”1.001” Konsekuensi Program Minum Susu Gratis
Program Minum Susu Gratis Prabowo-Gibran telah melahirkan ”1.001” konsekuensi dan rencana aksi. Apa sajakah itu?
Janji itu mudah diucapkan. Namun, realisasinya tidak akan semudah mengucapkannya. Bakal ada ”1.001” konsekuensi yang menyertainya. Ini berlaku sama bagi janji Program Minum Susu Gratis Prabowo-Gibran.
Program Minum Susu Gratis pasangan calon presiden dan calon wakil presiden peraih suara terbanyak Pemilu 2024 itu akan berjalan bersama program Makan Siang Gratis. Program itu menyasar 82,9 juta orang, meliputi pelajar, santri, dan ibu hamil, dengan total kebutuhan susu 4,1 juta ton per tahun.
Hal itu tentu saja bakal membawa ”1.001” konsekuensi bagi Indonesia lantaran selama ini neraca produksi-konsumsi susu nasional selalu defisit. Badan Pusat Statistik mencatat, produksi susu segar nasional pada 2023 sebanyak 837.223 ton atau sekitar 0,84 juta ton.
Volume produksi itu turun dari rerata produksi tahunan dalam lima tahun terakhir 2017-2021 yang sebanyak 0,9 juta ton. Penurunan produksi itu terjadi setelah penyakit mulut dan kuku (PMK) mewabah kembali pada 2022. Produksi susu segar pada 2022 tercatat 0,82 juta ton.
Dengan begitu, kehadiran program Minum Susu Gratis sudah melahirkan satu persoalan, yakni semakin memperlebar defisit neraca susu. Rerata kebutuhan susu tahunan akan bertambah dari 4,6 juta ton menjadi 8,7 juta ton.
Dengan rerata produksi susu tahunan 0,9 juta ton saja, akan terjadi defisit susu sebanyak 7,8 juta ton atau setara 2 juta sapi perah. Tanpa program itu, defisit susu tersebut sebanyak 3,9 juta ton.
Program Minum Susu Gratis melahirkan satu persoalan, yakni semakin memperlebar defisit neraca susu. Rerata kebutuhan susu tahunan akan bertambah dari 4,6 juta ton menjadi 8,7 juta ton.
Konsekuensinya, pemerintah bakal semakin berupaya keras menutup defisit susu itu. Kerja keras itu tidak hanya terkait pengadaan susu, tetapi juga pengalokasian anggaran pembiayaan; membuka investasi, kemitraan, dan insentif; mengubah regulasi; membuat kluster sapi; serta memitigasi penyebaran wabah penyakit mulut dan kuku (PMK).
”1.001” problem, konsekuensi, dan jawabannya itu terangkum dalam program Peningkatan Produksi Susu Sapi Nasional (PPSN) Kementerian Pertanian (Kementan). Untuk mememenuhi kebutuhan reguler dan program Minum Susu Gratis, misalnya, RI berencana mengimpor sapi perah dan mengembangkan pembenihan melalui inseminasi buatan.
Merujuk data program PPSN, sapi perah yang akan diimpor sebanyak 2,15 juta ekor. Sapi-sapi itu akan didatangkan dari Brasil sebanyak 1,5 juta ekor, terutama sapi perah tropis; Amerika Serikat 500.000 ekor; Australia 100.000 ekor; dan Selandia Baru 50.000 ekor.
Dari jumlah itu, sapi impor yang dibutuhkan untuk program Minum Susu Gratis sebanyak 1,1 juta ekor. Dana yang diperlukan untuk mendatangkan sapi-sapi tersebut sekitar Rp 90 triliun.
”Sapi perah tropis menjadi pilihan utama lantaran Brasil dan Indonesia sama-sama memiliki iklim tropis,” kata Makmun, Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, dalam webinar bertajuk ”Kawal Produksi Susu Menuju Kemandirian Pangan dan Protein” yang digelar Sinar Tani di Jakarta, Rabu (17/4/2024).
Baca juga: Indonesia Rencanakan Impor 2,15 Juta Sapi Perah
Rencana aksi
Lalu, bagaimana cara Indonesia mendapatkan dan membudidayakan sapi-sapi perah impor itu? Kementan telah memiliki rencana aksi mulai dari pembiayaan, insentif, permodelan dan permodalan bisnis budidaya, hingga ketersediaan pakan.
Pertama, dari sisi pembiayaan impor sapi perah, pemerintah tidak akan bertumpu pada APBN, tetapi juga membuka peluang investasi. Investasi itu bisa berasal dari perusahaan swasta atau badan usaha milik negara (BUMN).
Makmun menjelaskan, impor sapi perah bisa dilakukan industri pengolahan susu segar, importir produk susu, penggemukan sapi bakalan, pembibitan sapi, dan BUMN yang bergerak di sektor peternakan. Mereka dapat mengimpor dan membudidayakan sapi perah secara mandiri atau bermitra dengan koperasi susu dan kelompok peternak.
Jika model bisnis yang dipilih ada kemitraan, perusahaan-perusahaan itu bertugas dapat menyerahkan budidaya sapi perah kepada koperasi susu atau kelompok peternak. Nanti, koperasi susu atau kelompok peternak akan mengganti biaya pembelian sapi perah itu dengan cara mengangsur dari hasil produksi.
”Pemerintah akan mendukung perusahaan-perusahaan tersebut dengan memberikan insentif impor, penyediaan lahan budidaya, dan kemudahan perizinan impor,” kata Makmun.
Baca juga: Susu Gratis, dari Mana Susunya?
