BI Hadapi Dilema Kebijakan Suku Bunga
Suku bunga acuan yang tinggi dan pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memengaruhi penyaluran kredit perbankan.
JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan nilai tukar rupiah yang cenderung terus berlanjut membuat posisi Bank Indonesia dilematis dalam mengambil kebijakan suku bunga. Menaikkan suku bunga akan membantu memperkuat nilai tukar rupiah. Namun, langkah ini berisiko mengerem laju pertumbuhan ekonomi pada 2024.
Pekan ini, Bank Indonesia (BI) menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) rutin membahas mengenai dinamika perekonomian global dan domestik. Berdasarkan hasil kajian dalam RDG sebelumnya, BI masih mempertahankan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 6 persen selama lima bulan berturut-turut sejak Oktober 2023.
Baca juga: IMF: Jangan Mengekor The Fed, Bank Sentral Sebaiknya Fokus Inflasi Domestik
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ketidakpastian di pasar keuangan global saat ini masih terbilang sangat tinggi dan dapat berubah drastis dengan cepat. Kondisi geopolitik di Timur Tengah dan antisipasi rilis beberapa data di AS pun menjadi sangat penting dibahas dalam RDG BI pada 23-24 April 2024 ini.
Jika kondisi global cenderung memburuk diiringi peningkatan permintaan instrumen investasi yang aman, Josua melanjutkan, akan ada aksi dari sebagian investor untuk menghindari risiko (risk-off ) secara berkepanjangan. Hal ini akan membuat rupiah terus-menerus melemah sekalipun BI tetap melakukan intervensi.
”Memang ada ruang bagi BI untuk menaikkan BI rate. Kami melihat peningkatan BI rate sebagai opsi terakhir BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (23/4/2024).
Merujuk data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada penutupan pasar, Selasa (23/4/2024), rupiah kembali ditutup melemah di level Rp 16.244 per dollar AS atau terdepresiasi 20 basis poin dibandingkan penutupan sebelumnya. Selama enam hari perdagangan berturut-turut, rupiah masih berfluktuasi di atas level Rp 16.000 per dollar AS.
Pelemahan rupiah tersebut disebabkan oleh faktor eksternal, yakni risiko suku bunga tinggi di AS dalam waktu yang lama dari ekspektasi awal sehingga memicu sentimen risk-off. Kondisi tersebut disebabkan oleh data indikator ekonomi AS yang membuat bank sentral AS (The Fed) menunda penurunan suku bunga acuan.
Baca juga: Survei Reuters: Mayoritas Ekonom Perkirakan Suku Bunga The Fed Turun Per September
Sementara itu, faktor internal yang menyebabkan pelemahan rupiah adalah peningkatan permintaan valuta asing secara musiman setiap triwulan kedua. Permintaan musiman ini, antara lain, untuk pembayaran pokok utang, dividen, dan kupon ke nonresiden.
Josua menilai, BI masih memiliki amunisi yang cukup kuat untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing (valas) mengingat cadangan devisa masih relatif tinggi. Namun, optimalisasi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) kiranya perlu dilakukan guna memperkuat posisi cadangan devisa.
Hal ini mengingat surplus perdagangan pada Maret 2024 yang kembali naik di atas 4 miliar dollar AS atau tertinggi sejak Februari 2023 belum berdampak signifikan di pasar valas Indonesia. Artinya, tidak semua surplus masuk ke sistem keuangan Indonesia sehingga optimalisasi kebijakan DHE menjadi salah satu opsi yang dapat digunakan sebelum menaikkan suku bunga acuan.
Menurut Josua, BI dapat meredam tekanan faktor eksternal dengan menaikkan suku bunga acuan. Hal ini karena selisih imbal hasil instrumen keuangan domestik dengan negara lain semakin lebar sehingga dapat menjadi daya tarik bagi para investor.
Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan di dalam negeri dapat menyebabkan beban imbal hasil instrumen keuangan domestik meningkat dan menjadi beban bagi penerbit surat utang (issuers). Selain itu, kenaikan suku bunga juga dapat bertransmisi ke kenaikan suku bunga kredit.
Hal ini akan mengakibatkan biaya pinjaman meningkat yang berujung pada tertahannya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Untuk RDG BI pada April 2024, kami melihat BI akan cenderung masih mempertahankan BI-Rate pada level 6 persen,” ujar Josua.
Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Ryan Kiryanto juga memperkirakan BI Rate tetap dipertahankan pada level 6 persen. Hal ini karena faktor geopolitik eksternal yang sejauh ini tidak mendukung bank sentral melonggarkan kebijakannya.
