Kemenaker Imbau Kepala Daerah Tegakkan Pembayaran THR
Masalah THR keagamaan setiap tahun hampir sama, seperti THR dibayar dicicil, ditunggak, atau tidak dibayar sama sekali.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Ketenagakerjaan mengimbau agar gubernur mengupayakan semua perusahaan di wilayahnya membayar tunjangan hari raya atau THR keagamaan sesuai Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024. Untuk mengantisipasi keluhan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota didorong membentuk pos komando satuan tugas ketenagakerjaan pelayanan konsultasi dan penegakan hukum THR keagamaan.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers, Senin (18/3/2024), di Jakarta. Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 telah ditetapkan pada Jumat (15/4/2024).
”Pada umumnya, kebutuhan pekerja dan keluarganya akan naik menjelang hari raya keagamaan (Idul Fitri) sehingga pemerintah mengatur supaya ada THR bagi pekerja/buruh di perusahaan. Tujuannya agar membantu meringankan beban biaya mereka,” tutur Ida.
SE Nomor M/2/HK.04/III/2024 memuat beberapa poin penting. Pertama, THR keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang memiliki masa kerja satu bulan secara terus -menerus atau lebih. THR keagamaan juga diberikan kepada pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Kedua, terkait besaran THR keagamaan, bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus - menerus atau lebih diberikan 1 bulan upah. Lalu, bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 bulan secara terus-menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, akan diberikan THR secara proporsional.
Ribuan pengaduan
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan, pihaknya akan aktif menyosialisasikan SE Nomor M/2/HK.04/III/2024 kepada dinas-dinas tenaga kerja, selain kepada gubernur dan bupati/wali kota. Mereka diharapkan mendorong pengusaha di wilayahnya membayar THR tepat waktu, yakni tujuh hari sebelum perayaan Lebaran.
”Sejauh ini, kami sudah terima ada pengusaha yang mau membayarkan THR setelah Lebaran. Kami mengupayakan agar hal itu tidak terjadi,” ucap Indah.
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemenaker Haiyani Rumondang mengatakan, pada 2023 pihaknya menerima sekitar 1.558 pengaduan pembayaran THR.
Dari jumlah ini, 1.434 pengaduan sudah ditindaklanjuti dan 124 tidak bisa ditindaklanjuti. Alasan tidak bisa ditindaklanjuti ialah pengaduan THR menyangkut instansi penyelenggara negara, kantor kedutaan, dan perusahaan yang alamatnya tidak jelas.
”Berdasarkan pengalaman kami, banyak data pengaduan pembayaran THR tidak disertai informasi instansi perusahaan yang lengkap. Kami mohon, tahun ini, pekerja/buruh yang mengadu menyertakan alamat kantor mereka, baik di cabang maupun pusat, secara lengkap,” ujarnya.
Kami sudah terima ada pengusaha yang mau membayarkan THR setelah Lebaran.
Dalam kesempatan itu, Haiyani tidak menyampaikan perbandingan pengaduan pembayaran THR dari tahun ke tahun. Sebaliknya, dia menyebutkan sudah ada sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang lalai membayar THR keagamaan.
”Dari 1.434 pengaduan yang sudah ditindaklanjuti pada 2023, 13 pengaduan di antaranya sudah dikenai sanksi. Yang menjatuhkan sanksi itu gubernur. Akan tetapi, ada juga gubernur yang menetapkan sanksi, tetapi tidak melapor kepada kami,” katanya.
Berdasarkan Pasal 10 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, pengusaha yang telat membayar THR dikenai denda 5 persen dari total THR keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban bagi pengusaha untuk membayar. Pembayaran denda ini tidak menghapus kewajiban pembayaran THR.
Kemudian, sesuai Pasal 11 Permenaker No 6/2016, pengusaha yang tidak membayar THR akan dikenai sanksi administratif. Bentuknya meliputi teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sebagian atau seluruh kegiatan produksi, serta pembekuan kegiatan usaha.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, Permenaker No 6/2016 sudah selayaknya direvisi dengan menetapkan pembayaran THR keagamaan 14 hari sebelum Lebaran. Revisi seperti ini bertujuan supaya ada waktu bagi pengawas ketenagakerjaan melakukan penegakan hukum. Jika tenggat pembayaran THR keagamaan adalah tujuh hari sebelum Lebaran, itu akan mepet dengan libur bersama dan perusahaan biasanya sudah tutup.
”Masalah-masalah THR keagamaan setiap tahun hampir sama, seperti THR dibayar dicicil dan THR ditunggak. Pemerintah semestinya proaktif dengan mendata mana perusahaan yang nakal dari tahun sebelumnya supaya bisa diantisipasi agar mereka tidak mengulangi perbuatannya,” ucapnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat memiliki pandangan senada. Berdasarkan pengalaman di internal Aspek, ada anggota yang mengalami penunggakan pembayaran THR dari tahun 2020 dan baru terealisasi pada 2022 setelah melalui proses persidangan yang lama.
”Pemerintah semestinya mengevaluasi supaya tidak ada pengaduan yang bertumpuk dari tahun ke tahun (pengaduan yang tidak tuntas ditindaklanjuti). Pemerintah bisa ambil langkah-langkah persuasif supaya hak-hak pekerja terpenuhi,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sarman Simanjorang mengatakan, secara umum, pelaku usaha siap membayarkan THR keagamaan kepada pekerja/buruh. Akan tetapi, ada sejumlah sektor industri yang mengalami penurunan permintaan dari luar negeri akibat pelambatan ekonomi dunia dan geopolitik sehingga arus kas perusahaan belum normal. Hal ini berpotensi membuat pembayaran THR keagamaan bagi pekerja/buruh di sektor-sektor seperti itu menjadi tidak penuh.
”Kemenaker perlu mewaspadai dan mau mengomunikasikan supaya ada solusi tanpa menghilangkan kewajiban pengusaha dan hak pekerja/buruh,” ucap Sarman.