Inflasi Pangan dan Energi Bisa Kembali Jangkiti RI
Jika konflik Iran-Israel semakin meruncing, inflasi pangan dan energi bisa kembali melanda Indonesia.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam skenario terburuk, ketidakpastian ekonomi global berpotensi semakin menjadi-jadi. Inflasi pangan dan energi bisa kembali menjangkiti Indonesia. Guna meredamnya dibutuhkan upaya ekstra dan biaya tinggi.
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, Senin (15/4/2024), mengatakan, konflik Iran-Israel diperkirakan tidak akan berkepanjangan. Iran menjamin hal itu jika tidak ada tindakan balasan dari Israel.
”Namun, skenario terburuk mungkin saja terjadi, terutama jika Israel membalasnya. Apalagi, jika sekutu kedua negara tersebut turut terlibat. Di belakang Israel ada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), termasuk Amerika Serikat. Sementara di balik Iran ada Rusia dan China,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Menurut Fithra yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, dalam skenario terburuk itu, harga minyak mentah dunia bisa tembus di atas 100 dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak itu akan mendorong kenaikan harga komoditas global yang lain, terutama pangan.
Kondisi itu bakal menyulitkan Indonesia, apalagi di tengah depresiasi rupiah, harga pangan domestik yang serba naik, dan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Kenaikan harga minyak mentah dunia akan menempatkan Indonesia pada dua pilihan sulit.
Pertama, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan konsekuensi inflasi tinggi dan menggerus daya beli. Kedua, mempertahankan harga BBM dengan konsekuensi menambah subsidi energi. Jika subsidi energi ditambah, berarti defisit fiskal akan semakin melebar.
”Bila harga minyak mentah di kisaran 95-100 dollar AS per barel atau di atas asumsi makro APBN, setidaknya butuh Rp 50 triliun hingga Rp 100 triliun untuk tambahan subsidi BBM,” katanya.
Tantangan itu semakin berat lantaran terjadi di tengah harga patokan sejumlah bahan pangan di dalam negeri, seperti gabah dan beras, gula, minyak goreng, yang akan disesuaikan atau dinaikkan.
Selain itu, Fithra melanjutkan, hal lain yang berpotensi terjadi adalah imported inflation atau inflasi akibat kenaikan harga barang impor. Di sektor pangan, misalnya, harga bahan pangan impor, seperti gandum, kedelai, gula, dan beras berpotensi naik, baik akibat depresiasi rupiah terhadap dollar AS maupun kenaikan harga minyak mentah dunia.
”Tantangan itu semakin berat lantaran terjadi di tengah harga patokan sejumlah bahan pangan di dalam negeri, seperti gabah dan beras, gula, minyak goreng, yang akan disesuaikan atau dinaikkan,” ujarnya.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) berencana menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) tetap gabah. Kenaikan HPP itu akan diikuti dengan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) beras.
Sebelumnya, Bapanas menaikkan sementara HPP gabah dan beras untuk cadangan pemerintah hingga 30 Juni 2024. Bapanas juga menaikkan sementara HET beras premium. Relaksasi itu akan berakhir pada 24 April 2024.
Kementerian Perdagangan juga berencana menaikkan harga minyak goreng curah dan Minyakita setelah Lebaran 2024. Setiap musim giling tebu, pemerintah juga akan menetapkan harga pokok penjualan gula di tingkat petani dan harga acuan penjualan gula di tingkat eceran.
Guna mengantisipasi dampak skenario terburuk, Fithra berharap pemerintah mengalokasikan dana perlindungan sosial 2024 yang memadai untuk meredam dampak kenaikan harga minyak dunia di dalam negeri. Pemerintah juga diminta menjaga stok pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri sehingga tidak terlalu bergantung pada impor.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengaku khawatir jika konflik Iran-Israel semakin meruncing akan kembali membuat biaya logistik maritim naik. Setelah Laut Merah dan Terusan Suez kurang aman untuk dilewati, nanti bisa jadi kapal-kapal yang melalui Selat Hormuz, Teluk Persia juga terhambat.
”Jalur tersebut merupakan rute utama kapal-kapal minyak. Jika terhambat, akan berpengaruh pada kenaikan harga minyak mentah dunia,” katanya.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Danish Sultan, Direktur Pelaksana PacMarine Servives di Singapura. Selama ini, konflik Laut Merah telah menyebabkan biaya operasional setiap kapal naik menjadi 30 juta dollar AS karena harus memutar melalui Tanjung Harapan.
”Jangan sampai jalur-jalur laut yang lain, terutama Teluk Persia, juga ditutup gara-gara konflik,” ujarnya (The Economic Times, 15/4/2024).