Elegi Saham di Bulan Mei
Apakah fenomena ”sell in May and go away” relevan bagi pasar saham di Indonesia?
Pepatah sell on May and go away pasti tak asing bagi investor di pasar saham. Bulan Mei dikatakan menjadi momen para pelaku perdagangan saham atau trader berbondong-bondong menjual saham dan meninggalkan indeks komposit terkoreksi dalam. Lalu, investor kembali menaruh uangnya di bulan Oktober.
Fenomena ini berasal dari Inggris, di mana dikenal dengan slogan yang lebih panjang, yakni sell in May and go away, and come back on St Leger’s Day.
Head Online and Equity Sales NH Korindo Sekuritas, Hendra Stevin, menjelaskan kepada Kompas, maksud slogan tersebut awalnya ditujukan kepada investor di Inggris, kaum bangsawan, dan bankir untuk menjual saham mereka pada bulan Mei, lalu bersantai menikmati musim panas dan meninggalkan pasar untuk sementara waktu dan kembali aktif lagi saat St Leger’s Day, sebuah acara pacuan kuda di bulan September.
”Jadi, dari definisi di atas, investor mengasumsikan bahwa bulan Mei saatnya berbondong-bondong menjual saham dan mulai aktif kembali di bulan Oktober,” katanya, Senin (6/5/2024).
Pola tersebut tentu cocok dengan mereka yang tinggal di negara empat musim di kawasan Eropa, begitu pula dengan Amerika.
Mengutip ulasan Senior Portofolio Manager O’Neil Global Advisors, Randy Watts, di Forbes pada 12 Mei 2023, pasar Amerika Serikat juga meyakini fenomena tersebut sejak jatuhnya pasar pada Mei hingga akhir musim panas atau awal musim gugur tahun 1987.
Berdasarkan data aktual, yang ia tarik lebih dari 50 tahun sampai 2023, kinerja saham lebih baik pada periode November-April dibandingkan pada Mei-Oktober.
Hal ini terlihat pada Indeks Indeks Standard & Poor’s (S&P) 500 di AS yang rata-rata mengalami kenaikan sebesar 6,5 persen selama bulan November-April dibandingkan hanya kenaikan 1,6 persen pada sisa tahun, dengan perbedaan sebesar 4,9 persen poin. Selisih cukup signifikan juga tergambar di indeks bursa NASDAQ sebesar 5,9 persen poin dan Dow Jones Initial Average (DJIA) sebesar 6,9 persen poin.
Apakah pepatah ini terjadi di Indonesia dan masih akurat saat ini?
Data historis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa Indonesia selama 20 tahun terakhir, yang ditunjukkan Hendra, menemukan penurunan IHSG paling banyak di periode Mei-Oktober.
Tingkat pengembalian negatif atau koreksi IHSG di bulan Mei terjadi sebanyak 10 kali dari 20 tahun terakhir. Lalu, di Juni ada 8 kali koreksi, disusul Juli sebanyak 2 kali koreksi. Lalu, berlanjut ke Agustus dan September masing-masing sebanyak 9 kali koreksi, dan pada Oktober hanya ada 6 tahun yang mengalami koreksi.
Data historis Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia selama 20 tahun terakhir menunjukkan penurunan IHSG paling banyak di periode Mei-Oktober.
Adapun pada November terdapat koreksi terbanyak sebanyak 11 kali. Kemudian membaik di Desember dengan hanya 1 tahun yang alami koreksi. Januari dan Februari masing-masing 8 kali koreksi, Maret sebanyak 5 kali koreksi, disusul April ada 7 kali koreksi.
”Jadi, apabila dibilang benar, ada benarnya, tetapi tidak 100 persen. Terbukti November paling banyak koreksinya, lalu ada banyak faktor lainnya yang lebih mendukung,” ujar Hendra.
Baca juga: Mendulang Bonus Saham ”Window Dressing” dan ”January Effect”
Mei tidak selalu buruk
Kendati bulan Mei dan lima bulan berikutnya menjadi periode yang cukup sering mengalami tingkat pengembalian negatif selama 20 tahun terakhir, Mei tidak selalu mengawali tren pelemahan IHSG.
Pada tahun 2024, IHSG sampai dengan Senin (6/5/2024) masih tumbuh minus hingga 1,62 persen. Investor berbondong-bondong menarik uangnya dari pasar modal, terlebih pada April lalu. Kementerian Keuangan mencatat jumlah penarikan modal oleh investor ke luar negeri sebesar Rp 29,73 triliun dalam sebulan, terdiri dari saham senilai Rp 13,08 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 16,65 triliun.
Di antara faktor yang signifikan adalah kondisi perekonomian global. Enam bulan terakhir ini, berbagai kejadian yang mengguncang ekonomi terjadi, dari memanasnya konflik geopolitik Timur Tengah, penguatan dollar AS, sampai mundurnya rencana penurunan suku bunga di AS dari Maret hingga September 2024, berdasarkan perkirakan pasar.
Kementerian Keuangan mencatat jumlah penarikan modal oleh investor ke luar negeri sebesar Rp 29,73 triliun dalam sebulan, terdiri dari saham senilai Rp 13,08 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 16,65 triliun.
Tumbuh positif
Hendra memprediksi, bulan Mei ini tidak akan terlalu bermasalah dengan koreksi karena gejolak global dunia tidak lagi signifikan. Pada pekan pertama Mei ini, IHSG mulai rebound ke level di atas 7.100.
”Dari kecenderungan perang antarnegara (kemarin), kenaikan harga dari beberapa komoditas, seperti minyak, emas, dan batubara, akan memicu kenaikan harga saham yang masuk dalam kategori sektor tersebut,” ujarnya.
Analis Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani, melihat sell in May and go away tidak terjadi berdasarkan data historis. Menarik data dari tahun 2013-2023, hanya ada 60 persen bulan Mei yang alami kinerja negatif. Ini terjadi pada Mei tahun 2016, 2018, 2019, 2021, 2022, dan 2023, dengan penurunan antara minus 0,18 persen sampai minus 4,08 persen.
”Itu juga lebih dipengaruhi kondisi pasar dan ekonomi pada saat itu, bukan karena fenomena ini,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Ia juga prediksi, Mei tahun ini, IHSG akan rebound atau tumbuh positif jelang musim pembayaran dividen mulai dari pekan ke-3 Mei hingga akhir triwulan atau akhir Juni 2024.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen di Triwulan I-2024, Tertinggi Selama Lima Tahun
Dari data keterbukaan informasi emiten di Bursa Efek Indonesia, jadwal pembagian dividen pada semester pertama 2024 ini lebih ramai pada April dan Mei, yakni 24 emiten dan 20 emiten. Rapat umum pemegang saham juga ramai di April oleh 102 emiten dan Mei oleh 179 emiten.
”Jadi, IHSG di Mei ini akan positif seiring dengan rilis laporan keuangan mayoritas emiten-emiten berkapitalisasi besar yang diekspektasikan akan mencetak laba yang memadai, dan tumbuh positif karena kondisi bisnis domestik yang masih kuat dan kondusif,” kata Arjun.
Kenaikan IHSG bahkan masih akan berlanjut hingga akhir Juni 2024. Ia memproyeksikan IHSG bisa menyentuh kisaran 7.260-7.300. Dengan demikian, elegi pelemahan IHSG di Mei mungkin tidak akan terjadi.