UMKM Difabel Masih Terkendala Akses Keuangan Digital
Perkembangan teknologi digital di bidang layanan keuangan belum banyak yang ramah kepada para difabel.
JAKARTA, KOMPAS — Akses layanan keuangan berbasis teknologi digital masih menjadi kendala bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM difabel. Padahal, kelompok difabel termasuk prioritas dalam program nasional keuangan inklusif.
Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Revita Alfi mengatakan, sebagian pelaku UMKM difabel mengalami kesulitan untuk mengembangkan usahanya berbasis teknologi digital. Selain itu, masih ditemui sejumlah layanan teknologi yang kurang mengakomodasi kebutuhan ragam difabel.
”Bagi teman-teman netra yang hendak mendaftarkan diri di bank, misalnya, verifikasi wajah cukup menyulitkan mereka. Lalu, beberapa aplikasi juga tidak memiliki fitur layar kontras. Selain itu, ada beberapa kata yang juga sulit dipahami oleh teman-teman disabilitas sehingga akhirnya mereka jarang menggunakan aplikasi-aplikasi keuangan, apalagi untuk transaksi keuangan. Mereka merasa tidak aman karena tidak tahu,” katanya dalam sesi diskusi Program Sosialisasi DisBerdaya bertajuk ”Merangkul UMKM Disabilitas untuk Siap Berdaya” yang diadakan oleh Dana Indonesia, di Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Baca juga: Presiden Ingatkan Pentingnya Peran UMKM bagi Perekonomian Nasional
Laporan Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2022 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, mayoritas pekerja difabel menjalankan wirausaha. Dibandingkan dengan total penduduk yang bekerja secara nasional, porsi pekerja difabel yang berstatus wirausaha mencapai 0,81 persen. Total pekerja penyandang difabel pada 2022 tercatat mencapai 720.748 orang atau meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan periode 2021 yang sebanyak 277.018 orang.
Menurut dia, salah satu tantangan terbesar pengembangan UMKM yang dikelola oleh penyandang disabilitas adalah bagaimana memberikan pemahaman cara mengelola keuangan menggunakan platform teknologi digital. Sebab, sebagian dari mereka belum paham betul cara menghitung harga pokok produksi melalui platform digital untuk menghitung besaran untung-rugi.
Di sisi lain, pemenuhan layanan keuangan dinilai belum sepenuhnya ramah bagi difabel kendati pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan petunjuk teknis operasional layanan keuangan bagi difabel. Pada praktiknya, kata Revita, masih ditemukan sejumlah bank yang belum tersosialisasikan akan hal itu.
Berdasarkan hasil kajian HWDI, sebagian perempuan difabel memang telah memiliki akses terhadap layanan keuangan digital. Namun, ketersediaan akses tersebut masih belum dilengkapi dengan pemahaman yang cukup sehingga dibutuhkan upaya sosialisasi dan sesi pelatihan tersendiri.
Memang sudah banyak layanan dan fasilitas yang bisa diakses oleh teman-teman disabilitas. Hanya saja, tingkat pemahaman mengenai disabilitas dan cara sosialisasi layanan tersebut masih perlu ditingkatkan lagi.
Oleh sebab itu, sosialisasi mengenai layanan keuangan yang ramah difabel sebaiknya turut melibatkan seluruh ragam difabel. Dengan demikian, penyedia layanan keuangan dan para pemangku kepentingan, seperti perbankan, dapat mengetahui secara langsung testimoni dan solusi yang diharapkan oleh ragam difabel, seperti difabel netra, tuli, fisik, serta intelektual.
”Memang sudah banyak layanan dan fasilitas yang bisa diakses oleh teman-teman disabilitas. Hanya saja, tingkat pemahaman mengenai disabilitas dan cara sosialisasi layanan tersebut masih perlu ditingkatkan lagi,” imbuh Revita.
Ia menekankan, para pemangku kepentingan industri jasa keuangan bersama pemerintah perlu berkolaborasi dengan seluruh ragam difabel agar dapat menghasilkan desain layanan yang lebih inklusif. Para penyandang disabilitas pun berharap layanan perbankan dan berbagai platform digital dapat menciptakan desain yang ramah difabel.
Difabel dan perempuan merupakan dua kelompok prioritas dalam program nasional mengenai keuangan inklusif. Hal ini telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif.
Asisten Deputi Keuangan Inklusif Keuangan Syariah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Erdiriyo menjelaskan, Presiden telah mengamanatkan inklusi keuangan sebagai strategi nasional. Perpres No 114/2020 tersebut turut melibatkan 26 kementerian/lembaga dalam rangka meningkatkan inklusi keuangan nasional.
”Dari hasil survei yang pernah dilakukan oleh OJK, dengan tingkat inklusi keuangan yang tinggi, maka tingkat kemiskinan relatif di wilayah tersebut relatif akan lebih rendah. Jadi, ada hubungan positif antara tingkat inklusi dan tingkat kemiskinan,” ujar Erdiriyo.
Terobosan pembayaran
Menurut dia, para pemangku kepentingan yang tergabung dalam Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) merasa kesulitan dalam mencari teknologi yang tepat terkait layanan keuangan bagi para penyandang difabel. Oleh sebab itu, inovasi yang telah diinisasi oleh Dana dengan meluncurkan QRIS yang dilengkapi dengan suara (soundbox) diharapkan dapat memotivasi pemerintah untuk terus mengembangkan terobosan yang ramah bagi penyandang difabel.
Hal ini mengingat pemerintah telah menetapkan target keuangan inklusif nasional pada 2023 dan 2024, masing-masing sebesar 88 persen dan 90 persen. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan oleh OJK pada 2022, indeks literasi keuangan tercatat 49,68 persen dan indeks inklusi keuangan mencapai 85,10 persen.
Erdiriyo menambahkan, target keuangan inklusif tersebut akan tercapai apabila setiap temuan baru dapat diteruskan sebagai pilot project di sejumlah wilayah. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang diketuai oleh kepala dari daerah, mulai dari wali kota, bupati, hingga gubernur.
Chief People and Corporate Strategi Dana Indonesia Debora Bangun menyebut, pihaknya berkomitmen untuk merangkul difabel. Salah satu wujud dari komitmen tersebut ialah memberikan pelatihan terhadap para pelaku UMKM difabel.
Menurut Debora, penyandang disabilitas perlu mendapat kesempatan berwirausaha agar lebih mandiri dan lebih maju. Kesempatan itu perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan akses layanan keuangan. ”Potensi yang mereka miliki sangat besar dalam memajukan ekonomi nasional,” katanya.
Head of Government Relations and Public Policy Dana Indonesia Felix Sharief menambahkan, QRIS soundbox menjadi salah satu terobosan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh kelompok difabel, khususnya mereka yang tidak dapat melihat. Dengan tambahan suara yang menandai masuknya proses transaksi, pelaku UMKM difabel netra dapat mengetahui transaksi yang masuk.
Selain itu, Merchant Engangement Dana Indonesia Pandu Azhari menyebut, penggunaan QRIS soundbox diharapkan dapat berdampak bagi masyarakat luas. Selain ternyata memberikan manfaat bagi difabel, terobosan tersebut ditujukan untuk meminimalkan scam pembayaran berbasis QRIS.
”Tantangan utama pasti keterbatasn teknologi yang kita punya. Saat mau improve, tetapi teknologi kita belum siap, itu jadi salah satu tantangan utama. Tantangan kedua kalau di Indonesia itu lebih ke distribusi ke wilayah-wilayah lain,” ujarnya.
Baca juga: OJK, Penyandang Disabilitas, dan Rekor Teka Teki Silang Terpanjang