Pengusaha Nilai Keputusan BI Menaikkan Suku Bunga Tak Ideal
Kenaikan suku bunga akan diikuti oleh kenaikan bunga perbankan. Hal ini menekan sektor riil yang butuh bunga murah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha menilai keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan tidak ideal bagi dunia usaha dan membuat mereka semakin tertekan. Pasalnya, kenaikan suku bunga akan diikuti oleh naiknya bunga pembiayaan perbankan. Hal ini bakal menekan sektor riil yang membutuhkan suku bunga murah agar bisa mengambil kredit dengan bunga terjangkau.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) April 2024 pada Rabu (24/4/2024) memutuskan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 6,25 persen untuk meredam depresiasi rupiah.
Merespons keputusan ini, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W Kamdani mengatakan, kendati memahami maksud BI, kebijakan ini tidak ideal bagi pelaku usaha. ”Kebijakan ini memang tidak ideal bagi pelaku usaha karena berpotensi semakin menambah beban usaha dan melemahkan perluasan kinerja usaha,” katanya, Rabu.
Kenaikan suku bunga acuan BI, lanjutnya, biasanya akan diikuti oleh kenaikan bunga kredit perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya. Hal ini bisa menekan permintaan kredit dari dunia usaha lantaran besaran bunga kredit kian mahal.
Menurut Shinta, kebijakan kenaikan suku bunga acuan perlu menjadi upaya terakhir dan sebaiknya tidak dilakukan terlalu sering. Sebab, suku bunga pinjaman kredit di Indonesia menjadi tidak kompetitif dengan negara lain di kawasan.
”Sebisa mungkin beban-beban kegiatan usaha itu diringankan agar kian efisien, bukan malah ditambahkan,” ujar Shinta.
Namun, menurut Shinta, pihaknya melihat kenaikan suku bunga ini sebagai kebijakan yang diambil sebagai upaya pemerintah menciptakan stabilitas nilai tukar secara lebih cepat. Khususnya karena melihat tren depresiasi rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir yang kian mengkhawatirkan. Ia pun berharap nilai tukar rupiah bisa segera stabil untuk menopang kegiatan dunia usaha.
Pendapat senada disampaikan Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani. Menurut dia, kenaikan suku bunga ini menjadi disinsentif bagi dunia usaha dan perekonomian Indonesia. Dengan kebijakan moneter yang cukup agresif ini, setidaknya ada tiga hal yang akan menjadi tantangan.
Pertama, kebijakan perbankan yang cenderung akan menaikkan suku bunga kredit sehingga di sektor usaha akan mengalami kenaikan beban biaya. Hal ini bakal mendorong kenaikan harga pokok penjualan (HPP) atas produksi. Inilah hal pertama yang perlu dimitigasi, yaitu timbulnya inflasi karena kenaikan harga pokok produksi atau cost push inflation.
Hal kedua adalah pelemahan daya beli masyarakat. Dengan semakin sedikitnya likuiditas dan potensi kenaikan harga barang, daya beli masyarakat akan tertekan. Apalagi, pemerintah mempunyai ruang fiskal yang relatif terbatas untuk menopang daya beli masyarakat dengan skema bantuan sosial (bansos).
Tantangan ketiga adalah pelambatan ekonomi. Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup bagus pascapandemi karena bisa di atas 5 persen. Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi ini sedang menghadapi masalah, yaitu tren yang menurun.
Tahun 2022 pertumbuhan ekonomi secara agregat mencapai 5,31 persen dan tahun 2023 mencapai 5,05 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan meningkat pada tahun 2024 sehingga pemerintah membuat proyeksi pertumbuhan di angka 5,2 persen. Ketika pemerintah membuat kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan, semakin tidak mudah mencapai pertumbuhan yang diharapkan.
Di luar perkiraan
Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto mengatakan, keputusan menaikkan suku bunga acuan itu di luar perkiraan banyak ekonom dan dunia usaha.
Ia menjelaskan, sebulan terakhir memang terjadi tren pelemahan rupiah dan telah menembus batas psikologis Rp 16.000 per dollar AS. Titik tekan yang menjadi dasar pertimbangan kenaikan suku bunga adalah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global. Selain itu untuk memastikan inflasi tetap sesuai target 1,5-3,5 persen pada 2024 dan 2025.
”Dengan kata lain, stance kebijakan moneter BI yang mengedepankan stabilitas menjadi prioritas utama di tengah meningkatnya risiko geopolitik global saat ini ketimbang mendorong pertumbuhan,” ucap Ryan.
Namun, lanjut Ryan, BI masih memiliki sejumlah instrumen lain yang bisa digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti kebijakan makroprudensial dan lain-lain.
Sementara itu, dari kalangan perbankan, Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Teuku Ali Usman mengatakan, kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan merupakan langkah pre-emptive dan ahead the curve untuk memastikan stabilitas ekonomi dan pasar keuangan tetap terjaga di tengah risiko global yang meningkat.
Risiko ini, ujarnya, termasuk konflik geopolitik di Timur Tengah dan potensi tertundanya kemungkinan penurunan tingkat suku bunga Amerika Serikat atau Fed fund rate (FFR). ”Dalam hal ini, kami menilai terjaganya stabilitas keuangan sangat penting bagi sektor keuangan, khususnya perbankan dan ekonomi secara makro, agar dapat menerapkan strategi yang lebih baik dan prudent, di tengah berbagai ketidakpastian dan fluktuasi global,” ungkapnya.