THR, Kesejahteraan Ojek Daring, dan Kurir Logistik
Secara yuridis, THR merupakan pendapatan non-upah.
Dalam tiga hari terakhir, pemberian tunjangan hari raya atau THR bagi mitra pengemudi layanan transportasi berbasis aplikasi atau ride hailing dan kurir logistik menjadi topik perbincangan yang panas. Perdebatan berkutat pada aturan hukum yang memayunginya. Namun, semangat yang muncul adalah sama, agar pengemudi ojek daring dan kurir logistik lebih sejahtera.
Polemik bermula saat konferensi pers terkait Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, Senin (18/3/2024) petang, di Jakarta. Pada saat itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan, walaupun hubungan kerja ojek daring dan kurir logistik sekarang adalah kemitraan, mereka tetap masuk dalam kategori pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
”Kami sudah jalin komunikasi dengan para direksi, manajemen, ojol, atau pekerja yang kerja dengan platform digital, termasuk kurir logistik, untuk dibayarkan THR-nya sebagaimana tercakup dalam SE THR Keagamaan ini,” ujar Indah saat itu.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin Indonesia Hanif Dhakiri menyatakan, pernyataan bahwa mitra pengemudi ojek daring dan kurir logistik termasuk cakupan SE Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 adalah pernyataan kurang tepat sebab status pengemudi merupakan mitra. Gojek memiliki sikap sama dengan Hanif Dhakiri sehingga Gojek melanjutkan program Swadaya yang sudah berjalan sejak 2016, sedangkan Grab akan memberikan insentif khusus pada hari pertama dan kedua Lebaran.
Ketika dikonfirmasi ulang keesokan harinya oleh Kompas, Indah mengatakan bahwa pernyataannya tersebut merupakan imbauan. Sebab, orang yang bekerja sebagai mitra, seperti mitra pengemudi dan kurir logistik, setiap hari berkontribusi dalam perekonomian. Mekanisme dan bentuk THR yang diberikan harus berdasarkan kesepakatan mitra pengemudi dan perusahaan.
”Pernyataan saya merupakan imbauan supaya aplikator atau perusahaan ride hailing dan logistik memberikan THR bagi pekerja dan mitra-mitranya karena bagaimanapun mereka sudah ikut membesarkan bisnis. Mereka (para pengemudi) mau dianggap pekerja dengan PKWT monggo, dianggap harian lepas monggo,” ujarnya.
Baca juga: Grab Berikan Insentif Khusus sebagai THR ke Mitra Pengemudi
Adapun dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, saat dihubungi terpisah, mengatakan, tidak ada perbedaan signifikan antara SE THR yang Kemenaker keluarkan tahun 2023 dan 2024. Kedua SE tersebut sama-sama mengatur sasaran THR yang adalah pekerja yang telah mempunyai masa kerja satu bulan terus-menerus dan pekerja yang memiliki hubungan kerja PKWT atau PKWTT.
”Setelah membicarakan siapa sasaran, kedua SE itu sama-sama mengatur bagaimana menghitung besaran THR untuk pekerja yang bekerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih, dan pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan,” katanya.
Para pengemudi dan kurir pun memberi tanggapan. Asosiasi Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia menyatakan bakal mengapresiasi pemerintah apabila mampu mendiskusikan pembayaran THR keagamaan dengan perusahaan aplikasi ride hailing meskipun hingga kini, masih ada kebingungan cara menghitung besaran THR bagi mitra pengemudi dan kurir logistik.
Adapun Serikat Pekerja Platform Digital dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia menyayangkan jika pemerintah sebatas mengimbau perusahaan aplikasi ride hailing agar membayarkan THR. Adapun Serikat Pekerja Angkutan Indonesia menolak keputusan perusahaan aplikasi untuk memberikan insentif Lebaran karena itu berarti mereka wajib bekerja dulu baru memperoleh insentif. Insentif jelas bukanlah THR.
Baca juga: Program Swadaya Gojek sebagai Pengganti THR
Sejumlah pemberitaan menyebutkan tidak semua orang yang bekerja sebagai mitra pengemudi, kurir logistik, dan status mitra lainnya hidup sejahtera. Hal itu ditanggapi pihak perusahaan yang menyediakan hubungan kemitraan, seperti perusahaan ride hailing Gojek, misalnya, beberapa kali mengeluarkan laporan riset terkait dampak keberadaannya.
