Konflik Geopolitik dan Cuaca Ekstrem Jadi Tantangan Lintas Generasi
Dalam setahun, pendapatan rumah tangga miskin rerata tergerus 5 persen akibat suhu ekstrem dan 4,4 persen akibat banjir.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC menyebutkan konflik geopolik dan cuaca ektrem menjadi tantangan perdagangan lintas generasi. Oleh karena itu, APEC menekankan perlunya merevitalisasi kerja sama Kawasan Perdagangan Bebas Asia-Pasifik atau FTAAP, baik di sektor perdagangan maupun investasi.
Bersamaan dengan itu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mendesak pentingnya mengembangkan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim bagi generasi saat ini dan mendatang. Dalam laporan terbarunya, ”Unjust Climate”, FAO menyebutkan, banjir dan suhu ekstrem memperlebar kesenjangan pendapatan rumah tangga miskin dengan rumah tangga kaya sekitar 20-21 miliar dollar AS per tahun.
Dalam pertemuan Komite Perdagangan dan Investasi APEC di Lima, Peru, Pemerintah Peru menginisiasi revitalisasi FTAAP yang sudah berjalan sejak 2006. Perjanjian perdagangan bebas komprehensif itu perlu diperbarui lantaran semakin banyak tantangan yang menghambat agenda integrasi ekonomi regional APEC.
Direktur APEC dan Forum Khusus Kementerian Luar Negeri Peru Renato Reyes mengatakan, tantangan dunia semakin kompleks pasca-pandemi Covid-19. Tantangan itu terutama konflik geopolitik dan perubahan iklim.
Tantangan tersebut telah melahirkan sejumlah isu, seperti gangguan rantai pasokan, ketahanan pangan, fragmentasi ekonomi, proteksionisme dan peralihan ekonomi ke dalam negeri, serta lingkungan hidup dan sosial. Isu-isu tersebut bakal dialami generasi sekarang hingga generasi masa depan.
”Kami merasa perlunya menata kembali FTAAP sebagai aspirasi kolektif untuk menjadikan perdagangan dan investasi sebagai alat yang relevan untuk mendorong inklusi sosial dan pembangunan keberlanjutan,” ujarnya melalui siaran pers, Rabu (6/3/2024), waktu setempat.
Kami merasa perlunya menata kembali FTAAP sebagai aspirasi kolektif untuk menjadikan perdagangan dan investasi sebagai alat yang relevan untuk mendorong inklusi sosial dan pembangunan keberlanjutan.
APEC merupakan forum kerja sama ekonomi 21 negara di lingkar Samudra Pasifik. Negara-negara anggota APEC memiliki populasi sekitar 2,96 miliar jiwa atau mewakili 37 persen penduduk dunia, 47 persen perdagangan global, dan 62 persen total produk domestik bruto dunia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), kawasan APEC berkontribusi sekitar 70 persen dari total nilai ekspor nonmigas Indonesia pada 2023. Nilai ekspor Indonesia ke kawasan tersebut mencapai 182 miliar dollar AS. Indonesia juga masih mencatatkan surplus neraca perdagangan terhadap APEC sebesar 16,07 miliar dollar AS.
Dalam forum itu, Indonesia mendukung sepenuhnya prioritas Keketuaan Peru, termasuk rencana revitalisasi FTAAP. Indonesia juga memberikan sejumlah catatan tentang perlunya APEC mendukung Organiasi Perdagangan Dunia (WTO) dan keseimbangan dalam pembahasan pembaruan FTAAP.
Direktur Perundingan Antar Kawasan dan Organisasi Internasional Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Reza Pahlevi Chairul menyampaikan, APEC berperan penting mendukung sistem perdagangan multilateral WTO. Dalam Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, para menteri negara-negara anggota WTO telah melahirkan Deklarasi Abu Dhabi.
Salah satu poin deklarasi itu adalah pentingnya peran sistem perdagangan multilateral di WTO untuk mendorong dan membantu mengatasi tantangan perdagangan global dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal itu mencakup juga upaya-upaya meningkatkan peran usaha kecil dan menengah dan perempuan dalam perdagangan internasional.