Apalagi, The Fed juga masih menunda penurunan suku bunga acuannnya. Eksekusinya diproyeksikan pada September 2024. Tidak menutup kemungkinan pula eksekusinya pada 2025. Bahkan, apabila inflasi AS masih sulit dikendalikan alias di atas target 2 persen sampai dengan akhir 2024, The Fed berpotensi menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,5-5,75 persen.
Baca juga: Era Suku Bunga Tinggi Berlanjut, Perbankan Pertimbangkan Penyesuaian
Selain itu, level suku bunga acuan di Eropa rata-rata masih berkisar 4,5-5,5 persen lantaran target inflasi 2 persen masih belum tercapai. ”Untuk kepentingan melanjutkan upaya stabilisasi ekonomi dan moneter di dalam negeri, yaitu inflasi terkendali dan stabilitas nilai tukar rupiah, pilihan terbaik yang tersedia: pertahankan BI-Rate,” ujar Ryan.
Ryan menambahkan, jika The Fed menaikkan bunga acuan dan inflasi di Indonesia cenderung naik mendekati 3,5-4 persen, BI memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuan. Namun, dalam jangka pendek, langkah mempertahankan suku bunga acuan pada level 6 persen merupakan langkah yang beralasan, presisi, dan antisipatif.
Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan, Selasa (23/4/2024), mengatakan, tingginya tingkat suku bunga berpotensi mengakibatkan pertumbuhan kredit melambat. Oleh sebab itu, ia berharap kepada otoritas dan regulator terkait dapat mengambil keputusan yang tepat.
”Kami percaya pemerintah dan regulator akan mengambil keputusan terbaik. Apabila suku bunga tetap tinggi dan juga jika nilai tukar rupiah tetap lemah, diperkirakan pertumbuhan loan (kredit) akan melambat. Ini yang harus diantisipasi oleh perbankan,” katanya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit oleh industri perbankan pada Februari 2024 tumbuh 11,28 persen secara tahunan menjadi Rp 7.095 triliun. Secara bulanan, penyaluran kredit pada Februari 2024 tumbuh 0,52 persen atau lebih rendah dibanding Februari 2023 yang tumbuh 1,02 persen.
Penyaluran kredit oleh industri perbankan pada Februari 2024 tumbuh 11,28 persen secara tahunan menjadi Rp 7.095 triliun.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Jahja Setiaatmadja mengharapkan kebijakan BI dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ini penting saat The Fed memberikan sinyal akan menunda penurunan suku bunga acuan di AS. ”(Harapannya) agar kurs rupiah dapat dikawal dengan baik,” ujarnya.
Dalam konferensi pers, Senin (22/4/2024), Jahja menjelaskan, kemungkinan besar The Fed tidak akan menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat. Hal ini mengakibatkan negara-negara lain, termasuk Indonesia, tidak akan menurunkan suku bunga acuannya sebelum adanya kepastian dari The Fed lantaran berisiko memperlemah nilai tukar.
Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn menambahkan, pergerakan suku bunga The Fed tentunya akan berdampak terhadap suku bunga BI. Namun, hal ini akan sangat bergantung pada berbagai faktor lain, antara lain, perbedaan tingkat suku bunga AS dan Indonesia, tren arus modal global, dan nilai tukar mata uang.
”BCA senantiasa mencermati perkembangan suku bunga Bank Indonesia serta dinamika makroekonomi dan kondisi likuiditas sektor perbankan dalam menentukan kebijakan suku bunga ke depan baik di sisi kredit maupun deposito. Kami berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif di tahun 2024 sehingga mendukung pertumbuhan kredit dan pendanaan perbankan nasional,” kata Hera.
Baca juga: Pelaku Pasar Modal Antisipasi Kebijakan Moneter BI
Sementara itu, Presiden Direktur CIMB Niaga Finance (CNAF) Ristiawan Suherman berpendapat, kenaikan suku bunga untuk menahan nilai tukar rupiah dapat berdampak pada kenaikan beban pendanaan. Hal ini akan turut menyebabkan daya beli masyarakat menurun.
Lebih lanjut, pergerakan nilai tukar rupiah saat ini mengkhawatirkan lantaran masih tidak stabil dan cenderung melemah. Apabila nanti suku bunga dinaikkan, laju perekonomian masyarakat akan terhambat.
”Sampai saat ini, pergerakan nilai tukar masih belum berdampak terhadap harga mobil sehingga diharapkan dengan suku bunga yang stabil atau tetap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya industri pembiayaan,” tuturnya.