”Deadline” Semakin Dekat, untuk Apa Kita Melapor Pajak?
Lewat SPT Tahunan, wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak secara mandiri.
Memasuki akhir bulan lalu, tepatnya tanggal 28 Februari 2024, 23,5 juta orang di Indonesia tiba-tiba mendapat ”surat cinta” dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Dalam pesan singkat itu, setiap orang disapa dengan sentuhan personal, dengan langsung menyebut nama penerimanya satu per satu.
Bagi sebagian orang, isinya sedikit membuat jantung berdebar-debar. Sebagian lagi mungkin acuh tak acuh. Dalam pesan itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat wajib pajak segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Tahun Pajak 2023. Batas waktunya sudah hampir habis pada 31 Maret 2024 mendatang, sejak dimulai pada 1 Januari 2024 lalu.
Lantas, apa sebenarnya laporan SPT Tahunan itu? Mengapa masyarakat yang berstatus wajib pajak perlu repot-repot melaporkan lagi pajaknya setiap awal tahun meskipun mereka sudah membayar pajak?
Baca juga: Kepatuhan Melapor Meningkat Tipis, SPT Masih Dinanti
Pada dasarnya, SPT Tahunan adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak (semua warga negara yang memiliki nomor pokok wajib pajak/NPWP) untuk mempertanggungjawabkan perhitungan dan pembayaran pajaknya selama setahun terakhir. Kewajiban ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Hal-hal yang dilaporkan bukan saja perhitungan dan pembayaran pajak untuk gaji tetap yang diterima wajib pajak bersangkutan dan sudah dibayarkan lewat perusahaan atau pemberi kerja. Namun, juga untuk melaporkan penghasilan tidak tetap seperti pemasukan sampingan seseorang serta harta/aset dan utang/kewajiban yang dimiliki.
Kewajiban melapor SPT di setiap awal tahun itu sesuai dengan prinsip self assessment (penilaian diri) yang dianut Indonesia. Artinya, wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk mendaftarkan, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara mandiri.
Indonesia sudah menganut sistem ini sejak tahun 1984 ketika dilakukan reformasi sistem perpajakan. Sebelumnya, sistem yang dianut adalah pemungutan pajak official assessment alias sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada petugas administrasi pajak (pemerintah) untuk menghitung, memungut, hingga mencatat pajak terutang wajib pajak.
Sistem SPT yang self assessment ini juga menyadarkan masyarakat bahwa pengeluaran negara itu berasal dari uang mereka.
Co-founder Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman mengatakan, dalam konteks wajib pajak yang statusnya pegawai tetap, kewajiban menghitung, memotong, dan membayar pajak sudah dilimpahkan kepada perusahaan tempat bekerja.
Meski demikian, pelaporan pajak tetap menjadi kewajiban setiap pegawai selaku wajib pajak. Dengan mengantongi bukti pemotongan Pajak Penghasilan (PPh 21) karyawan atau Form 1721 A1 dari perusahaan, pegawai tinggal memperhitungkan dan melaporkan pajaknya setiap awal tahun.
Di satu sisi, ini merupakan bentuk ”kebebasan” dan kepercayaan yang diberikan negara kepada wajib pajak. Meskipun di sisi lain sebagai konsekuensinya sejumlah wajib pajak bisa merasa direpotkan. Oleh karena itu, ke depan, sistem pelaporan pajak perlu dibuat lebih mudah dan terintegrasi lagi agar tidak menyusahkan wajib pajak saat mengisi dan melaporkan SPT.
”Memang banyak yang bertanya-tanya kenapa masih harus lapor SPT Tahunan, padahal sudah bayar pajak. Tetapi, kewajiban melaporkan pajak penghasilan ini merupakan konsekuensi dari sistem self assesment. Semoga ke depan data perpajakan bisa benar-benar terintegrasi agar lebih mudah untuk melapor,” kata Raden, Senin (4/3/2024).
