Hidrogen, Energi Masa Depan yang Sudah di Depan Mata
Kendati tidak mudah, termasuk harga yang Rp 900 juta-Rp 1 miliar, mobil hidrogen bisa benar-benar jadi alternatif.
Pengembangan hidrogen, terutama yang rendah emisi, dirasa semakin relevan untuk pemenuhan kebutuhan energi masa depan, seiring tuntutan transisi energi. Sebagai pembawa energi (energy carrier), hidrogen menjadi harapan bagi multisektor. Namun, pengembangannya menantang karena masih diperlukan kematangan teknologi, kesadaran publik, hingga keekonomian yang lebih baik agar bisa bersaing.
Sekitar sebulan setelah PT Pertamina (Persero) melakukan peletakan batu pertama (ground breaking) hydrogen refueling station (HRS) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Daan Mogot, Jakarta, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) meresmikan HRS mereka di Jalan Tentara Pelajar, Jakarta, Rabu (21/2/2024). Ini menjadi HRS pertama yang ada di Indonesia.
Bersamaan dengan HRS yang masih proyek percontohan itu, PLN meresmikan green hydrogen plant (GHP) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Jawa Barat. Itu menjadi GHP ke-22 PLN sejak pertama kali diluncurkan pada November 2023. Sebanyak 22 GHP itu mampu menghasilkan 203 ton hidrogen hijau (green hydrogen) per tahun. Selain itu, diresmikan juga hydrogen center.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EBTKE ESDM) Jisman P Hutajulu mengatakan, hidrogen akan berperan penting dalam transisi energi di tingkat global. Hidrogen juga masuk dalam perencanaan pemerintah dalam rangka mencapai target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) 2060.
Baca juga: Berlomba-lomba Mengembangkan Bahan Bakar Hidrogen
Mengutip dokumen Strategi Hidrogen Nasional Kementerian ESDM, yang dirilis Desember 2023, hidrogen yang berasal dari gas bumi sebenarnya telah dimanfaatkan di sektor industri di Indonesia, terutama sebagai bahan baku pupuk. Konsumsi hidrogen di Indonesia saat ini sekitar 1,75 juta ton per tahun, didominasi pemanfaatan untuk urea (88 persen), amonia (4 persen), dan kilang minyak (2 persen).
Teknologi produksi hidrogen dikelompokkan ke dalam lima kategori, yakni proses industri (proses klor-alkali), proses termokimia, proses biomassa, metode elektrolisis, dan metode energi surya. Dalam dokumen itu juga disebutkan, 97 persen hidrogen yang diproduksi di dunia menggunakan proses termokimia dengan metode reformasi uap metana (SMR), yang juga dikenal dengan hidrogen abu-abu.
Ke depan, diperkirakan metode elektrolisislah yang akan banyak digunakan. Elektrolisis merupakan penguraian air (H2O) untuk memisahkan oksigen (O2) dan gas hidrogen (H2) dengan arus listrik. Artinya, energi listrik amat dibutuhkan dalam proses tersebut. Oleh karena itu, jika listrik yang digunakan berasal dari energi terbarukan atau nol emisi, produksinya kerap disebut hidrogen hijau.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menuturkan, dari 203 ton hidrogen hijau per tahun yang dihasilkan dari 22 GHP, kebutuhan untuk pendinginan pembangkit listrik sebesar 75 ton per tahun. Dengan demikian, sisanya, 128 ton per tahun, dapat dimanfaatkan untuk sektor lain, termasuk bahan bakar untuk transportasi. Untuk itu, HRS PLN, sebagai proyek percontohan, akan terus dikembangkan.
”Produksi hidrogen sebesar 128 ton per tahun itu bisa menyediakan energi untuk 438 mobil per tahun. (Potensi) pengurangan konsumsi BBM (bahan bakar minyak)-nya ialah 1,59 juta liter per tahun,” kata Darmawan.
Perlu diketahui, hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bukan untuk digunakan pada ruang bakar mesin seperti penggunaan BBM ataupun bahan bakar gas (BBG). Namun, yang digunakan adalah fuel cell (sel tunam). Fuel cell mengurai hidrogen menjadi energi listrik yang kemudian menggerakkan kendaraan. Oleh karena itu, kendaraan jenis itu disebut fuel cell electric vehicle (FCEV).
