Tuntaskan 5G atau Langsung Loncat ke Teknologi Selanjutnya?
Dunia belum rampung menghadirkan jaringan 5G. Kini wacana teknologi lanjutannya, 5.5G dan 6G, sudah muncul.
Operator telekomunikasi di seluruh dunia sampai sekarang belum tuntas membangun dan menghadirkan jaringan seluler nirkabel 5G. Namun, perbincangan tentang pengembangan 5.5G atau 5G Advanced dan 6G sudah mengemuka di kalangan para pemimpin perusahaan besar telekomunikasi global.
5G, yang merupakan generasi internet seluler setelah 4G, menjanjikan kecepatan internet sampai 10 gigabit per detik (Gbps) dengan jeda waktu pengiriman data sekitar 4–5 milidetik. Sementara kecepatan internet 4G maksimal hanya bisa mencapai sekitar 100 megabit per detik (Mbps).
Latensi di jaringan 5G pun sangat rendah sehingga berguna untuk aplikasi yang memerlukan umpan balik secara langsung. Kualitas koneksinya tidak akan menurun meski banyak perangkat terhubung, berbeda dengan 4G.
Baca juga: Biaya Spektrum Frekuensi Meningkat Lima Kali Lipat sejak 2010
Dengan karakteristik teknis seperti itu, 5G telah diposisikan tidak hanya untuk kecepatan pengunduhan yang lebih cepat bagi konsumen retail, tetapi juga sebagai jaringan yang dapat mendukung teknologi canggih, seperti mobil tanpa pengemudi dan taksi udara tanpa pilot.
Operator telekomunikasi seluler di China, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Eropa memelopori peluncuran layanan 5G secara komersial pada 2019. Saat ini, hampir lima tahun berlalu, penetrasi 5G di kalangan konsumen masih dianggap rendah.
Variasi kawasan
Dalam laporan ”The Mobile Economy 2024”, GSMA (asosiasi yang mewadahi kepentingan para operator telekomunikasi secara global), persentase koneksi 5G di luar perangkat benda terhubung internet (IoT) pada 2023 baru mencapai 18 persen. Persentase koneksi diprediksi naik menjadi 56 persen pada 2030.
Dalam laporan yang sama disebutkan, di Asia Pasifik (di luar greater China) khususnya, pada 2023 persentase penetrasi koneksi 5G sekitar 10 persen. Berturut-turut berikutnya di kawasan yang sama adalah 4G sebanyak 70 persen, 2G baru 12 persen, dan 3G masih 8 persen.
Pada 2030, persentase penetrasi koneksi 5G di Asia Pasifik diprediksi naik menjadi 45 persen, sedangkan 4G sebesar 50 persen. Sisanya untuk 2G dan 3G.
Baca juga: Lelang Frekuensi 700 MHz Sebelum Pergantian Pemerintahan
Kondisi di sejumlah kawasan, di luar greater China yang pada 2023 hanya ada 4G dan 5G, kurang lebih mirip dengan yang dialami di kawasan Asia Pasifik. Sebagai contoh, di kawasan Eropa, pada 2023 penetrasi koneksi 5G baru sekitar 20 persen dan 4G sebesar 67 persen. Adapun penetrasi 3G dan 2G masing-masing sebesar 9 persen dan 3 persen.
Pada 2030 diprediksi persentase koneksi 5G di Eropa naik menjadi 81 persen. Adapun untuk 4G menjadi 16 persen dan 3G menjadi 2 persen.
Banyak pembicaraan
Mengutip CNBC, dalam ajang pameran dagang Mobile World Congress (MWC) di Barcelona (Spanyol), Februari 2024, sudah banyak perbincangan tentang 5.5G. Beberapa pemimpin perusahaan telekomunikasi bahkan berniat segera meluncurkan 5.5G.
MWC adalah forum yang mempertemukan ribuan pelaku industri telekomunikasi seluler, termasuk operator terkemuka, seperti Deutsche Telekom dan Vodafone. Teknologi 5.5G, evolusi teknologi akses seluler selanjutnya dari 5G, diyakini dapat mendukung aplikasi-aplikasi yang lebih canggih, seperti Apple Vision Pro dan Meta Quest Pro.
Sudah banyak perbincangan tentang 5.5G. Beberapa pemimpin perusahaan telekomunikasi bahkan berniat segera meluncurkan 5.5G.
Vice President dan Head of Wireless Lab di InterDigital Inc Milind Kulkarni kepada CNBC, Minggu (3/3/2024), mengatakan, prioritas utama mengembangkan standar 5.5G adalah untuk meningkatkan relevansi komersial 5G dengan memperluas pasar vertikal, menyelesaikan masalah selama penerapan 5G, dan melanjutkan evolusi teknologi untuk membangun jembatan menuju 6G.
Di Indonesia, realisasi layanan 5G secara komersial dimulai pada Mei 2021. Sejauh ini baru pengguna layanan telekomunikasi seluler di kota-kota besar yang bisa menikmati layanan 5G.
