Janji Prabowo Bangun 3 Juta Rumah Per Tahun Hadapi Realitas Lapangan
Masyarakat semakin sulit membeli rumah milik. Sementara rumah sewa kurang ekonomis bagi pengembang.
Pasangan presiden-wakil presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menjanjikan program pembangunan 3 juta rumah per tahun. Namun, kebutuhan rumah yang terus meningkat dan daya beli masyarakat yang terbatas mengakibatkan rumah milik kian sulit direalisasikan. Sementara rumah sewa yang tampaknya lebih realistis memiliki tantangan sendiri.
Prabowo-Gibran menjanjikan program pembangunan 3 juta rumah atau naik tiga kali lipat dibandingkan dengan program sejuta rumah yang diusung pemerintahan Jokowi.
Program pembangunan 3 juta rumah masuk dalam Strategi Transformasi Bangsa yang diusung Prabowo-Gibran. Janji pembangunan rumah itu terdiri atas 1 juta rumah di perdesaan, 1 juta rumah di perkotaan, dan 1 juta rumah di daerah pesisir.
Baca juga: Program Sejuta Rumah Tak Cukup Atasi ”Backlog”
Menanggapi program tersebut, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto menilai, kenaikan target program rumah sebanyak tiga kali lipat itu terkesan bombastis.
Agar bisa terlaksana, diperlukan kejelasan pihak yang akan mengerjakan. Ini mencakup waktu pengerjaan, lokasi pelaksanaan, dan anggaran biaya. Kriteria masyarakat yang berhak menjadi sasaran program 3 juta rumah juga mesti jelas.
”Kriteria masyarakat yang bisa dapat rumah di perdesaan dan pesisir juga datanya masih susah,” ujar Joko Suranto, di sela-sela acara Buka Puasa Bersama REI, Jumat (22/3/2024).
Kejelasan skema
Dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, realisasi program sejuta rumah selama periode 2015-2022 mencapai 7.988.585 unit. Pada 2023, capaian program sejuta rumah tercatat 1,21 juta unit.
Joko mengemukakan, pengembang sanggup memasok hunian di perkotaan sebanyak 1 juta- 1,5 juta unit per tahun. REI pernah memasok rumah bersubsidi hingga 300.000 unit per tahun, serta rumah komersial atau nonsubsidi sebanyak 250.000 unit per tahun.
”Kenaikan pasokan hunian di perkotaan hingga dua kali lipat bukan sesuatu yang sulit. Namun, diperlukan kejelasan skema pembiayaan dan kemudahan perizinan agar tidak memakan waktu panjang,” ujarnya.
Kenaikan pasokan hunian di perkotaan hingga dua kali lipat bukan sesuatu yang sulit. Namun, diperlukan kejelasan skema pembiayaan dan kemudahan perizinan agar tidak memakan waktu panjang.
Kebutuhan hunian di perkotaan dinilai harus mengarah ke hunian vertikal, beserta modifikasi hunian tapak di perkotaan. Pendekatan baru diperlukan dalam hal luas tanah, bangunan, dan cara realisasi. Di Jakarta, misalnya, lahan hunian yang dinilai masih terjangkau berukuran luas 30 meter persegi.
Sementara itu, program pembangunan rumah sebanyak 1 juta unit di perdesaan dan 1 juta unit di pesisir dinilai membutuhkan intervensi pemerintah. Di antaranya, menugaskan pengembang kawasan yang memperoleh status proyek strategis nasional (PSN) untuk ikut masuk dan menggarap hunian di perdesaan dan pesisir.
Rumah Sewa
Pengamat Tata Kota dari Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengemukakan, kota-kota memerlukan mesin penggerak ekonomi daerah agar pendapatan masyarakat memadai untuk bisa menjangkau kepemilikan rumah.
Akan tetapi, pekerjaan pada wilayah perkotaan semakin mengarah pada jenis pekerjaan sektor informal. Upah pekerja dan sektor informal yang cenderung minim menyebabkan rumah semakin tidak terjangkau pekerja.
Baca juga: ”Co-Residence”, Konsep Lama untuk Solusi Hunian Baru
Sementara itu, harga rumah terus menghadapi mekanisme pasar yang membuatnya sulit terjangkau.
