Jaga Pasokan Beras Tetap Aman, Relaksasi HET Dipastikan Berlaku hingga 23 Maret
Relaksasi HET beras premium dijalankan untuk memastikan ketersediaan beras tetap aman.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan kenaikan harga eceran tertinggi atau HET beras premium akan diberlakukan hingga 23 Maret 2024. Kebijakan relaksasi HET salah satunya dijalankan untuk memastikan ketersediaan beras tetap aman menjelang hari raya Idul Fitri.
Untuk memastikan ketersediaan beras aman, pada Senin (18/3/2024), Presiden Joko Widodo memanggil Kepala Bulog Bayu Krisnamurthi dan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi ke Istana Merdeka, Jakarta. Keduanya datang untuk menyampaikan laporan rutin mingguan mengenai perkembangan pasokan serta harga bahan pangan kepada Presiden.
Pada 15 Maret lalu, pemerintah memutuskan untuk menaikkan HET beras premium dari Rp 13.900 menjadi Rp 14.900 untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi. Sementara HET beras medium di wilayah yang sama tetap Rp 10.900 per kilogram.
Arief memastikan, relaksasi HET beras premium merupakan kebijakan sementara yang diberlakukan hingga 23 Maret. Salah satu tujuan kebijakan itu adalah membuka ruang bagi ketersediaan beras lebih baik.
Sebelumnya, pada pertengahan Februari saat beras langka di pasar ritel, para pengusaha meminta supaya HET disesuaikan.
Selain menyesuaikan HET, untuk menjaga stok tetap aman, pemerintah juga menambah kuota impor beras. Pada tahun 2024 ini, pemerintah menetapkan kuota impor beras seberat 3,6 juta ton. Impor beras salah satunya berasal dari Kamboja, seperti dibahas dalam pertemuan bilateral Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet di Melbourne, Australia, 5 Maret lalu.
”Dari Kamboja hanya 22.500 ton,” ujar Arief.
Perihal impor beras itu juga dibenarkan oleh Bayu. ”Ya, kami laporkan perkembangannya (impor beras),” kata Bayu seusai bertemu Presiden Jokowi.
Sebenarnya, menurut Arief, pemerintah tetap mengutamakan produksi dalam negeri untuk mengamankan pasokan beras. Namun, diakui, saat ini stok beras yang disimpan oleh Bulog berasal dari impor.
Karena itu diharapkan, stok beras akan semakin aman saat panen raya pada Maret-April ini. Panen raya itu juga diyakini akan berpengaruh pada harga beras. Sebab, menurut Arief, saat ini harga gabah kering giling sudah terkoreksi dan angka rata-rata nasional sudah sekitar Rp 6.700.
”Kalau angka harga gabah itu terkoreksi, artinya otomatis harga beras terkoreksi, dengan catatan produksi itu harus seperti perencanaan,” ujarnya.
Bantuan pangan
Sementara itu, di tengah lonjakan harga beras, pemerintah telah memberikan bantuan pangan kepada 22 juta keluarga penerima manfaat. Jumlah ini, kata Arief, setara dengan 8 persen dari total penduduk Indonesia.
Tiap-tiap keluarga penerima manfaat mendapatkan bantuan beras seberat 10 kilogram per bulan. Pada tahun 2023, bantuan pangan tersebut diberikan selama tujuh bulan, sementara tahun 2024 ini diberikan selama enam bulan.
Upaya lain untuk mengatasi lonjakan harga pangan adalah dengan menggalakkan Gerakan Pangan Murah (GPM). Menurut Arief, gerakan itu dijalankan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian serta seluruh pemerintah daerah di Indonesia.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar menilai, kenaikan harga pangan ini dilihat dan ditangani secara komprehensif dari hulu ke hilir. Sebab, kendati tahun ini bertambah faktor iklim, hal ini selalu berulang setiap masa Ramadhan, Idul Fitri, dan akhir tahun.
”Beberapa kebijakan pemerintah untuk meng-cover beras bagi masyarakat termiskin perlu diapresiasi. Namun, intervensi pemerintah tentu ada batasnya, sementara ketersediaan bahan pangan tetap harus dicukupi, baik beras, minyak, gula, cabai, telur, maupun lainnya,” kata Adinda.
Karena itu, tata kelola pertanian dan produk pertanian dari hulu ke hilir perlu diperbaiki. Model pertanian Indonesia perlu dipermodern, data sektor pertanian, baik lahan, produktivitas, maupun buruh tani perlu lebih akurat, dukungan untuk sektor pertanian, baik pupuk, irigasi, maupun hasil riset para akademisi, perlu dimanfaatkan untuk memperkuat produktivitas pangan Indonesia.
Kebijakan impor, menurut Adinda, bisa diambil ketika dirasa perlu untuk mengantisipasi kondisi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, swasembada pangan semestinya tetap menjadi tujuan dengan dukungan memadai. ”Pemerintah juga perlu berbicara dengan pemangku kepentingan lain, seperti pemerintah daerah, petani, koperasi, DPR, selain menyerap informasi dari para pakar, lembaga penelitian, akademisi, serta media yang concern pada isu ini. ”Jadi, pendekatannya harus komprehensif dan holistik,” kata Adinda.