
Pada dasarnya, penerimaan yang masuk ke kas negara, baik dari setoran pajak maupun non-pajak, tidak pernah cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan belanja pemerintah. Itulah mengapa pengelolaan APBN di Indonesia menganut prinsip kebijakan fiskal defisit (ekspansif).
Kekurangan itu selama ini ditutup lewat utang atau pembiayaan, yang bersumber dari penerbitan obligasi atau surat utang negara, pinjaman, dan hibah. Setiap awal tahun anggaran, saat menyusun Rancangan APBN, pemerintah dan DPR telah menetapkan batas besaran defisit serta utang untuk menutupi berbagai kebutuhan belanja yang sudah direncanakan.
Agar utang tidak kebablasan dan defisit tidak terlalu lebar, rambu-rambunya diatur. Berpatok pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, besaran defisit hanya boleh maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), dan utang maksimal 60 persen dari PDB. Rambu-rambu itu hanya bisa dilanggar jika kondisi mendesak, seperti saat pandemi Covid-19.
Pada 2023, APBN membukukan defisit fiskal 1,65 persen terhadap PDB. Artinya, sepanjang tahun lalu, pemerintah menyerap utang sebesar Rp 347,6 triliun demi menutupi berbagai kebutuhan belanja. Hanya beda tipis dari total kebutuhan anggaran makan siang gratis yang sebesar Rp 400 triliun.
Pemilih (rakyat) cenderung terlena oleh kebijakan dan belanja yang ’berpihak’ pada mereka, tanpa menyadari risiko fiskal yang harus ditanggung di kemudian hari akibat belanja tersebut.
Pada APBN 2024, batas defisit dipasang 2,29 persen dari PDB. Ruang defisit yang ditoleransi ”hanya” Rp 522,8 triliun. Jika mengandaikan program makan siang gratis berjalan sejak 2024 dan tanpa terobosan pemasukan negara, 76,5 persen dari ”kuota” defisit itu berpotensi terpakai hanya untuk membiayai program makan siang gratis.
Di tengah ruang gerak defisit yang terbatas itu, laju penerimaan pajak selama satu dekade terakhir melambat. Meski fluktuatif, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) trennya menurun. Pada 2013, rasio pajak 11,39 persen, turun menjadi 10,85 persen (2014), 9,76 persen (2019), naik ke 10,39 persen (2022) dan kembali turun 10,21 persen (2023).
Ke depan, tren perlambatan penerimaan perpajakan diperkirakan berlanjut seiring dengan ketidakpastian geopolitik, resesi global dan perdagangan dunia yang melambat, serta melandainya harga komoditas unggulan. Dibutuhkan terobosan besar-besaran untuk mendongkrak penerimaan pajak jika Prabowo-Gibran ingin membiayai program makan siang gratis tanpa menambah utang.
Ilusi fiskal
Ketidakjelasan seputar sumber anggaran untuk program makan siang gratis ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya ”ilusi fiskal” atau fiscal illusion di kemudian hari.
Diksi ini ikut ditenarkan oleh peraih Nobel Ekonomi, James M Buchanan. Ia menyebut bahwa pemilih (rakyat) cenderung terlena oleh kebijakan dan belanja yang ”berpihak” pada mereka, tanpa menyadari risiko fiskal yang harus ditanggung di kemudian hari akibat belanja tersebut.
Baca juga: Utak-atik Sumber Anggaran untuk Makan Siang Gratis
Di era kebangkitan populisme satu dekade terakhir ini, sejumlah penelitian menunjukkan, gejala ilusi fiskal semakin banyak ditemukan di negara dengan pemerintahan populis, seperti Polandia, Belanda, dan Amerika Serikat.
Saat pemilu, demi terpilih, kandidat menjanjikan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Namun, untuk merealisasikannya, ada harga yang harus ikut ditanggung dan tidak disadari rakyat. Biasanya dalam bentuk kenaikan tarif pajak, beban utang negara yang membengkak, dan inflasi. Dampaknya, pengelolaan fiskal jadi tidak berkelanjutan (sustainable) dan ekonomi negara rentan jatuh.
Dalam konteks makan siang gratis ala Prabowo-Gibran, ada pula risiko fiskal yang berpotensi ditanggung di kemudian hari, antara lain defisit fiskal yang melebar, beban utang yang membengkak hingga lintas generasi, serta kenaikan biaya hidup akibat inflasi.
TKN Prabowo-Gibran berkali-kali menyebut tidak akan menambah beban pajak yang ditanggung masyarakat, justru menguranginya, antara lain dengan menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh 21).
Dengan asumsi janji-janji itu dipenuhi, beban pajak rakyat memang tidak akan bertambah. Namun, akibatnya, pemasukan negara dari pajak yang selama ini menjadi tulang punggung APBN bisa semakin seret.
Utang dan inflasi
Ketika penerimaan pajak tidak bisa menutupi kebutuhan anggaran yang besar untuk program makan siang gratis dan belanja prioritas lainnya, salah satu solusinya adalah melebarkan defisit dan menambah utang.
Risiko fiskal ini bersifat jangka panjang karena dampak dari utang yang membengkak itu akan dirasakan sampai generasi mendatang. Beban pembayaran bunga dan pokok utang yang besar juga berpotensi menggerus alokasi anggaran untuk kebutuhan belanja prioritas lain yang lebih mendesak.
Gelagat melebarkan defisit dan utang itu pernah ditunjukkan lewat pernyataan Erwin Aksa, Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, November 2023, dalam wawancara dengan CNBC bahwa pemerintah harus berani menaikkan batas aman defisit fiskal dari 3 persen menjadi 6 persen dari PDB.
Potensi risiko berikutnya yang harus ditanggung adalah meningkatnya beban biaya hidup. Indikasinya adalah pernyataan Wakil Ketua TKN Prabowo Gibran, Eddy Soeparno, bahwa salah satu cara membiayai makan siang gratis adalah mengefektifkan penyaluran subsidi energi, yang otomatis mengurangi anggarannya. Ia optimistis hal itu bisa dilakukan dalam waktu 2-3 bulan saja.
Meskipun subsidi energi perlu dibenahi agar lebih tepat sasaran, dampaknya tetap perlu diantisipasi karena berpotensi memicu lonjakan inflasi dan tekanan biaya hidup. Apalagi, jika subsidi energi diutak-atik dalam waktu cepat dengan cara yang tidak tepat.
Kembali lagi, there is no such thing as free lunch. Ada risiko ”ilusi fiskal” yang bisa saja kita tanggung di kemudian hari hingga lintas generasi jika program makan siang gratis dipaksakan dengan terburu-buru di tengah ruang gerak APBN yang sempit.