Bisnis ke bisnis
Direktur Jenderal GSMA Mats Granryd menekankan, 5G merupakan standar teknologi akses seluler yang dominan ditujukan untuk bisnis ke bisnis. Dengan demikian, butuh waktu lama bagi dunia usaha untuk mengonversi dan mengadopsi.
Industri telekomunikasi juga sebenarnya dibanjiri pembicaraan tentang apa yang disebut jaringan 5G privat, yaitu jaringan seluler non-publik 5G yang dipasang di lokasi kerja perusahaan, seperti pabrik pintar, atau operasi bedah jarak jauh. Operator telekomunikasi seluler di Indonesia pun sudah menawarkan jaringan 5G privat ke korporat, seperti korporat pertambangan.
Mats berharap, para pelaku industri telekomunikasi seluler dapat fokus dulu mematangkan ekosistem 5G. Dia melihat masih banyak pekerjaan monetisasi 5G yang sebenarnya bisa dilakukan operator.
Spektrum frekuensi
Presiden Direktur XL Axiata Dian Siswarini, saat menghadiri acara Tech and Telco Summit 2024 di Jakarta, Selasa (5/3/2024), berpendapat, tantangan di Indonesia adalah ketersediaan spektrum frekuensi yang banyak. Spektrum frekuensi yang tersedia saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan layanan 4G.
”Kalau misalnya spektrum frekuensi baru belum juga dilelang, operator telekomunikasi seluler belum bisa mengimplementasikan teknologi akses seluler baru (5G) secara optimal. Lebar pita frekuensi untuk 5G minimal 50 megahertz (MHz). Kalau seperti sekarang kondisi spektrum frekuensi, business case 5G menjadi kurang menarik,” ujarnya.
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, Selasa (12/3/2024), berpendapat, perlu tidaknya Indonesia melanjutkan realisasi 5G atau langsung fokus ke 5.5G dan 6G harus melihat kebutuhan pelanggan. Dengan demikian, operator dapat mengembalikan investasinya. Berdasarkan pengamatannya, mayoritas pengguna layanan telekomunikasi adalah manusia, belum berupa mesin/IoT.
Volume data internet seluler yang dikonsumsi oleh pelanggan masih di kisaran 10 gigabit per bulan.
Dia juga menduga, volume data internet seluler yang dikonsumsi pelanggan masih di kisaran 10 gigabit per bulan. Kemudian, para operator telekomunikasi seluler telah menerapkan strategi konvergensi layanan jaringan tetap-bergerak telekomunikasi atau fixed-mobile convergence sehingga bisa memenuhi kebutuhan volume data internet sebagian pelanggan.
”Apakah mau langsung loncat ke teknologi akses seluler 6G, para operator telekomunikasi seluler di Indonesia bisa menghitung secara cermat bagaimana ekosistem perangkat dan dampak ekonomi yang dihasilkan,” ujar Agung.
Adopsi teknologi
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat, mengadopsi 5G atau tidak, itu sepenuhnya menjadi kebijakan masing-masing operator telekomunikasi seluler. Namun, adopsi teknologi akses seluler baru biasanya menjadi alat kompetisi. Jika satu operator mengadopsi, lainnya akan mengikuti.
Menurut dia, adopsi suatu teknologi akses seluler baru biasanya terjadi dalam siklus 10 tahunan. Dari 3G ke 4G dan sekarang 5G, rata-rata masa adopsinya 10 tahun. ”Memang penelitian 6G sudah dilakukan, tetapi untuk adopsi masih 10 tahun mendatang. Apalagi, akan ada versi awal dan lanjutan dari 6G,” kata Heru.
Lebih jauh, dia memandang, belum optimalnya adopsi 5G di Indonesia disebabkan pengaruh industri masih berkutat pada isu kecukupan spektrum frekuensi. Spektrum frekuensi yang dipakai menggelar 5G masih memakai spektrum yang sudah ada atau refarming (penataan ulang) spektrum frekuensi yang dipakai untuk teknologi 3G dan 2G.
Baca juga: Operator Telekomunikasi Seluler Vs Raksasa Bisnis Digital
Ditambah lagi, sejak beberapa bulan terakhir, kata Heru, beberapa operator telekomunikasi seluler sedang mencoba menawar ke pemerintah supaya mendapatkan insentif. Mereka juga menyuarakan tantangan besar, yakni harus berhadapan ketat dengan para perusahaan aplikasi internet atau over-the-top (OTT) global.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ismail menyampaikan, Kemenkominfo telah menyiapkan rencana untuk melelang spektrum frekuensi 700 MHz dan 26 Gigahertz (GHz). Bersamaan dengan pelaksanaan lelang akan diumumkan pemberian insentif bagi operator telekomunikasi seluler.
Rencana lelang kedua spektrum frekuensi itu sudah diembuskan kementerian sejak tahun lalu. Begitu pula pemberian insentif. Namun, eksekusi rencana tersebut belum kunjung terjadi. ”Insentif, kan, harus dibahas bersama Kementerian Keuangan. Teknis lelang dari kami sudah siap,” kata Ismail.