Arah Fiskal Tahun Pertama Prabowo: Utang Membengkak, Defisit Melebar
Rasio utang pemerintah tahun depan ditargetkan "membengkak" hingga 40,14 persen terhadap PDB, mendekati level pandemi.
JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan fiskal pada 2025 akan mengarah pada melebarnya defisit anggaran serta membengkaknya rasio utang negara. Hal ini bisa meningkatkan risiko fiskal di tengah iklim ekonomi global yang serba tidak pasti.
Gambaran arah kebijakan pembangunan itu tertuang dalam dokumen Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan tema “Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
Baca juga: Targer Defisit APBN 2025 Melebar, Pengusaha Ingatkan Hati-hati
Dalam rincian sasaran fiskal tahun 2025, pemerintah menetapkan target defisit sebesar 2,45-2,80 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka itu mendekati batas maksimal defisit fiskal sebesar 3 persen terhadap PDB yang diamanatkan undang-undang. Rentang defisit itu juga melebar dari target di APBN 2024 sebesar 2,29 persen terhadap PDB.
Selain defisit yang melebar, rasio utang pemerintah juga membengkak. Dokumen RKP mencatat, target saldo utang atau rasio utang pemerintah adalah 39,77-40,14 persen terhadap PDB. Alih-alih turun, angka itu naik dari target rasio utang 2024 sebesar 38,26 persen, bahkan mendekati level rasio utang saat pandemi Covid-19 (39,4 persen pada 2020 dan 40,7 persen pada 2021).
Seiring dengan pelebaran defisit dan kebutuhan utang yang meningkat itu, target belanja pemerintah di RKP 2025 juga bertambah dari 14,56 persen terhadap PDB (pada APBN 2024) menjadi 16,15-17,80 persen terhadap PDB. Itu terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar 11,96-13,35 persen terhadap PDB serta transfer ke daerah sebesar 4,19-4,45 persen terhadap PDB.
Rencana kerja pemerintah yang lebih detail itu akan dituangkan dalam penyusunan Rancangan APBN 2025 yang segera dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jika kondisi geopolitik global terus memanas, risiko fiskal akan naik, sementara di sisi lain ruang untuk perubahan defisit sudah menyempit.
RKP dan RAPBN 2025 disusun oleh rezim Joko Widodo-Ma’ruf Amin, tetapi dijalankan oleh rezim baru yang mulai menjabat Oktober 2024. Sesuai hasil hitung riil, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapat suara terbanyak di Pemilihan Presiden 2024 dan tinggal menunggu penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurut Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, Selasa (23/4/2024), peningkatan belanja negara yang diatasi dengan strategi pelebaran defisit fiskal dan peningkatan rasio utang adalah konsekuensi dari janji-janji populis pemerintahan baru mendatang.
Prabowo-Gibran menjanjikan sejumlah kebijakan yang populis saat kampanye, seperti program unggulan untuk memberikan makan siang dan susu gratis bagi anak sekolah, ibu hamil, dan balita, yang membutuhkan total anggaran sekitar Rp 400 triliun.
Eko menilai, dari aspek kehati-hatian fiskal, pelebaran defisit hingga 2,8 persen dan rasio utang yang membengkak itu akan membawa konsekuensi risiko fiskal yang meningkat.
Keyakinan pasar terhadap fundamental ekonomi Indonesia pun akan lebih rentan di tengah sentimen ekonomi global dan domestik. Apalagi, saat ini kondisi ekonomi global sedang melambat dan penuh gejolak.
Baca juga: Arah APBN Transisi di Tengah Ruang Fiskal yang Menyempit
“Risiko itu meningkat karena ruang manuver pelebaran defisit jadi lebih sempit berhubung batasannya adalah 3 persen terhadap PDB. Jika kondisi geopolitik global terus memanas, risiko fiskal akan naik. Sementara di sisi lain, ruang untuk perubahan defisit sudah menyempit,” kata Eko.
Guma meredam potensi risiko fiskal, ia menilai semestinya rentang defisit fiskal tidak dinaikkan hingga nyaris “mentok” mendekati batas 3 persen. Dengan demikian, jika muncul ketidakstabilan fiskal dan moneter, masih ada ruang untuk memperlebar defisit di bawah batas aman.
