Pelaku dan Pemerhati Wisata Kritik Pencabutan Status Internasional di 17 Bandara
Dalam perspektif pariwisata, keputusan pemerintah merampingkan 17 bandara internasional dianggap merugikan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di samping sejumlah dukungan bagi pemerintah yang merampingkan status bandara internasional dari 34 bandara menjadi 17 bandara, pelaku usaha pariwisata justru menyampaikan kritik. Sebab, tak hanya industri pariwisata yang terganggu, tetapi kargo barang pun terpengaruh.
Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Soeharno berpendapat, tidak ada persoalan dengan pencabutan status internasional pada beberapa bandara. Sebab, pelaku perjalanan internasional memiliki opsi bandara lainnya.
Ini, misalnya, berlaku untuk Bandara Husein Sastranegara di Bandung yang memiliki alternatif Bandara Kertajati, Majalengka. Hal serupa terjadi pada Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, yang memiliki alternatif Bandara Internasional Yogyakarta.
Namun, pencabutan status internasional pada beberapa bandara lainnya menjadi masalah. Sebab, pelaku perjalanan internasional harus mengakses pesawat ke bandara yang jaraknya jauh. Persoalan lain adalah bahwa bandara itu menjadi simpul akses ke sejumlah lokasi wisata di daerah setempat dan sekitarnya.
”Tapi, yang mengagetkan seperti Pontianak (Kalimantan Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan Belitung (Kepulauan Bangka Belitung) yang notabene memiliki potensi pariwisata dan ekonomi,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (30/4/2024).
Pauline melanjutkan, tiket pesawat domestik masih tergolong tinggi. Di samping itu, belum seluruh wilayah memiliki infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya yang memadai. Akibatnya, belum seluruh wilayah terjangkau.
”Bayangkan kalau dari Kuala Lumpur (Malaysia) mau ke Semarang, berarti harus via Yogyakarta atau Jakarta, artinya perlu memakan waktu beberapa jam untuk beperjalanan darat dan kereta api. Transportasi kita belum sepenuhnya terintegrasi,” kata Pauline yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Selain itu, Pauline menambahkan, urusan kargo juga terpengaruh. Tak ada lagi ruang khusus, imigrasi, dan karantina (CIQ) untuk bandara yang status internasionalnya dicabut. Sebab, persyaratan kirim dan terima barang kargo harus melalui tahap bea cukai dan karantina.
Ia berharap pemerintah mendorong bandara-bandara untuk ikut mempromosikan pariwisata dan daya tarik daerah masing-masing. Hal ini telah dilakukan sejumlah bandara besar di luar negeri, antara lain Bandara Auckland (Selandia Baru), Bandara Munich (Jerman), dan Bandara Changi (Singapura).
Peneliti Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sotya Sasongko, menyatakan, penting mempertahankan status internasional pada sejumlah bandara demi pemerataan wisatawan. Ini juga penting untuk memberikan kemudahan bagi wisatawan mancanegara.
Dua di antaranya adalah Bandara Adi Soemarmo (Jawa Tengah) serta Bandara Raja Sisingamangajara XII atau Silangit (Sumatera Utara). Ada pula Bandara Juwata (Kalimantan Utara).
”Bandara Silangit ini sebenarnya memudahkan wisatawan, biayanya lebih murah daripada melalui Kualanamu (Sumatera Utara) atau Soekarno-Hatta (Banten), kan, jauh. Kalau dari Banten harus menginap semalam karena enggak ada penerbangan langsung,” ujarnya.
Sotya menambahkan, Bandara Juwata di Tarakan juga berpotensi membawa wisatawan dari Sarawak di Malaysia dan Filipina. Bandara ini berperan menghubungkan wisata perbatasan yang tak hanya untuk kegiatan komersial, tetapi juga mempromosikan wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Penarikan CIQ untuk efisiensi merupakan alasan operasional. Namun, dari perspektif pariwisata, ini merugikan dan tak efektif menggenjot pergerakan wisatawan domestik.
Kontradiksi kebijakan
Mantan Duta Besar RI untuk Jepang Yusron Ihza Mahendra menyayangkan keputusan pemerintah atas pencabutan status internasional pada 17 bandara di Indonesia. Ia menilai kebijakan itu bertentangan dengan kebijakan yang telah ada, antara lain mendorong terciptanya ”10 Bali Baru” melalui pengembangan bandara-bandara internasional.
”Saya kaget membaca berita itu (pencabutan status bandara), terutama terkait dampaknya terhadap pariwisata nasional dan perekonomian nasional kita,” ujarnya secara tertulis.
Kebijakan itu bertentangan dengan kebijakan yang telah ada, antara lain mendorong terciptanya ’10 Bali Baru’ melalui pengembangan bandara-bandara internasional.
Menurut Yusron, Keputusan Menteri (KM) Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional dinilai tak selaras dengan upaya pemerintah menggenjot industri pariwisata. Padahal, industri ini diharapkan menjadi lokomotif perekonomian nasional. Artinya, aturan itu bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang dibuat pemerintah sendiri.
”Saya akan bertanya secara baik-baik kepada pemerintah tentang logika atau latar belakang keputusan menteri itu,” katanya.
Yusron dan para koleganya tengah berupaya menarik wisatawan Asia Timur, terutama Jepang dan Korea Selatan, ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kini, mereka kebingungan atas pemangkasan jumlah bandara internasional yang berisiko mengurangi daya tarik wisatawan berkunjung.
Apabila pemangkasan bandara internasional dirasa lebih menguntungkan perusahaan penerbangan asing, seharusnya cara meningkatkan daya saing Indonesia bisa dipikirkan. Sebaliknya, bukan menutup bandara-bandara tersebut.
Beberapa bulan lalu, Yusron mengajak pihak Dinas Pariwisata Korea Selatan ke Bangka Belitung. Mereka berencana membangun ”Little Korea” di Belitung. Tak hanya itu, mereka juga merancang sister city antara Pulau Jeju dan Tanjung Pandang.
Upaya ini bentuk promosi Indonesia ke mancanegara. Harapannya, wisatawan Asia Timur tertarik datang ke Indonesia, khususnya ke Belitung, sebagai bentuk dukungan pada program pemerintah.