Sejumlah FCEV berkembang di sejumlah negara di dunia, dengan jumlah yang relatif terbatas, antara lain merek Toyota Mirai dan Hyundai Nexo. Di Indonesia, FCEV belum dipasarkan, salah satunya karena belum tersedianya infrastruktur hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan. Dalam membangun HRS di Jakarta, Pertamina bekerja sama dengan Toyota sebagai produsen FCEV.
Badan Energi Internasional (IEA) mencatat, pada 2022, ketersediaan FCEV di dunia mencapai 72.000 unit atau meningkat 40 persen dari 2021. Dari jumlah itu, sebesar 80 persen ialah mobil, 10 persen truk, dan hampir 10 persen bus. Secara berurutan, ketersediaan FCEV terbanyak ialah Korea Selatan, Amerika Serikat, dan China. FCEV di China didominasi segmen truk dan bus.
Teknologi lama
Fuel cell ataupun FCEV, dengan sisa pembuangan berupa uap air (ramah lingkungan), sebenarnya telah lama dikembangkan. Pada pertengahan abad ke-20, sel bahan bakar dimanfaatkan untuk pesawat ruang angkasa oleh Amerika Serikat. Baru pada akhir 1980-an diterapkan pada kendaraan.
Berdasarkan arsip harian Kompas, pada Oktober 1996, Toyota Motor Corp mengumumkan bahwa mereka mulai mengembangkan prototipe kendaraan berbasis fuel cell. Pada tahun yang sama, beberapa bulan sebelumnya, perusahaan mobil asal Jerman, Daimler-Benz, sudah meluncurkan mobil bertenaga fuel cell. Namun, pengembangannya masih menyisakan pertanyaan.
Produksi hidrogen sebesar 128 ton per tahun itu bisa menyediakan energi untuk 438 mobil per tahun.
Pada awal 2000, teknologi fuel cell terus berkembang dan semakin banyak produsen tertarik untuk ikut mengembangkannya. Selanjutnya, kendati masih prototipe serta menyisakan berbagai tantangan, kendaraan bertenaga hidrogen dianggap sebagai jawaban atas tuntutan agar kendaraan lebih ramah lingkungan. Di sisi lain, kendaraan listrik berbasis baterai, termasuk berbahan baku nikel, juga dikembangkan. Begitu juga kendaraan dengan sistem hibrida.
Baca juga: SPBU Hidrogen Percontohan Diresmikan, Bus Hidrogen Segera Meluncur
Pengembangan fuel cell selanjutnya juga tak terbatas pada kendaraan bermotor, tetapi juga pada pembangkit listrik hingga peralatan elektronik, seperti telepon seluler. Sejumlah negara maju di bidang fuel cell ialah AS, Jepang, dan sejumlah negara Eropa, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris. Namun, Jepang yang lebih dulu memasuki tahap komersial.
Indonesia juga tidak ketinggalan. Pada 2008, misalnya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) meluncurkan sepeda motor ramah lingkungan berbasis fuel cell. Namun, tidak mudah untuk terus mengembangkan inovasi itu. Sebab, perlu ada infrastruktur untuk menunjang manufaktur produksi komponen fuel cell. Implementasi inovasi teknologi, untuk bisa masif dimanfaatkan, juga butuh peran swasta.
Di sisi lain, masih belum ekonomisnya FCEV juga membuat pengembangan belum berjalan cepat. Bagaimanapun, sebagai bahan bakar, BBM jauh lebih murah. Ekosistem industri yang telah terbangun juga membuat harga mobil konvensional juga lebih murah.
Barulah pada 2014, Toyota meluncurkan mobil fuel cell produksi massal mereka yang pertama, yakni Mirai. Dalam bahasa Jepang, mirai berarti masa depan. Saat Toyota Mirai diluncurkan, sudah ada sejumlah merek di pasar berteknologi fuel cell, antara lain Audi A7 Sportback h-tron Quattro, Volkswagen Golf SportWagen HyMotion, Hyundai ix35 Fuel Cell, dan Honda FCV (Kompas, 3 Desember 2014).