Demokratisasi pajak
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan, pelaporan SPT Tahunan bukan hanya untuk kepentingan administratif dan kepentingan DJP semata. Dengan membuat SPT Tahunan, wajib pajak bisa mengetahui kewajiban perpajakan apa saja yang sudah dan harus ia penuhi dalam satu tahun.
”Wajib pajak juga jadi punya catatan tentang berapa jumlah penghasilan sebenarnya yang diterima, harta apa saja yang ia miliki, dan nilainya berapa. Kalau untuk DJP sendiri sudah jelas kalau SPT Tahunan ini bisa jadi rujukan untuk menilai kembali apakah penghitungan dan pembayaran pajak kita sudah tepat atau belum,” katanya.
Sementara, menurut Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar, dengan sistem self assessment dalam laporan SPT Tahunan, wajib pajak justru punya keleluasaan dalam menentukan besaran pajaknya sendiri.
”Ini di satu sisi merupakan bentuk demokratisasi pajak. Sistem ini juga bisa menyadarkan masyarakat bahwa pengeluaran negara itu berasal dari uang mereka. Mereka bisa protes kalau pengeluaran publik tidak sebagaimana mestinya,” ujar Fajry.
Baca juga: Digitalisasi Pajak
Adapun jenis formulir SPT Tahunan orang pribadi berbeda-beda, tergantung sumber penghasilan wajib pajak dengan besaran penghasilan brutonya dalam setahun.
Pertama, Formulir 1770 SS untuk wajib pajak dengan penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dan jumlah penghasilan brutonya dari pekerjaan tidak lebih dari Rp 60 juta per tahun. Kedua, Formulir 1770 S untuk wajib pajak dengan penghasilan dari satu pemberi kerja atau lebih dengan jumlah penghasilan brutonya sama dengan atau lebih besar dari Rp 60 juta per tahun.
Ketiga, Formulir 1770 untuk wajib pajak yang penghasilannya bersumber dari usaha atau pekerjaan bebas. Misalnya, usaha warung atau pertokoan, pekerja gig/pekerja lepas (freelancer). Keempat, Formulir 1771 atau SPT Tahunan yang perlu diisi oleh wajib pajak badan usaha, bukan diisi oleh wajib pajak orang pribadi.
Semakin patuh
Lantas, apakah masyarakat sudah patuh melaporkan pajaknya setiap tahun? Berdasarkan catatan DJP Kementerian Keuangan, rasio kepatuhan formal wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan pada 2023 mencapai 88 persen. Dari total 19,4 juta wajib pajak yang berkewajiban melaporkan SPT Tahunan, sebanyak 17,1 juta wajib pajak menunaikan kewajibannya tahun lalu.
Baca juga: Formula Baru Tarif PPh 21 Tidak Menambah Beban Pajak Pekerja
Tingkat kepatuhan tersebut cenderung membaik dari tahun ke tahun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2022, rasio kepatuhan melapor SPT tahunan adalah 86,8 persen, tahun 2021 (84,07 persen), tahun 2020 (77,63 persen), tahun 2019 (73,06 persen), dan tahun 2018 (71,10 persen).
Data terbaru, sampai 28 Februari 2024, sudah ada 5,4 juta wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan PPh tahun 2023 dari total 25 juta wajib pajak (orang pribadi dan badan). Angka itu tumbuh 1,63 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu dan masih terus bergulir sampai 31 Maret 2024.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengimbau wajib pajak bisa melaporkan SPT Tahunan-nya sebelum batas waktu yang ditetapkan. Namun, wajib pajak juga perlu berhati-hati jika menerima pesan atau informasi yang mengatasnamakan DJP. Pasalnya, di masa penyampaian SPT Tahunan, sering terjadi penipuan dengan modus pajak.
Bentuk penipuan itu biasanya melalui phishing situs resmi DJP, atau pengiriman file berekstensi apk lewat aplikasi pengiriman pesan seperti Whatsapp. Dwi menegaskan, DJP tidak pernah mengirim file berekstensi apk. E-mail imbauan SPT juga selalu berakhiran @pajak.go.id. ”Kami mengingatkan masyarakat agar terus melakukan crosscheck apabila menerima pesan terkait perpajakan,” katanya.