Dugaan Korupsi Pembiayaan Ekspor, Momentum LPEI Dievaluasi
Temuan kasus kredit bermasalah di tubuh LPEI yang belakangan terungkap ke publik hanya ”puncak gunung es”.
JAKARTA, KOMPAS — Temuan kasus penyaluran kredit bermasalah ke sejumlah perusahaan eksportir sebanyak Rp 2,5 triliun ibarat puncak gunung es yang menyimpan potensi masalah lebih besar. Dugaan kasus korupsi itu dinilai menjadi momentum untuk mengevaluasi kinerja dan keberadaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau LPEI.
Kasus ini memang mulai mencuat ke publik saat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Senin (18/3/2024). Kedatangan Sri Mulyani itu untuk melaporkan indikasi kecurangan dan penipuan (fraud) yang mengarah pada tindak pidana dalam penyaluran dana LPEI kepada empat perusahaan ekspor.
Keempat perusahaan itu bergerak di bidang kelapa sawit, batubara, nikel, dan perkapalan. Jumlah keseluruhan kredit macet yang terdeteksi adalah Rp 2,5 triliun untuk tahap pertama. Masih ada enam perusahaan lain yang diduga bermasalah dan masih diperiksa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan total nilai kerugian akibat kredit macet sebesar Rp 3 triliun.
Baca juga: Dugaan Korupsi Penggunaan Dana LPEI, OJK Belum Buka Suara
Akan tetapi, temuan atas penyaluran kredit bermasalah dari LPEI ke sejumlah eksportir sebenarnya bukan barang baru. Perkara serupa sudah beberapa kali disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Kejagung.
Pada awal Februari 2024, misalnya, BPK sempat menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI dari tahun 2013-2019. Penyimpangan itu disebut menyebabkan total kerugian negara sebesar Rp 81,3 miliar.
Bahkan, pada 2022 Kejagung sempat menetapkan tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI selama periode 2013-2019. Perkiraan sementara kerugian keuangan negara dari dugaan korupsi itu Rp 2,6 triliun yang berasal dari kredit macet ke delapan grup usaha yang terdiri dari 27 perusahaan.
Kejagung mengungkap, kasus itu bisa terjadi karena LPEI dalam konteks pembiayaan ekspor nasional telah memberikan pembiayaan kepada para debitor tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Akibatnya, terjadi peningkatan kredit macet (non-performing loan/NPL) pada 2019 sebesar 23,39 persen yang menyebabkan LPEI dan negara merugi.
Kemungkinan fraud-nya banyak. Di sektor perdagangan dan ekspor impor memang potensi fraud-nya itu besar.
LPEI ”main gampang”
Peneliti dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal, Selasa (19/3/2024), mengatakan, mencuatnya kasus dugaan korupsi di tubuh LPEI menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi ulang kinerja dan keberadaan lembaga penyalur pembiayaan ekspor itu.
”Dari segi makroprudensial, memang perlu reformasi di tubuh LPEI. Sebab, selama ini, jika dilihat penyaluran kredit pembiayaan ekspor oleh LPEI, sebenarnya tidak dalam kondisi yang bagus, baik dari sisi penyalurannya maupun pengawasan sesudah jaminan kredit dikucurkan,” kata Fithra saat dihubungi.
Bukan hanya temuan kredit bermasalah yang akhirnya mencuat, dalam penyaluran pembiayaan, LPEI juga dinilai tidak berorientasi membangun usaha kecil menengah (UKM) atau eksportir kecil yang sedang merintis merambah ke pasar global. LPEI cenderung memberikan pembiayaan kepada ”klien-klien” besar di sektor ekstraktif.
Penelitian UI pada periode 2008-2014 pascakrisis keuangan global menunjukkan, LPEI cenderung ”cari aman” dan ”main gampang” untuk menyasar pemain eksportir besar di sektor ekstraktif di masa-masa ledakan harga komoditas (commodity boom) yang dinilai lebih sanggup membayar.
Baca juga: Temui Jaksa Agung, Sri Mulyani Laporkan Kredit Macet Terindikasi ”Fraud” Rp 2,5 Triliun
Oleh karena itu, ia menyimpulkan, dampak pembiayaan ekspor lewat LPEI sebenarnya tidak terlalu besar. Selain menyasar pemain-pemain besar dan jarang menyalurkan ke UKM, banyak ditemukan kasus kredit macet pula dalam penyaluran pembiayaan ke eksportir korporasi itu.