Tentu saja, FCEV, dengan berbahan bakar hidrogen, bukan satu-satunya jenis kendaraan listrik yang berkembang dalam dekade terakhir. Ada kendaraan listrik berbasis baterai (BEV), yang sekarang semakin marak dijumpai di Indonesia, kendaraan listrik hibrida (HEV), dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV). Seiring meningkatnya tren peralihan ke energi rendah emisi, pasar kendaraan listrik juga berkembang.
Kendati memiliki kelebihan berupa jarak tempuh yang lebih lama serta durasi pengisian bahan bakar yang lebih cepat, FCEV masih menjadi mobil ”masa depan”. Kendaraan listrik berbasis baterai, terutama berbahan baku nikel, lebih dilirik pasar. Apalagi, Indonesia kaya akan nikel. Kini, setidaknya ada Hyundai dan Wuling, yang berkembang dalam pasar industri BEV di Indonesia.
Mulai dari bus
Kini, dengan telah diresmikannya stasiun pengisian hidrogen pertama di Indonesia, harapan pengembangan FCEV bangkit lagi. Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eniya Listiani Dewi, yang terlibat dalam PLN Hydrogen Center, mengatakan, pengenalan ke publik akan dimulai melalui transportasi publik, berupa bus, di Jakarta.
Bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, diharapkan pengadaan bus-bus hidrogen, berbasis fuel cell, dapat segera terlaksana. ”Bus dulu diperbanyak sehingga orang tahu dan menyadari bahwa hidrogen yang paling non-emisi itu ada,” ujar Eniya, penerima anugerah Habibie Award Bidang Ilmu Rekayasa (2010) dan BJ Habibie Technology Award (2018), Rabu (21/2/2024).
Kendati tantangan tidak mudah, termasuk bagaimana menekan harga yang masih berkisar Rp 900 juta-Rp 1 miliar, mobil bertenaga hidrogen diharapkan benar-benar bisa menjadi alternatif.
Eniya mengatakan, BRIN, atau dulu BPPT, telah meriset fuel cell sejak 2004. Kala itu belum ada istilah hidrogen hijau. Fuel cell saat itu dilihatnya sebagai long term energy storage, terutama jika dibandingkan dengan baterai.
Kendati tantangan tidak mudah, termasuk bagaimana menekan harga yang masih berkisar Rp 900 juta-Rp 1 miliar, mobil bertenaga hidrogen diharapkan benar-benar bisa menjadi alternatif, dengan permintaan yang meningkat. Terlebih, pemanfaatan hidrogen untuk sektor transportasi juga sudah masuk dalam perencanaan pemerintah.
Menurut Eniya, hydrogen fuel cell akan menjadi salah satu opsi menuju target-target menuju NZE 2060. ”There is no single solution (tidak ada solusi tunggal). Biofuel pasti terbatas masalah lahan ataupun suplai. Sementara EV (berbasis baterai) untuk kendaraan perkotaan. Nantinya, harga kendaraan hidrogen (fuel cell) pun akan terus turun (sehingga bisa bersaing),” ucap Eniya.
Dalam Strategi Hidrogen Nasional disebutkan, berdasarkan permodelan NZE Kementerian ESDM, permintaan hidrogen rendah karbon dari berbagai sektor diproyeksikan akan tumbuh pada 2031-2060. Sementara dari proyeksi IEA, laju pengembangan hidrogen rendah karbon di Indonesia baru akan meningkat pesat setelah 2030. Pengembangan akan didominasi sektor pembangkitan (dalam amonia untuk co-firing), transportasi, dan industri.
Berkaca pada peta jalan yang ada, pengembangan hidrogen rendah karbon, termasuk sebagai pembawa energi, menjadi krusial dalam 4-6 tahun ke depan. Suka tidak suka, persaingan dengan energi fosil, lebih murah dan relatif tersedia, menjadi tantangan utama.
Apakah kita akan sampai pada mirai (masa depan) yang diharapkan? Atau bergerak stagnan? Yang pasti, melimpahnya sumber energi terbarukan menjadi modal kuat yang dimiliki Indonesia.