Kurangi Dampak Dollar, Dunia Usaha Diimbau Gunakan Mata Uang Lokal
Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap "hard currencies", terutama dollar AS.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah, dunia usaha diimbau menggunakan fasilitas penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal atau local currency settlement/LCT dengan mitra dagang negara tertentu yang telah bekerja sama dengan Indonesia.
Dengan skema LCT, pengusaha Indonesia bisa menggunakan mata uang rupiah saat ekspor-impor sehingga mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dollar AS, lebih efisien, dan terhindar dari rugi kurs. Harapannya bisa membuat nilai tukar rupiah lebih stabil
”Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap hard currencies, terutama dollar AS, mengingat skala ekonomi dan volume perdagangan terus meningkat, juga untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Kamis (18/4/2024). Agus juga mengimbau dunia usaha meningkatkan penggunaan mata uang lokal dengan skema LCT itu untuk transaksi bilateral yang dilakukan dengan negara mitra.
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah pada perdagangan Kamis (18/4/2024) ditutup pada level Rp 16.177, menguat dibandingkan pada Rabu yang berada di level Rp 16.240.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan, pihaknya sependapat dengan imbauan Menteri Perindustrian. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Melalui skema LCT, lanjut Destry, Indonesia bisa mendiversifikasi penggunaan mata uang atau mendorong penggunaan mata uang lokal dalam kegiatan perdagangan dengan negara mitra. Skema LCT bisa mengurangi ketergantungan penggunaan mata uang tertentu, terutama dollar AS. Dengan demikian, ada dampak positif dalam mengurangi volatilitas nilai tukar rupiah.
Tidak tertutup kemungkinan juga industri akan melakukan penyesuaian/penurunan kinerja produksi, evaluasi terhadap rencana penjualan, perluasan pasar, serta penyesuaian harga jual pasar.
”Perkembangannya positif dan tumbuh signifikan. Kita bersama dengan kementerian/lembaga terkait, asosiasi, dan perbankan terus menggalakkan sosialisasi dan edukasi kepada pelaku usaha agar lebih optimal menggunakan skema LCT dalam kegiatan perdagangan dan kegiatan ekonomi lainnya dengan negara mitra,” tutur Destry.
Skema LCT ini merupakan inisiatif BI dengan bank sentral lainnya di tujuh negara untuk sepakat menyelesaikan transaksi dengan mata uang lokal. Sejak 2018 hingga saat ini, BI telah sepakat menjalin kerja sama dengan Malaysia, Thailand, Jepang, China, Singapura, Korea Selatan, dan India.
Melalui kerja sama ini, eksportir ataupun importir, baik dari Indonesia maupun mitra, bisa menggunakan rupiah dan mata uang negara mitra saat bertransaksi bilateral. Perdagangan dengan India, misalnya, pengusaha Indonesia bisa menggunakan rupiah, sementara pengusaha India bisa menggunakan rupee. Begitu juga saat bertransaksi dengan enam negara lainnya. Hal ini menggantikan penggunaan mata uang dollar AS yang sebelumnya digunakan dalam aktivitas ekonomi bilateral ini.
Pada posisi akhir 2023, skema LCT ini telah menghasilkan transaksi yang setara dengan 6,3 miliar dollar AS, meningkat 53 persen dibandingkan dengan tahun 2022 yang sebesar 4,1 miliar dollar AS.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani berpandangan, saat ini tidak ada satu obat ajaib yang langsung manjur seketika menciptakan stabilitas nilai tukar atau menekan apresiasi dollar AS.
Berbagai instrumen moneter, seperti currency swap dan LCT, masih bergerak dalam skala kecil. ”Efek upaya stabilisasi nilai tukar yang diciptakan masih terbatas sehingga perlu disokong oleh instrumen intervensi yang lain,” ujar Shina, Kamis.
Shinta mengatakan, yang bisa dilakukan dunia usaha dalam mengantisipasi depresiasi rupiah hanyalah dengan melakukan penyesuaian kinerja usaha, khususnya yang berbahan baku impor. Pelaku industri akan berupaya sebaik mungkin untuk menciptakan keterjangkauan beban produksi dan harga pasar untuk menciptakan kinerja usaha yang optimal.
”Tidak tertutup kemungkinan juga industri akan melakukan penyesuaian/penurunan kinerja produksi, evaluasi terhadap rencana penjualan, perluasan pasar, serta penyesuaian harga jual pasar,” ujar Shinta.
Seperti diketahui, penguatan dollar AS yang membuat rupiah melemah akhir-akhir ini berpotensi meningkatkan ongkos produksi industri. Sebab, bahan baku industri manufaktur dalam negeri masih banyak yang harus diimpor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Januari-Februari 2024, total impor bahan baku atau penolong mencapai 72,47 persen dari total impor yang mencapai 36,93 miliar dollar AS.
Masih tingginya impor bahan baku oleh industri manufaktur terjadi lantaran industri hulu dan antara dalam negeri ini masih lemah. Selain itu, masih banyak jenis bahan baku yang belum bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.