Di Puncak Hari Pers, Presiden Jokowi Umumkan Regulasi Hak Cipta Penerbit
Presiden Jokowi akan mengumumkan soal peraturan presiden tentang hak cipta penerbit pada Selasa sore ini di Jakarta.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo direncanakan mengumumkan peraturan presiden terkait regulasi hak cipta penerbit atau publisher rights pada puncak peringatan Hari Pers Nasional di Jakarta, Selasa (20/2/2024) sore. Regulasi yang telah diwacanakan lebih dari tiga tahun lalu itu bisa membantu mengatasi masalah disrupsi digital yang dihadapi industri media nasional, tetapi harus diikuti oleh solusi lain yang lebih mujarab dari pemerintah.
Ketua Dewan Pakar PWI Agus Sudibyo, Selasa (20/2/2024), di Jakarta, mengatakan, problem utama industri media massa Indonesia bukan defisit kebebasan pers walaupun ada kecenderungan kualitas demokrasi menurun. Pers saat ini masih mempunyai kebebasan untuk menjalankan fungsi keempat demokrasi.
Problem utamanya terletak pada disrupsi digital yang menurunkan daya bisnis media di Indonesia. Sekarang, pemasukan iklan dan tingkat keterbacaan media menurun. Peraturan presiden (perpres) terkait hak cipta penerbit relevan untuk mengatasi permasalahan itu karena substansi utamanya adalah mewajibkan platform digital melayani permintaan negosiasi nilai ekonomi dari media.
”Perpres itu tidak mengatur perusahaan media massa memperoleh berapa dan di negara lain pun sama (hanya mengatur kewajiban negosiasi). Yang diatur adalah kewajiban platform digital melakukan negosiasi. Artinya, perpres terkait publisher rights memperkuat posisi media,” ujar Agus.
Dia menekankan, moral politik yang penting dari keluarnya perpres hak cipta penerbit adalah menunjukkan Indonesia berani mengatur platform digital. Indonesia dalam pengertian pemerintah dan komunitas pers Tanah Air menjadi dihargai oleh platform digital.
Lebih jauh, Agus memandang, perpres hak cipta penerbit merupakan strategi jangka pendek, bukan berarti komunitas pers tidak menginginkan wujud ketentuannya adalah undang-undang (UU). Diharapkan, setelah ada pemerintahan dan DPR baru, ada kenaikan level regulasi hak cipta penerbit menjadi UU.
”Kalau kita ngotot harus UU, pasti belum tentu jadi. Kala itu, beberapa regulasi terkait media, seperti revisi UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ataupun UU ITE belum kelar. Komisi I DPR kala itu juga sedang padat menyusun regulasi,” katanya.
Dia menambahkan, di luar perpres hak cipta penerbit perlu ada pilar solusi lain untuk membantu bisnis media secara berkelanjutan. Pemerintah, misalnya, harus melakukan afirmasi anggaran negara ke media massa nasional.
”Jika pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) mengalokasikan sekian triliun rupiah ke platform digital global, itu akan menimbulkan capital outflow yang tidak bisa diputar di dalam negeri. Harusnya, negara melalui pemerintah dan BUMN memiliki kebijakan yang afirmatif dengan mengurangi atau menghentikan spending ke platform digital global,” imbuhnya.
Perantara
Ketua Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan, saat dihubungi terpisah, mengatakan, inisiatif pemerintah untuk mengeluarkan perpres hak cipta penerbit. Inisiatif ini bisa membantu menciptakan ekosistem media yang berkualitas. Australia dan Kanada juga melakukan langkah yang sama.
”Meski demikian, kita harus ingat, ini bukan obat mujarab. Dari drafyang kami dengar, pemerintah lebih banyak membuat regulasi ini sebagai perantara agar platform digital dan perusahaan media melakukan negosiasi yang adil,” ucapnya.
Google AdSense tidak memadai untuk membiayai produksi konten jurnalistik berkualitas karena pendapatan Google AdSense relatif kecil dibanding ongkos produksi.
Abdul belum membaca draf terakhir perpres hak cipta penerbit yang akan diumumkan Presiden Joko Widodo sore ini. Akan tetapi, dalam draf sebelumnya, dia menemukan belum ada satu pun klausul yang memaksa platform digital global membantu bisnis media agar tumbuh berkelanjutan.
