Pemerintah Kerahkan APBN untuk Redam Dampak Kenaikan Suku Bunga
Untuk menghadapi dampak rambatan kenaikan suku bunga acuan, program stimulus dan perlindungan sosial akan dipertajam.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Bank Indonesia untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan menjadi 6,25 persen demi menstabilkan nilai tukar rupiah bisa memunculkan tekanan ekonomi terhadap sektor riil dan daya beli masyarakat. Pemerintah akan mempertajam sejumlah kebijakan yang sudah ada di APBN untuk meredam dampak rambatan dari kebijakan pengetatan moneter itu.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa pemerintah sudah tidak asing lagi dengan gejolak ketidakpastian ekonomi selama beberapa tahun terakhir. Di setiap momen gejolak ekonomi itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu ”turun tangan” untuk menjadi peredam guncangan (shock absorber).
”Ketidakpastian yang sedang kita hadapi secara global ini sudah pernah kita alami juga sebelumnya. Sinergi yang sudah biasa kita lakukan antara kebijakan moneter dan fiskal kita perkuat untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” kata Febrio saat ditemui di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, hari Kamis (25/4/2024).
Kali ini, APBN akan kembali dikerahkan untuk meredam dampak rambatan dari kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Pada tanggal 24 April 2024, BI telah memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen. Terakhir kali, BI menaikkan suku bunga acuannya adalah pada Oktober 2023 ke 6 persen.
Febrio mengatakan, pemerintah saat ini sudah mempunyai berbagai instrumen kebijakan untuk meredam dampak guncangan ekonomi. Untuk menghadapi dampak rambatan dari kenaikan suku bunga acuan, kebijakan yang sudah ada dalam APBN akan dikalibrasi dan diperkuat.
Ia mencontohkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPNDTP) untuk sektor properti yang sudah digulirkan sejak tahun lalu. Kebijakan itu, ujarnya, mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 hingga bisa mencapai level 5,05 persen di tengah berbagai ketidakpastian.
”Jadi, untuk ke depan ini, kita tinggal memperkuat program-program yang sudah ada sekarang. Kebijakan yang sudah ada di dalam APBN yang sudah embedded itu yang kita pertajam dan perkuat agar lebih efektif menjaga momentum pertumbuhan,” katanya.
Untuk menghadapi dampak rambatan dari kenaikan suku bunga acuan, kebijakan yang sudah ada dalam APBN akan dikalibrasi dan diperkuat.
Saat ditanyakan contoh kebijakan apa saja yang akan dipertajam untuk memitigasi dampak kenaikan suku bunga, Febrio tidak mengelaborasi. Namun, ia memastikan, roda ekonomi dan daya beli masyarakat, khususnya kelompok rentan dan miskin, tidak akan terganggu.
”Kebijakan itu tidak harus selalu baru, jadi ini bukan masalah perlu kebijakan baru atau lama. Yang pasti, APBN sifatnya akan shock absorbing, masyarakat menengah ke bawah akan selalu mendapat bantuan sosial sehingga dampak yang nanti terjadi di masyarakat bisa kita antisipasi. Kalaupun, misalnya, nanti kita menghadapi gejolak harga (sebagai imbas kenaikan suku bunga), masyarakat miskin dan rentan akan terjaga,” ujar Febrio.
Memantau ruang fiskal
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan memantau ada tidaknya ruang fiskal untuk memberikan insentif baru dalam memitigasi dampak kenaikan suku bunga.
”Nanti kita akan lihat fiscal space apa yang bisa kita berikan untuk insentif ke depan, tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (mengenai hasil pemilihan presiden), sudah ada kepastian di pasar sehingga kita harapkan investasi bisa terus didorong,” kata Airlangga.
Pada prinsipnya, Airlangga dan Febrio sama-sama menilai kebijakan pengetatan moneter oleh BI dibutuhkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tren pelemahan rupiah akibat kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Keputusan menaikkan suku bunga acuan disebut sebagai ”mekanisme pertahanan” yang mesti dilakukan negara berkembang di tengah ketidakpastian saat ini.
Menurut Airlangga, fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya masih relatif stabil untuk menahan dampak pelemahan rupiah. Hal itu tampak dari surplus neraca perdagangan Maret 2024 yang masih terjaga untuk 47 bulan secara berturut-turut sehingga keseimbangan atas permintaan dan pasokan dollar AS di dalam negeri tetap tercapai.
Namun, tidak ada yang tahu seperti apa arah kebijakan moneter AS ke depan serta dinamika eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah. Oleh sebab itu, mau tidak mau Indonesia juga tetap harus melakukan langkah pengetatan untuk mencegah keluarnya arus modal dari pasar keuangan dalam negeri (capital flight).
”Amerika membuat strategi higher for longer (kenaikan suku bunga untuk waktu lama) untuk melawan inflasi mereka. Dampaknya memang untuk negara seperti Indonesia itu bisa menarik modal keluar. Jadi, defense mechanism yang dilakukan BI sudah dalam koridor yang pas,” ujar Airlangga.
Nanti kita akan lihat ’fiscal space’ apa yang bisa kita berikan untuk insentif ke depan.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai, ada tiga hal yang perlu dimitigasi oleh pemerintah sebagai dampak dari naiknya suku bunga acuan BI. Pertama, timbulnya inflasi karena kenaikan harga pokok produksi atau cost push inflation yang didorong oleh kenaikan suku bunga kredit usaha.
Kedua, pelemahan daya beli masyarakat akibat adanya potensi kenaikan harga barang. Ketiga, perlambatan ekonomi yang bisa membuat target pertumbuhan 5,2 persen sulit dicapai.
”Dengan kebijakan moneter yang cukup agresif seperti ini, pemerintah perlu membuat program dan kebijakan yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang untuk mengendalikan inflasi. Sebab, kenaikan tingkat suku bunga acuan secara umum pasti akan menimbulkan dampak tantangan ekonomi,” katanya.