Alasan Pemerintah ”Kebelet” Gabung Klub Negara-negara Maju
Diperlukan reformasi besar untuk menyelaraskan undang-undang dan kebijakan agar Indonesia menjadi anggota OECD.
Pemerintah lewat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengklaim bahwa Indonesia tinggal selangkah lagi bergabung menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD. Klaim ini muncul berlandaskan fakta bahwa pada Rabu (20/2/2024), Dewan OECD telah memutuskan untuk membuka diskusi aksesi dengan Indonesia.
Pemerintah tampak begitu ”kebelet” untuk menjadi anggota klub negara-negara maju dunia ini. Di Juli 2023, arahan untuk menjadi anggota OECD datang dari Presiden Joko Widodo. Sebulan berselang, Agustus, Presiden bertemu dengan Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann di Jakarta.
Lalu, pada September 2023, dilakukan pertemuan Dewan OECD, sebagai badan pengambil keputusan tertinggi di organisasi, untuk membahas rencana Indonesia.
Diperlukan reformasi besar untuk menyelaraskan undang- undang (UU), kebijakan, dan praktik yang sesuai dengan standar OECD, termasuk sistem perdagangan, finansial, pajak, ketenagakerjaan, peradilan, hingga tata kelola BUMN.
Intensi untuk bergabung dalam keanggotaan OECD juga tertuang dalam surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann sebagai tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo.
Perkembangan terbaru, Dewan OECD membuka diskusi aksesi dengan Indonesia, mengikuti penilaian oleh anggota OECD berdasarkan Evidence-based Framework for the Consideration of Prospective Members. Keputusan ini menjadi kelanjutan dari peningkatan keterlibatan dan kerja sama Indonesia sebagai salah satu negara mitra utama OECD sejak 2007.
Rekomendasi Reformasi Struktural dari OECD. Sumber : OECD
Tidak mudah
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menuturkan, Dewan OECD akan mengeluarkan Peta Jalan Aksesi berisi hal-hal yang harus diperbaiki Indonesia agar sesuai dengan standar OECD. Indonesia baru akan resmi diterima menjadi anggota OECD hanya saat Peta Jalan Aksesi ini benar-benar telah terimplementasi.
”Diperlukan reformasi besar untuk menyelaraskan undang-undang (UU), kebijakan, dan praktik yang sesuai dengan standar OECD, termasuk sistem perdagangan, finansial, pajak, ketenagakerjaan, peradilan, hingga tata kelola BUMN,” ujarnya saat dihubungi Jumat (23/2/2024).
Baca Juga: Geopolitik Aksesi ke OECD
Yose mengatakan, berkaca dari proses keanggotan Kolombia, butuh waktu 7 tahun bagi negara itu untuk menjadi anggota OECD. Persiapan negara Amerika Latin tersebut untuk bergabung dengan OECD sudah dilakukan sejak 2013 dan baru benar-benar bergabung pada 2020.
“Terdapat 23 checklist yang perlu mereka penuhi dan untuk memenuhi checklist tadi tidak mudah. Perlu ada reformasi ekonomi yang mereka lakukan mulai dari reformasi tata kelola pasar keuangan, tata kelola perpajakan, tata kelola perdagangan, dan hal-hal yang harus mereka penuhi juga,” katanya.
Jika disetujui menjadi anggota OECD, Indonesia akan menjadi negara Asia Tenggara pertama dan negara Asia ketiga yang bergabung di organisasi yang sering disebut sebagai ”klub negara maju” itu. Sebelumnya, Jepang bergabung pada 1964 dan Korea Selatan pada 1996.
Kementerian Koperasi dan UKM bersama dengan UN-ESCAP dan OECD serta berkolaborasi dengan OXFAM, World Benchmarking Alliance, dan INFID, menggelar acara 6th ASEAN Inclusive Business Summit 2023 di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (23/8/2023). Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki (kiri) berbincang dengan Sekretaris Eksekutif UN-ESCAP Armida Salsiah Alisjahbana (kanan) saat konferensi pers serangkaian acara 6th ASEAN Inclusive Business Summit 2023.
Cikal bakal OECD
Saat ini, OECD beranggotakan 38 negara yang mayoritas berstatus negara berpendapatan tinggi dengan rata-rata pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sebesar 44.886 dollar AS pada 2022.
Cikal bakal organisasi ini adalah Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC) yang terbentuk pada 16 April 1948. Organisasi ini merupakan bagian dari gagasan Menteri Luar Negeri AS George Marshall (Marshall Plan) untuk membantu negara-negara Eropa Barat bangkit dari kehancuran akibat Perang Dunia II.
OEEC mengelola, mengalokasikan, dan mendistribusikan bantuan ke negara-negara Eropa Barat. Dengan keberhasilannya memulihkan perekonomian Eropa, pada 1961 dibentuklah organisasi permanen (OECD) untuk melanjutkan upaya pemulihan. Keanggotaannya pun diperluas mencakup Kanada dan Jepang.
