Bertahun-tahun "Bakar Uang", Uber dan Grab Akhirnya Kantongi Cuan
Setelah bertahun-tahun ”bakar uang”, Uber dan Grab akhirnya membukukan laba.
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi (ride-hailing) Grab dan Uber sama-sama mulai menunjukkan performa positif di penghujung 2023. Setelah ”membakar uang” selama bertahun-tahun sejak pendiriannya, kedua perusahaan sama-sama membukukan laba untuk pertama kalinya.
Grab, yang berkantor pusat di Singapura, mencatatkan laba sebesar 11 juta dollar AS pada triwulan IV-2023. Pada periode yang sama tahun 2022, Grab rugi senilai 391 juta dollar AS. Untuk laporan keuangan sepanjang 2023, Grab masih mencatatkan kerugian senilai 485 juta dollar AS, turun dibanding kerugian pada 2022 senilai Rp 1,74 miliar dollar AS.
Sementara Uber yang berkantor pusat di AS melaporkan laba usaha senilai 1,1 miliar dollar AS pada 2023 dari pendapatan bersih senilai 1,9 miliar dollar AS. Pada 2022, Uber masih mencatatkan kerugian usaha senilai 1,8 miliar dollar AS dari total kerugian senilai 1,9 miliar dollar AS.
Baca juga: Grab-GoTo Diisukan Kembali Merundingkan Potensi Merger
Berdiri pada 2012 di Malaysia, Grab lalu memindahkan kantor pusatnya ke Singapura pada 2014. Kini perusahaan itu beroperasi di delapan negara di Asia Tenggara. Ekspansi besar-besaran Grab ke berbagai segmen terjadi pada 2019.
Sementara Uber berdiri pada 2009. Sempat hadir di Asia Tenggara mulai 2013, Uber pada 2018 akhirnya menjual aset dan operasionalnya di Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filiphina, Singapura, Thailand, dan Vietnam kepada Uber pada Maret 2018
Pendapatan meningkat
Mengutip Dealstreet Asia, perubahan positif yang dialami Grab pada triwulan IV-2023 disebabkan peningkatan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi, penyesuaian investasi nilai wajar, dan pengurangan biaya terkait kompensasi berbasis saham. Laba triwulan IV-2023 juga didorong pembalikan akrual akuntansi yang tidak perlu.
Pada triwulan IV-2023, Grab membukukan pendapatan 653 juta dollar AS, naik 30 persen dibanding setahun sebelumnya. Grab menyatakan bahwa pertumbuhan ini didorong oleh kinerja yang kuat di seluruh segmen bisnis dan optimalisasi insentif.
Baca juga: Menduga Nasib Uber
Chief Financial Officer Grab Peter Oey, dalam wawancara eksklusif dengan CNBC, Jumat (23/2/204), mengatakan, pihaknya melihat permintaan yang sangat kuat dalam hal mobilitas pada 2023, melebihi tingkat sebelum pandemi Covid-19. Selain itu, tahun lalu sektor pariwisata juga mulai berkembang pesat lagi.
”Jika Anda melihat bisnis pengiriman, kami mencatat rekor pertumbuhan 13 persen dari tahun ke tahun. Kami sekarang juga memiliki lebih banyak pengguna di platform kami pada saat yang bersamaan. Jadi, kami mengalami momentum yang sangat kuat,” katanya.
Insentif pengemudi berkurang
Grab telah memberikan insentif untuk menarik pengemudi dan penumpang ke platformnya. Namun, belakangan, insentif ini semakin berkurang seiring upaya perusahaan meningkatkan profitabilitas.
Selama triwulan IV-2023, misalnya, total insentif yang sudah termasuk diberikan kepada mitra pengemudi dan konsumen dikurangi 7,3 persen dari total nilai barang terjual.
Insentif akan selalu menjadi pendorong bagi bisnis Grab. Adanya insentif akan membuat Grab cukup memiliki pasokan mitra pengemudi dan menarik konsumen yang sensitif harga.
Ketika ditanya apakah Grab akan mencapai masa mereka tidak perlu memberikan insentif, Peter hanya mengatakan bahwa insentif akan selalu menjadi pendorong bagi bisnis Grab. Adanya insentif akan membuat Grab cukup memiliki pasokan mitra pengemudi dan menarik konsumen yang sensitif harga.
Grab mengumumkan pada Kamis bahwa mereka akan membeli kembali saham biasa kelas A untuk pertama kalinya. Target pembelian mencapai 500 juta dollar AS.
Titik perubahan
CEO Uber Dara Khosrowshahi juga mengatakan bahwa tahun 2023 merupakan titik perubahan. Perusahaan terus membuktikan bisa menghasilkan pertumbuhan yang memberi keuntungkan besar.
