Respons Kenaikan BI Rate, Stimulus Dibutuhkan
Dibutuhkan stimulus kebijakan fiskal kepada sektor-sektor yang terdampak kenaikan suku bunga acuan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjawab pertanyaan wartawan dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6,25 persen, Rabu (24/4/2024), berpotensi memberikan tekanan terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, pemerintah kiranya dapat memberikan stimulus terhadap sektor riil yang sensitif terhadap suku bunga acuan.
Keputusan BI menaikkan suku bunga acuan tersebut diambil setelah BI mempertahankan suku bunga acuannya sebesar 6 persen selama lima bulan berturut-turut sejak kenaikan terakhirnya sebesar 25 bps pada Oktober 2023 lalu.
Kebijakan ini ditempuh dengan mempertimbangkan faktor potensi risiko ketidakpastian global seiring ekspektasi mundurnya pemangkasan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), dan memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah. Akibatnya, investor portofolio berbondong-bondong memindahkan modalnya menuju instrumen keuangan yang lebih likuid (safe heaven), seperti dollar AS dan emas.
Baca juga: BI Naikkan Suku Bunga Acuan ke 6,25 Persen
Senior Economist PT Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berpendapat, kenaikan BI Rate akan membawa dampak terhadap perekonomian nasional. Dengan kata lain, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5 persen tidak akan terwujud dan diperkirakan sekitar 4,8 persen.
”(Pemerintah) harus realistis sekarang. Mana dulu yang akan diprioritaskan, apakah pertumbuhan ekonomi atau stabilitas? Tidak bisa dua-duanya,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Kondisi tersebut layaknya konsep trilema ekonomi internasinal (immposibletrinity) yang menyatakan, sebuah negara mustahil menerapkan kebijakan stabilitas nilai tukar, keterbukaan arus modal, dan kebijakan moneter yang independen secara bersamaan. Namun, dalam kasus ini, ketiga kebijakan itu adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas rupiah, dan suku bunga rendah.
Menurut Fithra, kebijakan moneter suku bunga yang ditempuh guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dengan suku bunga yang rendah membuat stabilitas tidak terwujud.
Oleh sebab itu, apabila Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, niscaya stabilitas menjadi fondasi utamanya. Jika stabilitas tidak terjaga, basis pertumbuhan akan rapuh.
Dari hal-hal tersebut, BI Rate sebenarnya tidak perlu dinaikkan. Akan tetapi, mungkin BI memiliki pertimbangan jangka panjang. Tidak ada yang tahu konflik geopolitik dan kondisi perekonomian AS ke depan.
Dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan, kata Fithra, pemerintah perlu mengidentifikasi sektor-sektor mana saja yang akan terdampak atau sensitif terhadap kenaikan suku bunga acuan, terutama sektor riil. Beberapa sektor tersebut antara lain infrastruktur, penjualan otomotif, dan ritel.
”Dibutuhkan counter policy dari sisi fiskal saat ada kebijakan moneter seperti ini. Sektor UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), misalnya, jangan sampai kenaikan suku bunga ini mengakibatkan gagal bayar meningkat sehingga rasio NPL perbankan turut meningkat,” ujarnya.
Baca juga: Siap-siap Ekonomi Biaya Tinggi pada 2024
Pertimbangan jangka panjang
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu menambahkan, pelemahan rupiah selama beberapa waktu terakhir memang dapat berdampak ke berbagai lini, terutama inflasi akibat impor (imported inflation) yang pada gilirannya turut mengorbankan perekonomian. Meski demikian, upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah tidak hanya ditempuh dengan menaikkan suku bunga acuan.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan untuk tidak menaikkan BI Rate antara lain meredanya ketegangan konflik geopolitik di Timur Tengah dan pelemahan indeks dollar AS terhadap mata uang utama (DXY) seiring data purchasing manager indeks (PMI) AS yang turun. Dari sisi domestik, neraca perdagangan kembali mencatatkan surplus yang bahkan di atas ekspektasi.
Baca juga: Rupiah Tembus Rp 16.240, Terbuka Dua Opsi Kebijakan Moneter
Selain itu, cadangan devisa per Maret 2024 tercatat 140,4 miliar dollar AS atau masih berada di atas ambang batas standar internasional. Dengan demikian, BI masih memiliki bekal intervensi yang memadai guna stabilisasi nilai tukar rupiah.
”Dari hal-hal tersebut, BI Rate sebenarnya tidak perlu dinaikkan. Akan tetapi, mungkin BI memiliki pertimbangan jangka panjang. Tidak ada yang tahu konflik geopolitik dan kondisi perekonomian AS ke depan. Oleh sebab itu, BI mengantisipasi berbagai potensi risiko tersebut,” tutur Fithra.
Dalam jangka panjang, kenaikan BI Rate juga dapat menjadi langkah antisipasi potensi melebarnya defisit transaksi berjalan pada akhir 2024. BI memperkirakan, transaksi berjalan akan mengalami defisit 0,1-0,9 persen pada 2024.