Setiap negara anggota OECD akan didorong melakukan reformasi serta menerapkan standar kebijakan dan regulasi tertentu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.
Analis Geopolik dan Hubungan Internasional, Dian Wirengjurit, dalam artikelnya, ”Maju Bersama OECD?” (Kompas, 28/12/2023), menyebut Marshall Plan bagi AS telah menyediakan pasar bagi produk-produknya dan menciptakan mitra dagang yang diandalkan, serta mendukung pengembangan pasar bebas.
Sebagai kelanjutan dari Marshall Plan, OECD berupaya menciptakan koherensi kebijakan untuk pembangunan negara-negara anggotanya dan dunia dalam menjaring kemitraan global. OECD menyinergikan kebijakan antara negara-negara maju dan berkembang agar selaras dengan standar internasional.
Yose Rizal Damuri
Reformasi ekonomi
Yose mengatakan setiap negara anggota OECD akan didorong melakukan reformasi serta menerapkan standar kebijakan dan regulasi tertentu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Peluang investasi dan kerja sama perdagangan juga otomatis terbuka lebih lebar.
”Itu diharapkan menjadi patokan dan best practice untuk Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” ujarnya.
Baca juga: Menimbang Untung-Rugi RI Masuk “Klub Negara Maju”
Dalam proses menjadi anggota OECD, Indonesia akan mendapat tekanan lebih kuat untuk menjalankan reformasi ekonomi. Dalam melakukan reformasi ekonomi, Indonesia akan mendapat sokongan dari negara anggota yang lain agar tata kelola program pembangunan menjadi lebih baik dalam hal kepastian hukum, keterbukaan dan keberlanjutan.
Manfaat lainnya ketika kita bergabung adalah memliki seal of approval atau stempel persetujuan bahwa Indonesia adalah negara yang punya kredibilitas. Indonesia akan dipandang sebagai negara yang lebih bersahabat terhadap investasi, lebih terbuka, lebih mempunyai daya saing yang cukup kuat.
”Karena biasanya anggota OECD itu juga menunjukkan peningkatan investasi mereka ketika mereka bergabung, seperti Chile dan Kolombia, terlihat bahwa ada indikator-indikator perekonomian yang lebih baik,” ujar Yose.
Namun, perlu diingat bahwa mewujudkan koherensi kebijakan merupakan urat nadi kerja sama OECD. Padahal, di sisi lain, struktur ekonomi, kebutuhan, dan kepentingan negara maju dan berkembang berbeda.
Siapkah Indonesia menyeragamkan kebijakan dan regulasi dengan anggota OECD lainnya? Misalnya, saat sudah menjadi anggota OECD, bersediakah Indonesia tak lagi mengekspor sawit dan produk turunannya?
Jadi, sebelum masuk, pemerintah harus mampu mengukur diri. Siapkah Indonesia menyeragamkan kebijakan dan regulasi dengan anggota OECD lainnya? Misalnya, saat sudah menjadi anggota OECD, bersediakah Indonesia tak lagi mengekspor sawit dan produk turunannya?
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kanan) tengah melobi mitranya, Menteri Luar Negeri Kanada Melanie Joly, menjelang High-Level Event on Global Solidarity with Afghan Women and Girls di salah satu ruang pertemuan di dalam gedung PBB, Selasa (19/9/2023).
Lobi-lobi
Guna menjadi anggota OECD, Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Arrmanatha Christiawan Nasir, pada wawancara dengan Kompas pada September 2023, menjelaskan, butuh kesepakatan dari seluruh anggota OECD. Selanjutnya akan ada proses aksesi, termasuk melalui berbagai tahapan dan negosiasi.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia memanfaatkan waktu di sela-sela Sidang Majelis Umum Ke-78 PBB, 19-26 September 2023, untuk melobi negara-negara anggota OECD. Lobi-lobi maraton oleh Indonesia, menurut Arrmanatha, berlangsung baik. ”Hasilnya positif. Semua negara yang bilateral dengan Indonesia untuk OECD memberikan dukungan ke Indonesia,” katanya.
Untuk menjadi anggota OECD butuh kesepakatan dari seluruh anggota OECD.
Soal kepentingan Indonesia masuk menjadi anggota OECD, menurut Arrmanatha, berkaitan dengan target Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Menjadi anggota OECD merupakan persiapan mencapai target itu.
”Berbagai standar dan aturan, serta kesiapan, yang disyaratkan OECD akan membantu Indonesia membangun institusi dalam negeri untuk mencapai standar negara maju. Ini sekaligus membantu masuknya investasi ke dalam negeri melalui kepastian hukum dan aturan yang menjadi standar negara maju,” katanya.