Di bawah kepemimpinannya, The Verge menuliskan, Uber telah mencapai kemajuan stabil. Pada Februari 2020, Uber sebenarnya bisa meraih keuntungan, tetapi muncul pandemi Covid-19. Bisnis ride-hailing jeblok.
Permintaan pengiriman naik, tetapi tidak cukup membantu operasional. Ketika pandemi, pasokan jumlah pengemudi menjadi masalah besar. Oleh karena itu, Uber harus menggelontorkan banyak uang untuk memikat mereka kembali sehingga keuangan perusahaan menjadi rugi.
Gojek mengumumkan bakal menghentikan program pengumpulan poin GoClub pada 26 Februari dan pemberian poin atau XP akan berakhir sejak 23 Februari 2024.
Khosrowshahi harus melakukan berbagai pemangkasan biaya-biaya yang dianggap membebani perusahaan. Akibatnya, tarif perjalanan menggunakan Uber sekarang menjadi lebih mahal.
Sementara laporan keuangan pemain ojek online lainnya, seperti Gojek yang beroperasi di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara, belum diumumkan. GoTo sebagai pemilik Gojek belum merilis laporan triwulan IV-2023.
Meski demikian, Sabtu (24/2/2024), Gojek mengumumkan bakal menghentikan program pengumpulan poin GoClub pada 26 Februari 2024 dan pemberian poin atau XP akan berakhir sejak 23 Februari 2024.
Masih dibutuhkan
Manajer Program S-1 Bisnis Universitas Prasetiya Mulya Muhammad Setiawan Kusmulyono, di Jakarta, Minggu (25/2/2024), berpendapat, layanan ojek online masih akan dibutuhkan, khususnya untuk mengantar ke titik ke titik terdekat di kota-kota besar. Dengan kata lain, pasar dan permintaan masih ada.
”Akan tetapi, ketika memprioritaskan sisi permintaan, sisi pasokan juga harus dijaga semangatnya. Jika terus memenuhi maunya konsumen, mereka maunya diskon terus dan dari sisi pasokan (mitra pengemudi) maunya bonus terus. Maka, hal ini harus ditanggulangi dengan bijak oleh perusahaan platform ride-hailing (ojek online),” ujarnya.
Perusahaan ojek online, Muhammad melanjutkan, biasanya mengambil marjin setipis mungkin dari lini layanan transportasi, tetapi berharap lebih banyak dari lini layanan pemesanan makanan dan pengantaran. Namun, ketika terjadi masalah pada lini layanan pemesanan makanan dan pengiriman, mereka kerap kali meminta lini transportasi ikut menyokong.
Baca juga: Kendati Tarif Naik, Pengojek Keluhkan Pendapatan Turun
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan, pasar ojek online merupakan pasar dua multisisi karena mitra ataupun pengguna akhir sebenarnya merupakan konsumen. Perusahaan platform memberikan tarif kepada pengguna akhir dalam bentuk tarif layanan dan biaya jasa platform kepada mitra.
Lalu, perusahaan menyeimbangkan keduanya sehingga terbentuk harga yang seimbang. Pada tahap awal, perusahaan biasanya akan memberikan kedua jenis konsumennya itu keuntungan dengan cara bakar uang.
Mitra tak menjanjikan
Oleh karena itu, rata-rata perusahaan platform ojek online memberikan bonus besar bagi mitra dan tarif murah bagi pengguna akhir. Setelah jumlah mitra pengemudi mencapai titik maksimum, perusahaan platform mengurangi insentif ke pengemudi.
Sementara pengguna akhir tetap diberikan tarif murah. Pada titik tertentu, supaya lebih tumbuh berkelanjutan, platform juga mengurangi keuntungan kepada pengguna akhir.
”Pekerjaan sebagai mitra, saya rasa tidak menjanjikan secara jangka panjang karena sifatnya belum formal, kecuali ada perlindungan sosial bagi mitra. Kami mendorong agar jangan sampai terjebak dalam pekerjaan dengan keterampilan rendah (sebagai mitra),” ucap Nailul.
Pekerjaan sebagai mitra, saya rasa tidak menjanjikan secara jangka panjang karena sifatnya belum formal, kecuali ada perlindungan sosial bagi mitra.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno berpendapat, hal yang patut dicermati ketika perusahaan platform ojek online mencetak profit adalah apakah mitra-mitranya, terutama mitra pengemudi, ikut sejahtera.
Berdasarkan pengamatannya, sejumlah mitra pengemudi biasanya mengerjakan layanan transportasi, pengantaran makanan, dan barang sekaligus, tetapi pendapatan bersih mereka sedikit. ”Pola hubungan kerja yang bersifat kemitraan sering kali tidak langgeng,” kata Djoko.