Sinkronisasi Pusat-Daerah Jadi PR Besar Pencapaian Indonesia Emas
Ketidakselarasan program pembangunan pusat dan daerah membuat pembangunan tak berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.
JAKARTA, KOMPAS — Belum optimalnya penyelarasan atau sinkronisasi program kerja antara pemerintah pusat dan daerah dapat menghambat tercapainya sasaran target rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Program pembangunan dari level kementerian/lembaga hingga daerah harus sejalan demi tercapainya akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Masalah sinkronisasi program pembangunan di pusat dan daerah menjadi perhatian para peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2024 yang berlangsung di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Pelaksanaan Musrenbangnas 2024 dibuka melalui arahan dari Presiden Joko Widodo. Turut hadir sebagai pembicara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Sejumlah gubernur, wali kota, dan bupati juga turut serta dalam Musrenbangnas 2024 untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 bertema ”Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.
RKP 2025 diarahkan untuk menjadi panduan dalam perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan di seluruh Indonesia. Dokumen ini menjadi dasar transformasi Indonesia menuju tingkat lebih tinggi.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, rancangan RKP 2025 menjadi jendela dari program pemerintah untuk menentukan keberhasilan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Upaya mencapai target sangat bergantung pada sinkronisasi atau penyelarasan program pembangunan pemerintah pusat dan daerah.
”Untuk dapat menjaga koherensi pembangunan, maka diperlukan adanya keselarasan antara pusat dan daerah, terutama pada indikator makro pembangunan serta rencana program dan kegiatan,” kata Suharso.
Sebelumnya saat memberikan arahan, Presiden Joko Widodo menyayangkan masih kerap ditemukan ketidakselarasan antara program pembangunan pemerintah pusat dan daerah. Ia mencontohkan, di sebuah daerah, pemerintah pusat telah membangun bendungan. Namun, di tahun bendungan tersebut selesai dibangun, pemerintah daerah tidak menyiapkan program pembangunan irigasi sekunder hingga tersier agar aliran dari bendungan sampai ke sawah.
Berkaca dari kasus-kasus tersebut, Suharso menambahkan, RKP 2025 diarahkan untuk menjadi panduan dalam perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan di seluruh Indonesia. Dokumen ini menjadi dasar transformasi Indonesia menuju tingkat lebih tinggi.
Bagi pemerintah daerah, katanya, RKP 2025 akan digunakan sebagai acuan untuk menyusun Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Adapun arah pembangunan yang termuat dalam RKP 2025 bisa jadi acuan BUMN dan pihak swasta untuk berpartisipasi dan berkolaborasi dalam mendukung pencapaian pembangunan nasional.
”Oleh karena itu, RKP harus mengusung prinsip dasar, yaitu harmonisasi program pusat dan daerah, orientasi hasil yang produktif, serta akurasi sasaran dan strategi alokasi anggaran,” ujarnya.
Baca juga: Arah Fiskal Tahun Pertama Prabowo: Utang Membengkak, Defisit Melebar
Dalam RKP 2025, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,3-5,6 persen. Sasaran target tersebut ditopang dengan target belanja pemerintah yang bertambah dari 14,56 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada APBN 2024, menjadi 16,15-17,80 persen terhadap PDB. Itu terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar 11,96-13,35 persen terhadap PDB serta transfer ke daerah sebesar 4,19-4,45 persen terhadap PDB.
Ketimpangan fiskal
Di tengah target belanja pemerintah yang semakin jor-joran, Suharso mengungkap permasalahan akan tingginya ketergantungan pelaksanaan program pemerintah daerah terhadap dana transfer ke daerah yang dalam kurun waktu enam tahun terakhir mencapai 83 persen secara rata-rata nasional.
Di sisi lain, secara nasional, rasio pajak daerah masih sangat rendah dengan rata-rata rasio pajak daerah kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2021 hanya berada di angka 0,51 persen. Kondisi ini membuat pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah bahkan belum mampu untuk pendanaan infrastruktur dan pelayanan dasar lainnya.
”Karena itu banyak hal yang mesti dikerjakan, direncanakan dengan baik. Contohnya, untuk pengadaan air minum dan pemantapan jalan, setidak-tidaknya dalam lima tahun ke depan diperlukan dana sebesar Rp 600 triliun,” katanya.
Suharso menambahkan, ketimpangan antara kemampuan fiskal daerah dan kebutuhan pendanaan mengakibatkan belum mampunya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pembangunan. Terlebih lagi, struktur dari APBD itu, sebagian besar dialokasikan untuk belanja rutin, termaksud di dalamnya belanja pegawai, yang rata-ratanya mencapai 67,26 persen.
”Artinya, terdapat keragaman dalam kemampuan fiskal daerah dan juga perbedaan kewenangan, sumber daya, hingga karakteristik. Semua itu memerlukan keterlibatan pemangku kepentingan pembangunan yang memerlukan sinkronisasi penyelarasan antara perencanaan dan pembangunan pusat dan daerah,” ujar Suharso.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara meminta pemerintah daerah untuk memerhatikan sinkronisasi saat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terutama dalam konteks program pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, serta pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Mohon ketika melakukan perencanaan APBD lihat sinkronisasi belanja domestik, belanja untuk UMKM, belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang mengutamakan produk dalam negeri,” kata Suahasil.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Global Hanya 3,2 Persen, Presiden: Perlu Kehati-hatian Kelola Fiskal
Ia memastikan Kementerian Keuangan akan terus mendesain dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), insentif daerah, serta dana transfer lainnya yang bertujuan mendorong perbaikan kinerja pembangunan secara berkelanjutan. Pemerintah pusat akan melihat secara keseluruhan dan menyusun bagaimana dana insentif daerah betul-betul memberikan insentif bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Untuk tahun 2024, Kemenkeu menetapkan pagu transfer ke daerah (TKD) senilai Rp 857,6 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di mana per 31 Maret 2024 telah terealisasi sebesar Rp 184,3 triliun.
Selain itu, setiap tahun, Kemenkeu juga memberikan insentif fiskal untuk pengendalian inflasi. Pada tahun anggaran 2023 periode ketiga, Kemenkeu mengucurkan dana senilai Rp 340 miliar untuk mengapresiasi 34 pemerintah daerah berprestasi, yang terdiri dari 3 provinsi, 6 kota, dan 25 kabupaten.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali mengingatkan agar kepala daerah mengelola dan menyusun keuangan dengan efektif. Ia menyentil selama ini masih banyak pemerintah daerah berpikir soal hanya menghabiskan anggaran dan parahnya lagi di akhir tahun. Pemda juga harus berorientasi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
APBD tidak akan cukup untuk menyejahterakan rakyat, terutama jika hanya mengandalkan transfer dari pusat.
Untuk dapat mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana TKD, ia berharap agar APBD dapat digunakan untuk menstimulasi sektor swasta di antaranya melalui perizinan lahan, tata ruang, hingga membuat birokrasi di daerah menjadi lebih sederhana.
”APBD tidak akan cukup untuk menyejahterakan rakyat, terutama jika hanya mengandalkan transfer dari pusat. Ini yang harus diubah menyusun perencanaan untuk memancing swasta hidup. Kalau PAD naik, kas daerah akan banyak uang,” katanya.