“Menargetkan defisit di bawah 2,5 persen akan lebih memberi ruang untuk meredam risiko fiskal,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Makroekonomi dan Keuangan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky menilai, dalam kondisi normal, defisit fiskal dan utang negara semestinya ditekan rendah agar pengelolaan keuangan negara tetap penuh kehati-hatian.
Namun, di tengah kondisi ekonomi global yang tidak pasti akibat tensi geopolitik yang meningkat, suku bunga Amerika Serikat yang tinggi, dan biaya berutang (cost of fund) yang mahal, pelebaran defisit bisa dimaklumi.
Kita harus melakukan pembiayaan inovatif untuk menjaga pengelolaan risiko fiskal ke depan.
"Jadi, sepertinya postur fiskal di RKP 2025 ini ditetapkan sebagai shock absorber atas kondisi ekonomi saat ini. Prudent (bijak) atau tidak, tentu kalau semakin rendah semakin prudent. Namun, tampaknya ini masih dalam level yang cukup aman karena masih sesuai rambu-rambu fiskal kita," kata Riefky.
Strategi untuk menyeimbangkan kebutuhan belanja yang besar tanpa memperlebar defisit dan menambah utang adalah menggenjot penerimaan negara. Sasaran defisit dan utang yang dipasang di RKP 2025 pun sebenarnya sudah mempertimbangkan kenaikan penerimaan negara, dari 10,12 persen terhadap PDB (pada APBN 2024) menjadi 11,20-12,00 persen terhadap PDB.
RKP juga menargetkan kenaikan rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) sebesar 10,0-12,0 persen terhadap PDB pada 2025. Saat ini, rasio perpajakan berkisar 9-10 persen. Pada 2023, rasio perpajakan nasional adalah 10,21 persen.
Namun, Eko melihat, selain wacana mengubah kelembagaan dengan mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN), belum terlihat ada terobosan strategi untuk mendongkrak penerimaan pajak ke depan. Pendirian BPN pun kemungkinan akan membutuhkan waktu transisi cukup lama.
Baca juga: Badan Penerimaan Negara Bukan ”Panasea” Masalah Pajak
“Tahun pertama dan kedua sepertinya masih akan berkutat dengan proses transisi dan adaptasi untuk penguatan kelembagaan internal. Mungkin baru di tahun ketiga akan terlihat terobosan untuk menaikkan penerimaan. Namun, proses adaptasi mesti berjalan baik jika ingin memperbaiki kinerja penerimaan dalam jangka menengah,” kata Eko.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pengelolaan risiko fiskal mesti tetap dijaga agar APBN tetap sehat. Salah satu caranya dengan mengumpulkan penerimaan negara yang lebih efektif disertai belanja yang lebih efisien.
“Kita harus melakukan pembiayaan inovatif untuk menjaga pengelolaan risiko fiskal ke depan,” katanya.
Lebih lanjut, ia menegaskan, sesuai arahan Presiden Jokowi, setiap kementerian/lembaga mesti mendesain rencana kerja dengan tetap memasukkan visi-misi serta arah kebijakan dan program presiden terpilih berikutnya.
“Ini menjadi tugas K/L untuk memastikan adanyacontinuity pembangunan. Saat menyusun RKP dan pokok-pokok kebijakan fiskal, kita tetap mesti memperhatikan secara seksama apa yang menjadi arah kebijakan dan program presiden terpilih,” katanya.
Tidak perlu lagi tim transisi karena (pemerintahan baru) ini kan berkelanjutan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RKP 2025 sudah seluruhnya memasukkan rencana kebijakan pemerintahan baru. Oleh karena itu, proses perumusan arah kebijakan ke depan tidak akan membutuhkan tim transisi seperti saat pergantian kepemimpinan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi pascapemilu 2014.
Pembicaraan lebih detail mengenai rencana kerja pemerintahan ke depan akan dilanjutkan setelah KPU menetapkan pemenang Pemilu 2024 pada 24 April 2024. “Sesudah diputuskan oleh KPU, secara resmi akan ada rapat-rapat lanjutan. Tidak perlu lagi tim transisi karena (pemerintahan baru) ini kan berkelanjutan. Seluruhnya sudah masuk dalam postur APBN,” kata Airlangga.