”Eksportir kecil justru sulit mendapat akses pembiayaan dari LPEI. Sementara, kalau bicara pemain besar, apalagi di sektor ekstraktif, sebenarnya potensi mengemplangnya lebih besar,” kata Fithra.
Puncak gunung es
Ia menduga temuan kasus kredit bermasalah yang beberapa tahun terakhir ini terungkap ke publik hanya ”puncak gunung es” atau top of the iceberg. Ada potensi modus perusahaan mencari pembiayaan ekspor dan mendapat penyaluran kredit, tetapi aktivitasnya tidak ada.
Ada pula potensi jenis modus lain ketika terjadi penutupan besaran aset yang sebenarnya demi mendapat pembiayaan, baik dalam bentukmark up (menaikkan harga) atau mark down (menurunkan harga) atas sejumlah aset, utang, dan piutang. ”Kemungkinan fraud-nya banyak. Di sektor perdagangan dan ekspor impor memang potensi fraud-nya itu besar,” ujarnya.
Karena tidak ada itikad baik dan tidak kooperatif (dari pihak debitor), kita limpahkan saja ke aparat penegak hukum.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, kasus kredit bermasalah yang dilaporkan ke Kejagung itu sebenarnya perkara lama yang sudah ditemukan sejak sebelum Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan. Sejumlah upaya formal sudah dilakukan untuk menyelesaikan kredit-kredit macet itu tanpa harus diseret ke ranah pidana.
”Ini, kan, ranah penjaminan. Berarti seharusnya ada yang bisa dijaminkan. Kalau seperti itu asetnya, kan, mestinya bisa dieksekusi. Namun, karena tidak ada itikad baik dan tidak kooperatif (dari pihak debitor), kita limpahkan saja ke aparat penegak hukum. Sejauh ini, indikasi fraud ada di pihak debitor, tetapi nanti Kejagung yang akan masuk (memeriksa LPEI),” tutur Yustinus.
Kinerja bermasalah
Seperti diketahui, LPEI adalah salah satu special mission vehicle atau lembaga yang dibentuk khusus untuk memberikan dukungan fasilitas pembiayaan dan penjaminan ekspor. Kegiatan utamanya berupa pembiayaan, asuransi, dan penjaminan yang diberikan kepada debitor ekspor, baik di level korporasi maupun UKM.
Lembaga ini berdiri pada 2008 dan mendapat modal awal sebesar Rp 4 triliun yang saat itu berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang berasal dari PT Bank Ekspor Indonesia (BEI). BEI adalah institusi awal sebelum akhirnya bertransformasi menjadi LPEI.
Baca juga: Rugikan Negara Rp 2,6 Triliun, Sejumlah Mantan Pimpinan LPEI Jadi Tersangka
Sejak didirikan, LPEI juga beberapa kali menerima suntikan dana lewat penyertaan modal negara (PMN) selama periode 2010-2020 dengan nilai total Rp 18,7 triliun. Pada 2021, pemerintah kembali memberikan PMN kepada LPEI sebesar Rp 5 triliun, yang separuhnya (Rp 2,5 triliun) dialokasikan untuk membiayai sektor UKM yang memiliki potensi ekspor.
Dilihat dari sisi kinerja penyaluran pembiayaan yang merupakan tugas utamanya, kinerja keuangan LPEI tercatat kurang baik. Dari tahun ke tahun, tingkat NPL bruto atau perbandingan antara total kredit bermasalah dan total kredit yang diberikan LPEI terus meningkat.
Laporan Keuangan LPEI menunjukkan tingginya tingkat kredit bermasalah sejak tahun 2018. Pada 2018, NPL Bruto LPEI adalah 13,73 persen. Artinya, dari total pembiayaan LPEI, 13,73 persen berstatus kredit macet atau tidak dapat ditagih sama sekali.
Angka kredit bermasalah itu melonjak menjadi 23,39 persen pada 2019, naik lagi menjadi 26,08 persen pada 2020, turun menjadi 21,03 pada 2021, melonjak lagi menjadi 26,61 persen pada 2022, dan naik ke 28,37 persen pada 2023.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Eddy Susetyo, menilai, dengan kondisi seperti itu, kerugian yang dicatat oleh kinerja buruk LPEI bisa mengejutkan. Menurut dia, ada ”tabir terselubung” yang mesti diungkap. ”Saya punya hitungan, (kerugian) bakal di atas Rp 10 triliun per Oktober 2023,” katanya.