Asa Indonesia Jadi Tumpuan Rantai Pasok Kendaraan Listrik Global
Indonesia memiliki peluang besar untuk terlibat secara aktif dalam rantai pasok global kendaraan listrik.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum adanya satu pun negara di dunia yang mampu memenuhi keseluruhan elemen ekosistem kendaraan listrik secara mandiri, membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat terlibat lebih jauh dalam rantai pasok kendaraan listrik global.
Kepala Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Umi Mu’awanah mengatakan, selain Indonesia, di kawasan ASEAN saat ini sudah ada Vietnam, Thailand, dan Malaysia yang telah memiliki basis produksi industri kendaraan listrik. Namun, dibandingkan ketiga negara lainnya, Indonesia lebih unggul dalam ketersediaan bahan baku.
Dari sisi produksi, Indonesia punya kekayaan sumber daya alam nikel yang merupakan bahan baku baterai. ”Produsen kendaraan listrik global bisa mendapatkan kepastian bahan baku produksi dari Indonesia,” ujarnya dalam simposium mini yang dilaksanakan BRIN bertajuk ”Tantangan Ekosisitem Mobil Listrik di Indonesia”, di Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Produksi mobil listrik di dalam negeri, lanjut Umi, berpotensi bisa lebih efisien karena bahan baku baterai seperti tembaga dan nikel mudah diperoleh dari dalam negeri. Efisiensi produksi ini bisa meningkatkan daya saing Indonesia sebagai produsen mobil listrik.
Namun, pada kenyataannya saat ini harga jualnya masih relatif mahal untuk konsumen Indonesia. Di pasar Indonesia, mobil yang laku keras memiliki harga di bawah Rp 300 juta per unit. Sementara harga mobil listrik dari berbagai merek kebanyakan masih di atas Rp 700 juta.
”Fenomena harga mobil listrik yang lebih mahal daripada mobil berbahan bakar ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia,” kata Umi.
Peneliti di Pusat Riset Ekonomi Industri Jasa dan Perdagangan BRIN, Rendi Febrianda, menilai pemerintah dapat menekan peningkatan biaya produksi kendaraan listrik, yakni lewat kebijakan hilirisasi yang berkelanjutan. Pasalnya, kenaikan permintaan logam dapat dengan mudah meningkatkan biaya produksi kendaraan listrik.
Ia mengilustrasikan, kebutuhan logam kendaraan konvensional terdiri dari aluminium dan baja, sedangkan kendaraan listrik membutuhkan pasokan litium, tembaga, dan nikel untuk baterai. ”Peningkatan permintaan akan berimbas pada kenaikan harga, oleh karena itu hilirisasi harus berjalan kontinu,” ujarnya.
Kendati harga kendaraan listrik relatif lebih mahal, berkaca dari permintaan di pasar domestik, minat masyarakat Indonesia terhadap mobil listrik tumbuh secara konsisten dan signifikan, tecermin lewat serapan pasar yang melonjak dari 700 unit pada 2021, lalu 10.000 unit pada 2022, dan menjadi 17.000 unit pada 2023.
Permintaan domestik
Di pasar dalam negeri, kesiapan infrastruktur juga harus terus ditingkatkan untuk memacu permintaan masyarakat terhadap kendaraan listrik. Umi mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang saat ini tengah fokus membangun pasar kendaraan listrik domestik dengan membangun persepsi publik terkait keuntungan dan urgensi beralih ke kendaraan listrik.
”Tugas utama pemerintah adalah membuat payung hukum serta memberikan insentif kepada sektor bisnis dan masyarakat, serta membangun infrastruktur pendukung kendaraan listrik, seperti fasilitas stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU),” kata Umi.
Rangsangan insentif untuk mendorong populasi mobil listrik juga dirilis pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).
Perpres yang diundangkan pada 9 Desember 2024 memberikan sejumlah insentif perpajakan, yakni insentif fiskal keringanan pajak bea masuk impor, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan pengurangan pajak daerah untuk KBLBB. Ini berlaku untuk impor mobil dalam keadaan utuh (completely built up/CBU) dan mobil yang diimpor dalam keadaan komponen (completely knock down/CKD) dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di bawah 40 persen.
Terkait pembangunan SPKLU, Director Retail and Commerce PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Edi Srimulyanti menyampaikan, sampai saat ini perseroan sudah mengoperasikan SPKLU sebanyak 1.299 titik dan stasiun pengisian listrik umum (SPLU) sebanyak 9.600 titik di berbagai tempat Indonesia.
Hingga akhir 2024, PLN berencana menambah 3.000 titik SPKLU. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.000 titik SPKLU akan dipasang di atas tanah, sedangkan 2.000 titik akan dipasang atau ditempel di tiang listrik. PLN sudah melakukan uji coba pemasangan SPKLU di tiang listrik, salah satunya dengan prototipe di lingkungan Sekolah Dasar Yasporbi I, Jakarta Selatan.
Perlu edukasi lebih luas lagi mengenai perbedaan mengemudi mobil listrik dengan mobil konvensional.
”Untuk mendongkrak minat investasi pengembangan SPKLU dan SPLU, PLN mengajak kerja sama dengan mitra melalui penawaran diskon perubahan daya listrik sebesar 50 persen. Dengan begitu, pihak mitra bisa lebih leluasa memasang fasilitas SPKLU dan SPLU,” ujar Edi.
Selain itu, lanjut dia, masyarakat yang memiliki kendaraan listrik juga bisa mendapat diskon 30 persen penggunaan listrik untuk pengisian daya baterai pada pukul 22.00 sampai pukul 05.00. ”Insentif seperti ini penting agar ekosistem kendaraan listrik dapat berkembang cepat,” tambah Edi.
Adaptasi teknologi
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara mengatakan, selain harga kendaraan listrik relatif lebih mahal ketimbang kendaraan konvensional, terdapat tantangan pengadaptasian teknologi yang menahan laju penetrasi ekosistem mobil listrik pasar kendaraan di Indonesia.
Menurut dia, setelah bertahun-tahun mengemudi mobil berbahan bakar, tentu butuh penyesuaian konsumen untuk beralih ke kendaraan listrik. Ada kebiasaan baru yang berubah seperti tak lagi mengisi bensin mobil, tetapi mengisi daya listrik kendaraan. Selain itu, perlu edukasi lebih luas lagi mengenai perbedaan mengemudi mobil listrik dengan mobil konvensional.
Sementara itu, dari sisi produsen mobil, pabrikan harus menyiapkan sistem manufaktur mobil yang baru. Pabrikan perlu menyiapkan bahan baku produksi mobil listrik, seperti baterai yang menjadi berkisar 40-60 persen dari total komponen. Mereka perlu terus berinovasi untuk menciptakan kendaraan yang bisa diandalkan dan lebih terjangkau.
”Mengingat harganya yang relatif lebih mahal dan menggunakan teknologi yang baru mobil listrik di Indonesia kebanyakan bukan dibeli konsumen yang baru pertama kali membeli mobil. Padahal, pasar dari first time buyer ini juga besar,” ujarnya.