Sepi Dukungan, Promotor Musik Masih Hadapi Lorong Gelap Perizinan
Pertunjukan seni mengalami sepi dukungan. Sudah begitu, perizinan untuk pergelarannya serba tidak pasti.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku ekonomi kreatif menyayangkan belum terciptanya usaha kolektif dengan pemerintah. Padahal, Indonesia memiliki ceruk pasar yang besar dan mampu bersaing di kancah internasional. Upaya pemerintah menghadirkan Dana Pariwisata Indonesia mereka nilai sebagai angin segar.
Promotor Prambanan Jazz Festival, Anas Syahrul Alimi, menyatakan, Indonesia kerap kali kalah tawar-menawar (bidding) guna mendatangkan musisi-musisi papan atas dunia. Negara lain, seperti Singapura, berani membayar 3-4 kali lipat bintang tamu dibanding promotor lain. Tak heran jika Singapura berhasil mendatangkan musisi bertarif tinggi.
”Kami enggak mungkin bertaruh hitung-hitungan ketika peran negara sangat kecil. Kami dibiarkan sendiri bidding terhadap agen artis. Kami dibiarkan sendiri urus perizinan,” ujar Anas saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/2/2024).
Promotor, menurut Anas, menanggung risiko kerugian secara mandiri. Padahal, pemerintah di negara lain membantu atau memberikan insentif, misalnya menggratiskan biaya lokasi pergelaran. Untuk stadion, sewa lokasi di Indonesia bisa mencapai Rp 1 miliar per acara.
Bernegosiasi mendatangkan para musisi internasional, Anas meyakinkan, sebenarnya mudah. Sebab, negosiasi terutama ditentukan pada bayaran artis alias money talk.
Perizinan lambat
Persoalan lain adalah perizinan yang menimbulkan ketidakpastian penyelenggaraan. Menurut Anas, perizinan kerap keluar mendekati hari pelaksanaan. Bahkan, pernah kejadian, izin keluar saat hari-H. Ia menilai, persoalan ini disebabkan sistem kerja yang tak sama.
”Kalau susah, tidak. Tapi, sistem yang tak ada kepastian sehingga lamanya perizinan menjadi berbeda-beda. Ini bukan karena pungutan liar. Padahal, idealnya izin penyelenggaraan konser internasional keluar sebulan sebelum acara,” ujarnya.
Perizinan kerap keluar mendekati hari pelaksanaan. Bahkan, pernah kejadian, izin keluar saat hari-H.
Semestinya, Anas melanjutkan, ada sistem satu pintu untuk mengurus perizinan konser. Pada akhir 2023, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sudah menguji coba sistem satu pintu, tetapi belum diterapkan resmi hingga saat ini.
Apabila bisa berjalan, Anas percaya, sistem itu akan memudahkan promotor dan agen artis internasional mengurus perizinan. Sebab, prosesnya pasti sehingga bisa diprediksi.
Tiket jadi mahal
Akibat semua persoalan itu, Indonesia akhirnya lebih banyak mendatangkan artis-artis yang secara komersial pada level ”medium” yang tak begitu diperebutkan. Hal ini berbeda dengan musisi internasional dunia yang berpredikat hit maker, antara lain Taylor Swift, Adele, Bruno Mars, dan U2.
Dukungan sponsor (sponsorship), Anas menambahkan,dibutuhkan dalam menggerakkan industri ekonomi kreatif. Tanpa dukungan memadahi dari pemerintah ataupun sponsor, beban sepenuhnya ditanggung promotor. Dampaknya, harga tiket akan mahal sehingga penonton enggan membeli.
Program Director Plainsong Live Ferry Dermawan, penyelenggara Joyland Festival, mengemukakan pendapat serupa. Maraknya konser musisi internasional di Indonesia hanya terasa riuh sesaat. Fenomena ini bisa menjadi bom waktu jika pemerintah tak mengintervensi melalui kebijakan-kebijakan pro-industri kreatif, seperti keringanan pajak, izin kerja, dan lokasi.