Baca juga: Pengusaha Nilai Keputusan BI Menaikkan Suku Bunga Tak Ideal
Perbankan tetap waspada
Sejak BI Rate bertahan pada level 6 persen, industri perbankan diminta untuk terus memperhatikan kondisi perekonomian domestik, seperti laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan ekspektasi suku bunga ke depan. Dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ikut memastikan likuiditas perbankan memadai dan mampu memitigasi potensi risiko di tengah kondisi higher for longer.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, industri perbankan harus waspada terhadap risiko pasar terkait dengan nilai tukar dan suku suku bunga. Penguatan dollar AS serta potensi kenaikan imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) dapat berdampak terhadap portofolio bank.
”Kenaikan suku bunga BI yang terjadi sejak Juli 2022 telah mendorong peningkatan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Apabila BI kembali menaikkan BI Rate, bank juga secara perlahan akan menyesuaikan, baik suku bunga DPK maupun kredit. Bank tentu akan mempertimbangkan kondisi likuiditas dan permintaan kredit ke depan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Sejalan dengan pertumbuhan kredit yang terus meningkat, tambahan likuiditas dari KLM diprakirakan dapat mencapai Rp 115 triliun pada akhir tahun 2024 sehingga total insentif yang diberikan menjadi Rp 280 triliun.
Dian menilai, kondisi likuiditas industri perbankan masih cukup memadai dilihat dari rasio penyaluran kredit dibandingkan dengan dana masyarakat dan modal bank (loan to deposit ratio/LDR). OJK mencatat, LDR perbankan pada Februari 2024 sebesar 84,05 persen dan dalam kondisi ekonomi yang melonjak LDR dapat mencapai 92 hingga 94 persen.
Ketersediaan likuiditas juga tecermin dari tingginya rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 27,18 persen dengan pertumbuhan DPK per Maret 2024 sebesar 7,44 persen secara tahunan. Di sisi lain, penyaluran kredit pada triwulan I-2024 juga tumbuh 12,4 persen secara tahunan didorong oleh pertumbuhan kredit pada hampir seluruh sektor ekonomi.
Berdasarkan kelompok penggunaan, pertumbuhan kredit ditopang oleh kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi yang masing-masing tumbuh secara tahunan sebesar 14,83 persen, 12,30 persen, dan 10,22 persen. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan kredit 2024 diperkirakan terus meningkat dan berada pada kisaran 10-12 persen.
Meski demikian, lanjut Dian, industri perbankan tetap diminta untuk meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) secara memadai. Lebih lanjut, perbankan sebaiknya secara rutin melakukan uji ketahanan (stress test) guna mengukur permodalannya menghadapi potensi risiko.
Baca juga: Berbagai Sektor Industri Tertekan Depresiasi Rupiah
Upaya BI
Meski kebijakan moneter mengarah pada stabilitas (pro stability), BI turut menerapkan kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran yang mendukung pertumbuhan ekonomi (pro growth). Salah satunya melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, penguatan KLM dilakukan dengan mengoptimalkan insentif likuiditas yang tersedia dan memperluas cakupan sektor prioritas yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional. Penguatan KLM diarahkan dapat segera memberikan tambahan likuiditas perbankan sebesar Rp 81 triliun sehingga total insentif menjadi Rp 246 triliun.
”Sejalan dengan pertumbuhan kredit yang terus meningkat, tambahan likuiditas dari KLM diprakirakan dapat mencapai Rp 115 triliun pada akhir tahun 2024 sehingga total insentif yang diberikan menjadi Rp 280 triliun. BI akan terus memperkuat efektivitas implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif dengan sinergi kebijakan pemerintah, KSSK, perbankan, dan pelaku dunia usaha,” katanya dalam konferensi pers hasil RDG April 2024 secara daring, Rabu (24/4/2024)
Selain itu, BI turut menempuh kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan mengoptimalkan seluruh instrumen moneter yang tersedia, baik melalui intervensi di pasar valas secara spot dan DNDF maupun pembelian SBN dari pasar sekunder. Di sisi lain, ada juga instrumen untuk mendorong masuknya aliran modal portofolio asing, yakni Sekuritas Rupiah BI (SRBI), Sekuritas Valuta Asing BI (SVBI), dan Sukuk Valas BI (SUVBI).
Per 23 April 2024, posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp 393,66 triliun; 1,89 miliar dollar AS; dan 334 juta dollar AS. Penerbitan SRBI, misalnya, telah menarik aliran portofolio asing ke dalam negeri yang tecermin dari kepemilikan nonresiden Rp 71,55 triliun atau 18,18 persen dari total outstanding.
”BI juga terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE,” tuturnya.
Baca juga: BI Hadapi Dilema Kebijakan Suku Bunga