Sebagai contoh, dalam riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bertajuk ”Dampak Ekosistem Gojek terhadap Perekonomian Indonesia 2021: Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional”, mitra pengemudi GoCar dan GoRide mengalami peningkatan pendapatan di tahun 2021 sebesar 24 persen dan 18 persen dibandingkan pada 2020.
Baca juga: Mimpi THR Ojek Daring
Adapun pada tahun 2017, The Prakarsa menyurvei 213 pengemudi ojek yang 176 orang di antaranya pengemudi ojek daring di Jakarta dan Surabaya. Sebagian responden menyebut meraup pendapatan bersih per bulan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
Salah satu temuan menariknya, rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan dalam sebulan sebesar Rp 856.000, yang terdiri dari Rp 426.000 biaya pemeliharaan kendaraan, Rp 160.000 biaya pulsa, Rp 130.000 biaya minum, serta biaya lain-lain sebesar Rp 140.000 seperti parkir.
Bukan hanya itu saja, pengemudi ojek daring juga harus memiliki sepeda motor sendiri yang digunakan untuk bekerja. Hitungan ini belum termasuk biaya cicilan per bulan jika sepeda motor tersebut kredit dari pihak ketiga.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, Pasal 1 Ayat (31) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja.
Adapun Pasal 31 Permenaker No 5/2021 menyebut peserta bukan penerima upah jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk pekerja di luar hubungan kerja.
”Jika mengacu ke dua peraturan itu, orang-orang yang bekerja sebagai mitra perusahaan aplikasi ride hailing dan kurir logistik termasuk pekerja di luar hubungan kerja,” ujarnya.
Apabila hubungan orang-orang yang bekerja sebagai mitra perusahaan aplikasi ride hailing, kurir logistik, dan lainnya diinterpretasikan sebagai hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Timboel mengatakan, konsekuensinya adalah mereka harus menerima upah sebesar upah minimum provinsi/kabupaten/kota. Masa PKWT pun maksimal lima tahun dan sesudah itu mereka harus berubah menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau pekerja tetap.
Timboel mengatakan, secara sosiologis, saat ini, semua pekerja yang di dalamnya, termasuk pekerja di luar hubungan kerja alias hubungan kemitraan, sedang menghadapi isu naiknya biaya hidup. Adanya THR bisa membantu meringankan beban hidup.
Secara yuridis, Pasal 8 Ayat (1) PP No 36/2021 tentang Pengupahan, THR merupakan pendapatan non-upah. Walaupun demikian, dasar menghitung besaran THR masih menggunakan upah yang dituangkan dalam SE Menaker. Jadi, dengan pendefinisian THR sebagai pendapatan non-upah, maka pemberian THR sebenarnya tidak selalu harus dikaitkan dengan adanya hubungan kerja formal yang ditandai dengan adanya upah, perintah, dan pekerjaan.
”Dengan kata lain, isu besarnya ialah tetap kesejahteraan dan perlindungan sosial. Jika pemerintah ingin membantu dari aspek THR, sebaiknya membuat terobosan hukum dengan merevisi Permenaker No 6/2016 yang biasanya menjadi landasan keluarnya SE Menaker terkait THR. Jadi, hubungan kemitraan disebut secara eksplisit dalam revisi Permenaker No 6/2016 sehingga lebih jelas,” ujarnya.
Pendekatan lainnya yaitu jaminan sosial. Regulasi yang ada yaitu Pasal 32 Ayat (2) Permenaker No 5/2021 mewajibkan pekerja dengan status di luar hubungan kerja, seperti orang-orang yang bekerja sebagai mitra pengemudi ride hailing, mengikuti program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). Lalu, Pasal 34 Permenaker No 5/2021 menyebutkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja dengan hubungan kemitraan harus dapat dipastikan oleh penyedia jasa layanan.
”Kami mengamati masih banyak mitra pengemudi ride hailing belum terlindungi JKK dan JKM. Sejauh mana pemerintah mampu memastikan semua perusahaan aplikasi mendaftarkan para mitra-mitra mereka ke jaminan sosial ketenagakerjaan?” katanya.
Baca juga: Adu Diskon Bebani Jasa Kurir
Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, menyampaikan, sesuai UU No 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah beserta PP No 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, hubungan perusahaan aplikasi ride hailing dengan pengemudi merupakan hubungan bagi hasil atau kemitraan. Ini berarti hubungan mereka bukan hubungan majikan-pekerja.
Apabila pemerintah serius ingin melindungi orang-orang yang bekerja sebagai mitra, pemerintah perlu menetapkan status hubungan kemitraan. Penetapan status seperti ini sebaiknya lewat peraturan perundang-undangan.