Dilema struktur pendapatan yang tidak sebanding dengan kenaikan harga rumah menyebabkan rumah sewa dan rumah komunitas (cohousing) semakin menjadi pilihan. Hunian komunitas merupakan rumah yang dibangun bersama pada suatu lahan, dengan ruang-ruang komunal di dalamnya.
”Masyarakat akan cenderung tidak lagi mengejar kepemilikan rumah, melainkan sewa tempat tinggal,” kata Yayat.
Permintaan melonjak
Sebelumnya, Board of Directors Member Federasi Real Estate International (FIABCI) Soelaeman Soemawinata, Kamis, mengemukakan, fenomena megatren akan terjadi seiring 70 persen penduduk dunia yang diprediksi akan menghuni perkotaan. Di Indonesia, jumlah penduduk rata-rata naik 1 persen per tahun. Pada 2045, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 345 juta jiwa.
Tantangan yang muncul dari bertambahnya penduduk adalah semakin banyak kebutuhan lapangan kerja dan tempat bermukim di perkotaan. Selain itu, kebutuhan peningkatan kualitas hidup seperti pendidikan, kesehatan, dan kualitas lingkungan. Pendapatan yang cukup diperlukan agar bisa memiliki rumah dan kehidupan yang layak.
Di sisi lain, generasi muda saat ini cenderung memiliki mobilitas tinggi dan kerja berpindah-pindah. ”Ini akan memengaruhi permintaan perumahan. Masyarakat belum tentu lagi butuh memiliki rumah, tetapi cukup sewa," katanya.
Pembangunan rumah subsidi atau rumah terjangkau membutuhkan intervensi uang negara dengan bekerja sama dengan swasta sebagai pelaksananya.
Guna mendukung kebutuhan tempat tinggal layak, kolaborasi pengembang dan pemerintah diperlukan dalam penyediaan rumah milik ataupun rumah sewa. Pembangunan rumah komersial dapat dilaksanakan oleh swasta.
Sementara pembangunan rumah subsidi atau rumah terjangkau membutuhkan intervensi uang negara dengan bekerja sama dengan swasta sebagai pelaksananya. Demikian pula dengan rumah sosial yang dibangun pemerintah untuk disewakan kepada masyarakat.
Pengembangan hunian di perkotaan perlu mengarah pada hunian vertikal yang lebih terjangkau, termasuk rumah susun sewa. Persoalannya, apartemen komersial saat ini cenderung tidak dilirik, kecuali yang berlokasi di kawasan berorientasi transit (TOD). Salah satu hambatan masyarakat tinggal di apartemen adalah biaya layanan (service charge) yang dianggap mahal, di samping kultur masyarakat yang masih terbiasa tinggal di rumah tapak.
Ubah pola
Soelaeman menambahkan, pemikiran baru diperlukan untuk menyediakan aparteman-apartemen sewa. Di masa lalu, banyak apartemen disewakan agar lebih terjangkau. Di tengah tingginya tingkat kekosongan apartemen di sejumlah wilayah, diperlukan perubahan visi pengembang untuk menyewakan apartemen.
”Visi perilaku developer dan konsumen harus berubah mengikuti zaman. Pengembang bisa memulai dengan penyediaan apartemen servis atau sewa apartemen skala kecil (low rise apartment). Konsumen juga perlu mengubah pola perilaku untuk tinggal di hunian vertikal di perkotaan guna menekan biaya transportasi,” lanjutnya.
Rumah sewa dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk bertempat tinggal. Meski demikian, penyediaan rumah sewa sulit dilakukan oleh pengembang swasta karena tidak ekonomis.
Joko berpendapat, seiring peningkatan kebutuhan perumahan di perkotaan, konsep hunian layak tidak harus status kepemilikan. Rumah sewa dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk bertempat tinggal. Meski demikian, penyediaan rumah sewa sulit dilakukan oleh pengembang swasta karena tidak ekonomis.
”Secara bisnis, penyediaan rumah sewa sulit dilakukan, kecuali pengembang memperoleh penggantian biaya untuk membangun dan insentif," ujarnya.