”Kami juga menekankan agar pembahasan FTAAP bisa berjalan inklusif, seimbang, dan adil, serta memberikan fleksibilitas untuk mengakomodiasi perbedaan kapasitas dan kemampuan ekonomi setiap negara anggota APEC,” kata Reza.
Dampak cuaca ekstrem
Pada 5 Maret 2024, FAO kembali menegaskan pentingnya mengantisipasi dampak perubahan iklim, terutama terhadap masyarakat desa. FAO juga menekankan pentingnya pengembangan sektor pertanian yang adaptif terhadap cuaca ektrem.
Hal itu tertuang dalam laporan terbaru FAO bertajuk ”Unjust Climate”. Laporan tersebut menganalisis data sosial ekonomi 109.341 rumah tangga perdesaan, serta data curah hujan dan suhu harian di 24 negara berpengasilan rendah dan menengah. Jumlah rumah tangga itu mewakili sekitar 950 juta penduduk perdesaan dunia.
Dalam setahun, pendapatan rumah tangga miskin rerata tergerus 5 persen akibat suhu ekstrem dan 4,4 persen akibat banjir.
Hasil riset FAO itu menelurkan sejumlah hasil. Pertama, banjir dan gelombang panas menggerus pendapatan rumah tangga miskin, serta memperlebar kesenjangan antara rumah tangga miskin dan nonmiskin di dunia. Dalam setahun, pendapatan rumah tangga miskin rerata tergerus 5 persen akibat suhu ekstrem dan 4,4 persen akibat banjir.
Banjir memperlebar kesenjangan pendapatan antara rumah tangga miskin dan nonmiskin sebesar 21 miliar dollar AS per tahun. Adapun tekanan suhu tinggi memperlebar kesenjangan pendapat kedua kelompok masyarakat tersebut sebesar 20 miliar dollar AS per tahun.
Kedua, produksi pertanian sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Jika suhu bumi meningkat, rumah tangga miskin di perdesaan cenderung lebih banyak bergantung pada pertanian untuk pendapatan mereka dan relatif kurang mampu mengakses pendapatan di luar sektor itu.
Setiap kenaikan suhu rata-rata sebesar 1 derajat Celcius, ketergantungan mereka terhadap pendapatan di sektor pertanian meningkat 53 persen. Adapun terhadap pendapatan di sektor nonpertanian, ketergantungan mereka berkurang 33 persen.
Ketiga, tekanan suhu yang tinggi dan banjir menyebabkan rumah tangga yang dikepalai perempuan mengalami kerugian pendapatan masing-masing 8 persen dan 3 persen setiap tahun dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai laki-laki. Suhu yang tinggi dan banjir juga memperlebar pendapatan antara kedua kategori rumah tangga tersebut masing-masing sebesar 37 miliar dollar AS dan 16 miliar dollar AS per tahun.
Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu mengemukakan, cuaca ekstrem memaksa rumah tangga miskin di perdesaan untuk melakukan strategi penanggulangan dampak yang maladaptif. Hal itu, antara lain, mencakup mengurangi aliran pendapatan, menjual ternak, dan mengalihkan pengeluaran untuk ternak ke pengeluaran rumah tangga.
”Namun, tindakan-tindakan tersebut justru memperburuk kerentanan mereka terhadap perubahan iklim jangka panjang,” ujarnya melalui siaran pers.
Melalui hasil riset itu, FAO menegaskan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk mendedikasikan lebih banyak sumber daya keuangan dan perhatian kebijakan terhadap isu-isu inklusivitas dan ketahanan dalam aksi iklim global dan nasional. Sejumlah langkah adaptif yang menyasar masyarakat perdesaan sangat diperlukan, seperti pengembangan pertanian adaptif terhadap perubahan iklim, perlindungan sosial, dan pemberdayaan perempuan desa.