Sejauh ini, promotor kerap perang harga untuk mendapatkan artis. Akibatnya, penonton terpaksa membayar tiket dengan harga relatif tinggi.
”Untuk jangka panjang, sulit bagi ekosistem untuk berkembang terutama untuk konser skala menengah (2.000-5.000 orang) penonton sebagai penopang utama dan pasar terbesar yang paling realistis untuk dikembangkan negara-negara Asia Tenggara,” tutur Ferry.
Angin segar
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengalokasikan dana Rp 2 triliun untuk mendukung penyelenggaraan pergelaran pariwisata, promosi pariwisata, dan meningkatkan citra Indonesia di mata dunia. Penyelenggaraan seni pertunjukan termasuk di dalamnya. Dana dikelola dalam wadah Dana Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Fund (ITF).
”Dana ini akan digunakan untuk menggerakkan event-event lokal hingga internasional dengan harapan dapat meningkatkan jumlah wisatawan sehingga mampu membawa dampak penciptaan lapangan kerja yang lebih luas lagi,” tutur Menparekraf Sandiaga Uno, dikutip dari unggahan pada akunnya di laman X, Kamis (22/2/2024).
Rencana ini disambut positif Anas. ITF dianggap memberi angin segar bagi para promotor Indonesia untuk mendapat dukungan lebih optimal, termasuk pendanaan dalam industri ekonomi kreatif.
”Kurasinya harus betul-betul ketat. Jangan sampai jadi ajang promotor-promotor ’petualang’. Artis (terpilih) juga harus benar-benar disaring, difilter yang memang layak dibayai,” katanya.
Kurasinya harus betul-betul ketat. Jangan sampai jadi ajang promotor-promotor ’petualang’.
ITF perlu dipikirkan dan dikelola secara matang karena dana investasi yang diberikan pemerintah diharapkan bisa kembali. Bentuk pertanggungjawaban juga harus jelas. Sebab, penyelenggaraan acara musik butuh improvisasi yang tinggi dengan tingkat kepastian rendah.
”Ketika kami harus melakukan bidding artis dengan angka sangat tinggi yang tak mungkin dilakukan promotor, bisa dilakukan dengan lembaga ini,” ujar Anas.
Manajemen talenta
Pemerintah, menurut Anas, perlu juga mendirikan lembaga khusus sekelas badan yang khusus mengurus talenta-talenta musisi. Lembaga ini berisi para ahli yang mampu berkomunikasi dan negosiasi dengan agen-agen asing untuk mempromosikan artis Indonesia ke luar negeri, begitu pula sebaliknya.
Brian Imanuel alias Rich Brian, misalnya, rapper dan penyanyi ini justru lebih kondang di Los Angeles, Amerika Serikat, ketimbang di Indonesia, negara asalnya. Ia merupakan artis Asia pertama yang berhasil berada di puncak iTunes untuk musik hip-hop. Seniman-seniman Indonesia yang berhasil bersaing di kancah internasional memang cenderung berjuang dan bergerak sendiri.
Hal senada diutarakan praktisi budaya pariwisata dan ekonomi kreatif, Harry Waluyo. Dalam konsep investasi, uang akan kembali dalam jangka waktu tertentu sehingga dana akan terus bergerak.
Ia menekankan pentingnya membangun ekosistem. Selain sebagai regulator, pemerintah juga berperan sebagai fasilitator dan akselerator. Proyek dapat diprioritaskan dan dipercepat dengan dukungan pemerintah.
”Kata kuncinya bangun ekosistem yang stabil. Dari pentaheliks, semua berperan dan berfungsi baik di dalam sistem itu sehingga bisa berkesinambungan baik pariwisata dan ekonomi kreatif,” kata Harry, yang juga mantan Sekretaris Utama Badan Ekonomi Kreatif.