Imbas The Fed dan Iran-Israel, Ekonomi RI Penuh Tantangan
Pemerintah mulai memetakan potensi dampak yang bisa dihadapi RI. Pelaku pasar diminta tetap tenang dan tidak spekulatif.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itu realitas kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Nilai tukar rupiah, yang sepekan terakhir sudah ”babak belur” akibat kebijakan The Federal Reserve, kini tertimpa imbas serangan Iran ke Israel. Kondisi fundamental ekonomi tidak baik-baik saja dan itu berpotensi menggerus laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ekonom senior dan Menteri Keuangan periode 2014-2016 Bambang Brodjonegoro, Senin (15/4/2024), mengatakan, ekonomi Indonesia tengah menghadapi tantangan yang serius secara eksternal. Hal itu tampak dari stabilitas nilai tukar rupiah yang belakangan ini terganggu dan berimbas ke berbagai lini ekonomi.
Pelemahan rupiah pertama-tama terjadi akibat imbas kebijakan The Federal Reserve (The Fed). Bank sentral Amerika Serikat (AS) itu masih mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi dan tidak jadi memangkasnya sesuai ekspektasi pasar. Itu disebabkan oleh kondisi ekonomi di AS yang belum membaik, dengan tingkat inflasi yang masih jauh dari target aman.
Akibatnya, dollar AS pun menguat terhadap semua mata uang. Pekan lalu, nilai tukar rupiah bahkan telah menyentuh Rp 16.000 per dollar AS. Kondisi rupiah semakin diperburuk dengan serangan Iran ke wilayah Israel pada Minggu (14/4/2024). Sampai saat ini, dunia masih menanti apakah Israel akan menahan diri atau melancarkan serangan balasan.
”Kondisi yang tak tentu ini akan semakin mendorong investor mencari safe haven alias tempat paling aman untuk menaruh uangnya, dan itu hanya ada dua: mata uang dollar AS atau surat utang Pemerintah AS (US Treasury Bonds). Ini bisa membuat rupiah semakin tertekan,” kata Bambang dalam diskusi daring yang digelar Perkumpulan Eisenhower Fellowship Indonesia.
Kondisi rupiah yang melemah itu semakin menambah risiko pada ketahanan eksternal Indonesia. Bambang mengatakan, tanpa pelemahan rupiah pun, keseimbangan eksternal RI saat ini sebenarnya sudah mulai terganggu. Hal itu tampak dari surplus neraca perdagangan yang semakin menyempit hingga di bawah 1 miliar dollar AS.
”Serangan terbaru ini bisa membuat distribusi dan shipping semakin terganggu, terutama yang melalui Laut Merah dan Selat Hormuz. Ditambah era commodity boom sudah berakhir, permintaan global turun dan rupiah terus melemah. Ini hanya akan membuat defisit transaksi berjalan kita semakin melebar,” tutur Bambang.
Pertumbuhan ekonomi bisa terdorong ke bawah, hanya berkisar 4,6-4,8 persen.
Potensi inflasi
Di sisi lain, neraca transaksi arus modal pun tidak bisa diandalkan akibat tren pelemahan rupiah. Bambang memprediksi akan terjadi aliran modal keluar (capital outflow) yang cukup besar jika eskalasi konflik Timur Tengah berlanjut.
”Dulu saja, hanya 3-4 hari sesudah Israel dan Hamas ribut, ada outflow dari pasar surat utang negara kita sekitar Rp 4 triliun. Itu baru konteks Israel-Hamas yang sifatnya masih lokal. Sekarang ini isunya sudah lebih besar dari itu. Jadi memang kita pun tidak bisa berharap banyak dari neraca arus modal,” ucapnya.
Ketahanan eksternal Indonesia yang rentan itu membuat potensi kenaikan inflasi sulit dihindari. Salah satunya akibat harga minyak dunia yang bisa bergejolak seiring dengan eskalasi perang di Timur Tengah.
Hal serupa pernah terjadi pada tahun 2022 saat perang Rusia-Ukraina pertama kali pecah. Saat itu, harga minyak dunia sempat menembus 100 dollar AS per barel sehingga pemerintah terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) demi mengurangi beban subsidi energi. Akibatnya, inflasi saat itu meroket sampai di atas 5 persen.
”Perkiraan saya, inflasi kali ini juga akan lebih tinggi. Satu, kita memang ada masalah domestik, yaitu inflasi pangan bergejolak. Dua, inflasi yang berasal dari harga yang diatur pemerintah seperti BBM dan elpiji (sebagai dampak harga energi global). Tiga, inflasi akibat impor (imported inflation) karena pelemahan rupiah dan gangguan rantai distribusi,” papar Bambang.
Dengan berbagai tantangan ekonomi itu, Bambang memperkirakan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen tahun ini akan sulit tercapai. ”Kalau eskalasi konflik di Timur Tengah lebih lama dan lebih lama, mungkin target 5 persen akan menantang. Pertumbuhan ekonomi bisa terdorong ke bawah, hanya berkisar 4,6-4,8 persen,” ucapnya.
Antisipasi pemerintah
Ekonom senior dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Mari Elka Pangestu mengatakan, pemerintahan baru yang menjabat mulai Oktober 2024 akan menghadapi tantangan ekonomi yang berat.
Salah satunya, dilema klasik antara mempertahankan harga BBM demi menjaga daya beli masyarakat atau menaikkan harga BBM demi menjaga ketahanan fiskal. Keduanya memiliki risiko yang sama-sama berat.
Pastinya pemerintah tidak tinggal diam. Kita akan siapkan sejumlah kebijakan strategis untuk memastikan ekonomi kita tidak terdampak lebih jauh.
”Ini jadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah baru. Potensi lonjakan harga minyak dunia bisa melebarkan defisit anggaran, kecuali pemerintah memilih menaikkan harga BBM,” ujar Mari.
Sementara itu, pemerintah mulai memetakan potensi dampak yang bisa dihadapi Indonesia jika terjadi eskalasi konflik di Timur Tengah. Mulai dari terganggunya rantai pasok, kenaikan harga minyak dunia, serta pelemahan rupiah akibat larinya aset-aset keluar Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, langkah antisipatif akan disiapkan pemerintah untuk menekan potensi risiko ekonomi. Salah satunya, rencana koordinasi bauran kebijakan fiskal dan moneter untuk mengendalikan nilai tukar dan mengelola defisit anggaran ke depan.
Ia meminta pelaku pasar untuk tetap tenang dan tidak mengambil langkah spekulatif. Ia meyakinkan, sejauh ini kondisi ekonomi RI masih relatif kuat dengan pertumbuhan ekonomi terjaga di 5 persen, inflasi terkendali, neraca perdagangan yang masih surplus, dan cadangan devisa yang masih kuat.
”Pastinya pemerintah tidak tinggal diam. Kita akan siapkan sejumlah kebijakan strategis untuk memastikan ekonomi kita tidak terdampak lebih jauh,” ujar Airlangga dalam rapat koordinasi terbatas dengan perwakilan sejumlah duta besar di kantor Kemenko Perekonomian, Senin.