Nilai Tukar Rupiah Melemah, Harga Barang Bisa Naik
Depresiasi rupiah meningkatkan biaya industri yang mengimpor bahan baku. Harga barang impor juga jadi lebih mahal.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah dalam tren pelemahan sehingga tembus Rp 16.000 per dollar AS di pasar. Dampaknya, harga barang impor ataupun barang produksi dalam negeri berisiko terkerek naik.
Mengutip Google Finance, perdagangan rupiah pada Senin (15/4/2024) dibuka pada level Rp 16.120. Posisi ini melemah apabila dibandingkan awal April yang berada di kisaran Rp 15.800-Rp 15.900. Nilai tukar rupiah di pasar sudah menembus Rp 16.000 mulai 10 April lalu.
Pelemahan nilai tukar rupiah memberikan tambahan ongkos biaya pada pelaku industri dalam negeri yang banyak mengimpor bahan baku ataupun bahan penolong dalam proses produksinya.
Wakil Ketua bidang Agraria, Tata Ruang, dan Kawasan Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sanny Iskandar mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah punya dampak luas, tak hanya bagi dunia usaha, tetapi juga merembet kepada konsumen.
Pelemahan nilai tukar rupiah memberikan tambahan ongkos biaya pada pelaku industri dalam negeri yang banyak mengimpor bahan baku ataupun bahan penolong dalam proses produksinya. Depresiasi rupiah membuat mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk impor dengan harga barang yang sama.
”Jika tekanan itu tidak bisa ditutup dengan langkah efisiensi, bukan tidak mungkin ditransmisikan kepada konsumen menjadi kenaikan harga,” ujar Sanny saat dihubungi pada Senin (15/4/2024).
Mayoritas industri manufaktur dalam negeri masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan bahan penolong. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total impor bahan baku atau penolong pada Januari-Februari 2024 mencapai 72,47 persen dari total impor yang mencapai 36,93 miliar dollar AS.
Bahan baku dan bahan penolong itu diimpor lalu diolah atau diproduksi menjadi produk jadi hasil industri manufaktur dalam negeri. Masih tingginya impor bahan baku oleh industri manufaktur lantaran industri hulu dan antara dalam negeri ini masih lemah. Selain itu, masih banyak jenis bahan baku yang belum bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.
Harga-harga jadi tidak kompetitif. Ini bisa menurunkan daya beli masyarakat.
Tak hanya adanya potensi kenaikan harga barang produksi manufaktur dalam negeri, tetapi juga adanya kenaikan harga barang impor. Dengan harga yang sama, importir harus merogoh kocek lebih dalam karena nilai rupiah jadi lebih lemah, sehingga harga barang lebih mahal.
Mengutip data BPS, pada Januari-Februari 2024, total impor barang konsumsi mencapai 3,63 miliar dollar AS atau 9,84 persen dari total impor. ”Harga-harga jadi tidak kompetitif. Ini bisa menurunkan daya beli masyarakat,” ujar Sanny.
Di sisi lain, Sanny melanjutkan, memang depresiasi nilai tukar rupiah ini juga menguntungkan sebagian lain dunia usaha, yakni para eksportir. Sebab, dengan harga yang sama, mereka bisa menikmati keuntungan lebih banyak saat menukarkan ke mata uang rupiah.
Sanny mengatakan, yang dibutuhkan dunia usaha adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan nilai tukar yang stabil, pelaku usaha bisa membuat perencanaan yang lebih matang dalam perhitungan usahanya.
Pada diskusi daring yang digelar Perkumpulan Eisenhower Fellowship Indonesia, Senin (15/4/2024), Menteri Keuangan periode 2014-2016 Bambang PS Brodjonegoro menjelaskan, melemahnya nilai tukar rupiah lebih disebabkan mata uang dollar AS yang tengah menguat. Mata uang negara adidaya ini menguat tak hanya dibanding rupiah, tetapi juga terhadap banyak mata uang negara lainnya.
Menguatnya mata uang dollar AS, menurut Bambang, karena semua negara dunia termasuk Indonesia seakan terkecoh dengan keputusan bank sentral AS, The Federal Reserves (The Fed), yang akan mulai menurunkan suku bunga acuannya. Namun, ternyata belum akan diturunkan.
Akibat dunia sedang penuh ketidakpastian, pemodal lebih memilih menyimpan di kelas aset yang lebih aman. Menyimpan uang dollar AS di obligasi Pemerintah AS dinilai lebih aman. Apalagi, suku bunga acuan AS masih tinggi.
Hal ini memicu arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia, menuju kembali ke AS. Dampaknya, pasokan dollar AS di dalam negeri berkurang. Sementara permintaannya tetap. Akhirnya, nilai tukar rupiah pun melemah.
”Rupiah yang lebih melemah ini lebih karena dollar AS menguat terhadap semua mata uang,” ujar Bambang.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bidang Ekonomi Internasional Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, Indonesia harus mengantisipasi potensi kenaikan inflasi dari depresiasi rupiah.
Harga jual produksi dalam negeri berpotensi melonjak karena adanya kenaikan ongkos bahan baku dan penolong yang mesti diperoleh dari impor. Begitu juga barang impor yang ikut mengalami kenaikan harga (imported inflation).
Menurut dia, pemerintah perlu memberikan stimulus dari sisi permintaan agar daya beli masyarakat tetap terjaga di tengah potensi lonjakan inflasi.