”Sepenuhnya bisnis ke bisnis (B2B). Google AdSense tidak memadai untuk membiayai produksi konten jurnalistik berkualitas karena pendapatan Google AdSense relatif kecil dibanding ongkos produksi. Kita tidak mungkin sepenuhnya mengharapkan hasil yang signifikan semata-mata dari regulasi publisher rights,” katanya.
Pemerintah Indonesia perlu memikirkan solusi lain, yang menurut Abdul, dapat dilakukan dengan cara bersikap fair terhadap industri media. Sejauh ini ada kecenderungan instansi pemerintah memasang iklan ke media massa yang dianggap punya pemikiran sejalan. Pengalaman Pemerintah Kanada yang mengalokasikan dana untuk kebutuhan operasional media komunitas bisa dicontoh.
”Bersikap keras terhadap platform digital justru berpotensi akan menimbulkan backlash. Masalah yang dihadapi industri media massa terlalu besar karena ada shifting pembaca dan pemasangan iklan sekaligus. Realitas yang tidak bisa dihindari ini semestinya direspons kompak oleh perusahaan media massa nasional,” ujarnya.
Sementara itu, praktisi media dan Direktur Konten Kapanlagi Youniverse, Wenslaus Manggut, berpendapat, perpres hak cipta penerbitmenghargai media yang berbakti kepada kepentingan umum, menulis berita-berita yang kuat unsur kepentingan umum lebih diakomodasi. Maka, perpres ini seharusnya tidak sekadar dilihat dalam konteks pembagian pendapatan antara platform digital dan penerbit, tetapi juga dilihat sebagai sebuah sikap negara dan ekosistem.
”Membantu bisnis media bisa juga dengan menjaga ekosistem bisnis supaya tercipta persaingan sehat. Hal lainnya adalah bagaimana negara melihat media, apakah masih penting atau tidak,” kata Wenslaus.
Jika media massa masih dianggap penting pemerintah, dia memandang sebaiknya pemerintah menaruh iklan di media massa supaya media patuh pada tugasnya serta tidak tergoda menulis konten-konten viral yang kepentingan publiknya kurang. Tidak banyak media yang memiliki banyak insentif untuk merekam hal-hal penting, seperti tengkes, kekeringan, dan pengangguran, karena jumlah pembaca kecil sekali serta tidak ada iklannya.
Kelangsungan industri
Sebelumnya, saat berkunjung ke Menara Kompas, Jakarta, Senin (12/2/2024), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menekankan, perpres hak cipta penerbit bertujuan untuk menjaga kelangsungan industri nasional. Pembahasan rancangan perpres itu berlangsung dinamis, seperti Meta yang tidak mau disamakan perlakuannya seperti Google. Budi mengklaim pihaknya sudah menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang intinya adalah mengutamakan dialog supaya terjadi persamaan visi.
Pada 25 Juli 2023, Vice President Government Affairs and Public Policy Google Asia Pacific, Michaela Browning, dalam pernyataannya di blog Google, mengatakan, sejak rancangan perpres itu pertama kali diusulkan pada tahun 2021, Google dan Youtube telah bekerja sama dengan pemerintah, regulator, badan industri, dan asosiasi pers untuk memberikan masukan seputar aspek teknis pemberlakuan peraturan tersebut dan untuk menyempurnakannya agar sesuai dengan kepentingan penerbit berita, platform, dan masyarakat umum.
”Google dan Youtube telah lama mendukung pertumbuhan ekosistem berita digital di Indonesia dan kami ingin terus melanjutkannya. Kami pun tidak menampilkan iklan atau memperoleh uang di Google News,” katanya.
Sementara dalam konferensi pers virtual pada 7 Agustus 2023, Director of Public Policy Meta Rafael Frankel mengatakan, perusahaannya sudah berulang kali berdiskusi dengan Kemkominfo, Kementerian Hukum dan HAM, hingga Sekretariat Negara. Kala itu, dia menyebut kebijakan hak cipta penerbit tidak akan berkelanjutan.