Sandiaga Uno: Pemerintah Akan Fasilitasi Ekonomi Kreatif
Ekonomi kreatif menjadi salah satu tumpuan perekonomian Indonesia. Ekosistem industri ini harus kuat dan berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS — Masa depan ekonomi Indonesia terletak, antara lain, pada ekonomi kreatif. Modal dasar dan potensinya besar. Demikian pula dengan tantangan-tantangannya. Kolaborasi semua pemangku kepentingan guna memperkuat ekosistem menjadi prasyaratnya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan, potensi perkembangan ekonomi kreatif (ekraf) di Indonesia begitu besar. Kreativitas dan inovasi menjadi modal utama para pelaku ekraf dalam negeri.
”Orang Indonesia itu (sebagai) pelaku ekraf dikenal dunia dengan kemampuan berkreasi dan inovasi. Jadi, itu sudah menjadi core Indonesia. Ini yang harus jadi keunggulan yang kita lebih pertimbangkan di masa depan,” ujarnya dalam wawancara eksklusif bersama Kompas, Rabu (6/3/2024), di Jakarta.
Ia mengatakan, industri manufaktur dan hilirisasi tambang memang penting. Namun, hilirisasi sektor ekraf pun perlu dilakukan. Sebab, efek pengganda dari produksi barang dan jasa ekraf dapat berkontribusi pada neraca ekraf untuk mendongkrak perekonomian nasional.
Baca juga: Industri Kreatif Indonesia, Bukan Singapura dan Gemerlap Taylor Swift
Meski demikian, ia mengakui masih ada hambatan-hambatan yang dihadapi para pelaku ekraf di lapangan. Hambatan itu di antaranya isu pembiayaan dan perubahan teknologi yang dinamis. Oleh sebab itu, pemerintah harus mendampingi, bukannya meninggalkan. ”Ekosistem harus kuat dan berkelanjutan,” katanya.
Salah satu caranya, menurut Sandiaga, investasi penuh pada sumber daya manusia. Kolaborasi lintas sektor dan kebijakan publik yang mendukung juga mutlak dilakukan.
Selain itu, Sandiaga menambahkan, pemerintah berkomitmen mendukung dari sisi pembiayaan. Skemanya, antara lain, berupa public private partnership atau kemitraan pemerintah dan swasta. Sumber dananya berasal dari dana pariwisata Indonesia (Indonesia Tourism Fund).
Ada pula skema lain, termasuk untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Kebijakan ini mengatur soal pembiayaan, pemasaran produk berbasis kekayaan intelektual, infrastruktur, dan insentif untuk pelaku ekraf. PP ini juga mengamanatkan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam pengembangan ekraf.
”Karena itu, kami bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan agar produk pembiayaan yang berbasis kekayaan intelektual ini lebih didukung sehingga lebih menyentuh para pelaku ekraf,” kata Sandiaga.
Baca juga: Ekonomi Kreatif, Sektor Menjanjikan dengan Ragam Batu Sandungan
Praktisi budaya, pariwisata, dan ekraf Harry Waluyo menyatakan, pembangunan ekraf harus dilakukan holistik dan terintegrasi. ”Benahi dulu ekosistem kita. Jadi, kita jangan bicara parsial. Oh, kementerian bahas ini, tapi (bagian) lain siapa yang memikirkan? Harus dipikir secara holistik, terintegrasi, sehingga ekosistem bisa berjalan,” kata Harry.
Pembangunan ekosistem, menurut Harry, tak bisa dilakukan hanya oleh salah satu pihak. Negara harus bersama-sama membangunnya. Ini tak bisa dilakukan secara sektoral, tetapi terintegrasi. Upaya ini juga perlu dilakukan bersama oleh pemerintah pusat dan daerah.
Konsumsi masyarakat sebagai salah satu aspek dalam ekosistem, menurut Harry, perlu dibangun dengan cara menumbuhkan rasa bangga terhadap produk-produk lokal. Para pejabat dapat memberikan contoh dengan menggunakan produk-produk dalam negeri jika menginginkan masyarakat juga melakukan hal serupa.
”Beragam pelaku ekraf dari banyak subsektor yang biasanya tergabung dalam asosiasi perlu memiliki kesamaan visi, bukan merasa paling menonjol dibandingkan dengan yang lain. Sebab, ketika ke luar negeri, nama Indonesia yang dibawa,” tuturnya.
Para pejabat dapat memberikan contoh dengan menggunakan produk-produk dalam negeri jika menginginkan masyarakat juga melakukan hal serupa.
Co-founder Setali Indonesia Intan Anggita Pratiwie menekankan pentingnya kesadaran para pelaku ekraf sebagai satu ekosistem. Alih-alih berkompetisi, mereka sebaiknya saling mendukung.