Impor sapi perah bisa dilakukan industri pengolahan susu seger, importir produk susu, penggemukan sapi bakalan, pembibitan sapi, dan BUMN yang bergerak di sektor peternakan.
Kedua, membuat kluster budidaya sapi perah baik di provinsi maupun kabupaten atau kota. Tujuannya adalah meratakan produksi susu di seluruh Indonesia agar tidak terpusat di Jawa. Klusterisasi tersebut diharapkan mencakup pengembangan hulu-hilir industri susu hingga pakan.
Untuk menopang kluster-kluster tersebut, Kementan telah membuat model bisnis budidaya sapi perah berskala kecil dan menengah. Untuk model bisnis berskala kecil, dapat dikembangkan oleh kelompok tani di lahan seluas 1 hektar dengan jumlah sapi perah yang dibudidayakan sebanyak 5-10 ekor.
Adapun model bisnis berskala menengah bisa dikembangkan koperasi susu di lahan seluas 20 hektar. Jumlah sapi perah yang dibudidaya minimal 200 ekor. Kedua model bisnis itu juga diharapkan memiliki sumber pakan yang lahannya terintegrasi dengan lahan budidaya.
Ketiga, pemerintah telah menyiapkan insentif bagi importir dan pembudidaya sapi perah. Salah satunya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.
Baca juga: ”Susu Sekolah” dan Kesejahteraan Peternak
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementan Tri Melasari menuturkan, melalui PP itu, importir dan pembudidaya sapi perah bisa mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan bersih sebesar 30 persen selama enam tahun. Pengurangan pajak itu dilakukan masing-masing 5 persen per tahun.
”Apabila ada kerugian, kompensasi pungutan pajak bisa diberikan. Regulasi ini berlaku baik bagi investor baru maupun investor lama yang mengembangkan usaha,” tuturnya.
Selain insentif, ujar Tri, pemerintah juga memberikan kemudahan permodalan usaha bagi pelaku usaha kecil menengah (UKM). Hal itu dilakukan baik melalui pinjaman berbunga murah maupun memfasilitasi investor atau tanggung jawab perusahaan (CSR) perusahaan swasta.
Bagi UKM yang belum dapat mengakses pinjaman bank secara mandiri, Kementan telah menggulirkan program Pendampingan Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) bekerja sama dengan Kementerian BUMN. Melalui program itu, mereka bisa mendapatkan pinjaman dengan bunga murah dari sejumlah bank milik negara.
”Pada 2022, bunga pinjaman khusus PKBL itu sebesar 3 persen. Kemudian, pada 2023, bunganya naik menjadi 6 persen. Namun, pada 2024, bunga tersebut kembali lagi menjadi 3 persen. Setelah mulai mandiri, mereka bisa mengembangkan usaha dengan kredit usaha rakyat (KUR),” kata Tri.
Importir dan pembudidaya sapi perah bisa mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan bersih sebesar 30 persen selama enam tahun.
Mewaspadai wabah PMK
Dari rentetan atau ”1.001” konsekuensi program Minum Susu Gratis itu, salah satu konsekuensi terbesar yang tidak boleh diabaikan adalah potensi mewabahnya PMK. Dalam 32 tahun terakhir, Indonesia telah menyandang status bebas PMK.
Namun, sejak 28 April 2022, PMK kembali mewabah di Indonesia. Waktu itu, 402 sapi potong di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dilaporkan terjangkit PMK. Kasus itu kemudian menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia.
Pemerintah berhasil menekan penyebarannya melalui vaksinasi. Namun, pada Februari 2024, kasus PMK kembali merebak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Dinas Peternakan dan Kesehatan Kabupaten Pasuruan mencatat, dalam tujuh hari, 14-20 Februari 2024, terdapat 145 kasus PMK. Dari jumlah itu, 31 sapi mengalami kematian.
Oleh karena itu, Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi meminta agar pemerintah tetap mewaspadai penyebaran PMK di Indonesia. Peningkatan pengawasan sapi-sapi impor dari negara lain yang masuk Indonesia juga perlu diperketat.
Data GKSI menunjukkan, akibat PMK, populasi sapi yang dikelola rakyat, per awal 2024, berkurang 12.637 ekor menjadi 226.829 ekor. Jumlah peternak sapi rakyat juga berkurang 2.231 peternak menjadi 73.563 peternak. Produksi susu segar pun tinggal 1,39 juta ton atau berkurang sekitar 30 persen.
Baca juga: Setahun Wabah PMK
Menanggapi hal itu, Makmun menyatakan, Kementan tidak hanya menyiapkan regulasi yang memudahkan impor sapi perah dari negara lain. Kementan juga membuat analisis risiko sapi-sapi yang akan diimpor dari negara lain, terutama Brasil.
Hasil analisis itu menunjukkan, sapi-sapi di negara-negara tersebut bebas PMK sehingga dijamin aman masuk Indonesia. Kendati begitu, Kementan tetap akan memperkuat pengawasan sapi impor.
”Langkah itu akan dibarengi dengan meningkatkan ketersediaan vaksin virus PMK dan memperkuat vaksinasi sapi di dalam negeri,” kata Makmun.
Akankah ”1.001” konsekuensi itu dapat teratasi semua ketika program dan rencana aksi PPSN bergulir nanti? Atau justru akan menimbulkan ”1.001” masalah dan konsekuensi lain? Mari kita tunggu praktiknya dalam penerapan janji itu nanti.
Baca juga: Tipisnya Tameng Pelindung Peternak Sapi Perah Tanah Air