Baca juga: Puluhan Triliun Pesona Taylor Swift
Ia berharap para pelaku ekraf sadar dan percaya diri terhadap apa yang dibuat. Sebab, banyak artis yang kadang masih membandingkan satu sama lain, padahal setiap dapur memiliki ”racikan” tersendiri.
”Kita perlu merangkul semua (pelaku ekraf) menjadi satu ekosistem yang saling mendukung, bukan jadi kompetitor ataupun pembanding satu sama lain. Jadi, kita bisa mempunyai payung yang cukup besar,” ujarnya.
Upaya-upaya para pelaku ekraf mengembangkan diri, menurut Intan, membutuhkan bantuan investor. Investasi tak melulu berupa pendanaan, tetapi bisa dalam bentuk berbagai fasilitas. Di antaranya penyediaan ruang untuk promosi.
Keluhan pelaku
Sejumlah pelaku industri ekraf yang dihubungi terpisah mengungkapkan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Hal ini tersebar di berbagai lini, seperti perizinan, birokrasi, pendanaan, dan kemampuan sumber daya manusia.
Promotor Prambanan Jazz Festival, Anas Syahrul Alimi, menyatakan, perizinan konser kerap keluar mendekati hari pelaksanaan, bahkan pernah terbit pada hari-H. Ia menilai, persoalan ini terjadi karena sistem kerja yang tak sama.
”Kalau susah, tidak. Tapi, sistemnya yang tak ada kepastian sehingga lamanya perizinan menjadi berbeda-beda. Ini bukan karena pungutan liar. Padahal, idealnya izin penyelenggaraan konser internasional keluar sebulan sebelum acara,” katanya.
Baca juga: Tantangan Membiayai Sektor Ekonomi Kreatif
Idealnya, ada sistem satu pintu untuk mengurus perizinan konser. Pada akhir 2023, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sudah menguji coba sistem tersebut. Namun, sistem itu belum diterapkan hingga saat ini. Apabila bisa berjalan, sistem itu bisa memudahkan promotor dan agen artis internasional untuk mengurus perizinan karena proses yang bisa diprediksi.
Perizinan konser kerap keluar mendekati hari pelaksanaan, bahkan pernah terbit pada hari-H. Ia menilai, persoalan ini terjadi karena sistem kerja yang tak sama.
Pendiri, sutradara, dan direktur artistik Papermoon Puppet Theatre, Maria Tri Sulistyani, mengatakan, ekosistem seni pertunjukan sebenarnya sudah cukup membaik pada tahun ini ketimbang beberapa tahun lalu. Besaran dana hibah (grant) terbesar justru dari pemerintah sehingga banyak seniman pertunjukan yang menikmatinya.
Berbeda dengan negara lain, seni pertunjukan Indonesia dapat dihadirkan di mana pun, antara lain pasar dan jalan raya. Seniman memiliki keleluasaan dan ”keliaran” untuk mengolahnya, tetapi mereka cenderung memikirkan apresiasi di akhir, bukan perkembangan audiensnya.
”Selama ini, pemerintah sudah memberikan pancingan, stimulan. Ini ada dana yang bisa dipakai untuk bikin karya. Sayangnya, baru satu arah, seniman (sekadar) bikin karya saja,” ujar Ria.
Persoalan mendasar yang dialami ekosistem seni pertunjukan adalah karya diciptakan tanpa memikirkan audiensnya. Pemerintah dapat mendorong dengan kebijakan yang mendesak seniman menciptakan seni sesuai dengan perkembangan audiensnya.
Ekraf meliputi 17 subsektor, antara lain aplikasi, arsitektur, desain komunikasi visual, desain produk, desain interior, fotografi, musik, kriya, kuliner, fashion, dan penerbitan. Selain itu, ada film, animasi, dan video; periklanan; permainan interaktif; seni pertunjukan; seni rupa; serta televisi dan radio.
Dalam laporan Statistik Ekonomi Kreatif 2020, ekraf mampu menyerap 19,2 juta tenaga kerja pada 2019. Jumlahnya setara dengan 15,2 persen dari tenaga kerja nasional. Trennya tumbuh positif sejak 2011. Namun, hampir setengah sebaran pekerja tahun 2019 terpusat pada subsektor kuliner sebesar 49,5 persen. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai Rp 1.153,4 triliun. Sementara sumbangannya terhadap ekspor nasional sebesar 19,6 juta dollar AS atau 11,9 persen.
Baca juga: Sepi Dukungan, Promotor Musik Masih Hadapi Lorong Gelap Perizinan