Bekas Tambak Udang Dialihfungsikan untuk Budidaya Nila
Tambak udang mangkrak dialihfungsikan untuk budidaya nila salin. Sasaran pasar perlu dikaji.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis percontohan kluster budidaya ikan nila salin pada area bekas tambak udang di Karawang, Jawa Barat. Proyek percontohan budidaya nila salin berbasis kawasan itu rencananya akan diresmikan Presiden Joko Widodo, pada Rabu (8/5/2024).
Komoditas nila salin merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya. Selain nila salin, komoditas unggulan budidaya laut lainnya adalah udang, rumput laut, lobster, dan kepiting.
Nila salin merupakan ikan nila jenis unggul yang telah melewati beberapa tahapan penyesuaian sehingga dapat hidup di air payau. Benih ikan nila salin dinilai memiliki keunggulan pertumbuhan yang lebih cepat sehingga dapat dipanen lebih cepat dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit.
Baca Juga: Kluster Percontohan Budidaya Nila Salin Dibangun
Proyek percontohan budidaya nila salin digarap sejak tahun 2023 pada kawasan eks tambak udang milik pemerintah seluas 80 hektar. Lahan tersebut awalnya merupakan tambak udang yang dibangun oleh Presiden Soeharto pada tahun 1984 dengan nama Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat, tetapi berhenti beroperasi pada tahun 1998.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, pembangunan percontohan nila salin pada kawasan eks tambak udang itu melibatkan masyarakat tani dalam rangka meningkatkan produksi ikan nila nasional. Komoditas nila dinilai bisa menjadi andalan Indonesia di pasar internasional.
”Kita mencoba untuk memperbarui dan menggunakan tambak (eks udang) ini sebagai lokasi budidaya ikan nila salin. Modeling kluster budidaya nila salin diharapkan bisa menjadi percontohan bagi pelaku usaha budidaya yang memanfaatkan perairan umum,” kata Trenggono, dalam keterangan tertulis, Selasa (7/5/2024).
Memutus penyakit
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Haris Muhtadi, saat dihubungi, mengemukakan, revitalisasi tambak udang menjadi kolam produksi nila salin dapat diterapkan sebagai salah satu solusi menghidupkan kembali tambak-tambak udang yang mangkrak.
Investasi tambak dan biaya operasional tambak udang intensif membutuhkan biaya besar sehingga jika operasional berhenti akan menimbulkan kerugian besar karena beban biaya listrik. Di samping itu, peralatan tambak, seperti pompa, kincir, dan genset, akan mudah rusak jika dibiarkan tidak terpakai.
Di sisi lain, budidaya nila salin juga berguna untuk memutus siklus penyakit udang sehingga lingkungan tambak udang menjadi lebih kondusif jika suatu saat kembali digunakan untuk budidaya udang.
”Tambak udang dan lingkungan pantai sekitar tambak perlu ’istirahat’ agar ada jeda dari serangan penyakit baik virus maupun bakteri. Jika tetap dilanjutkan dengan budidaya udang, penyakit tidak bisa diputus siklus hidupnya,” ujarnya.
Baca Juga: Revitalisasi Tambak Udang Digarap Mulai Tahun Ini
Meski demikian, lanjut Haris, budidaya nila salin pada bekas tambak udang intensif dinilai merupakan alternatif produksi sementara sebelum tambak udang kelak kembali dioperasikan. Sebab, investasi di tambak udang intensif sudah telanjur besar sehingga tidak akan kembali modal jika dialihkan untuk produksi nila. Dengan 3-4 siklus produksi nila salin, tambak udang dinilai sudah bisa kembali digarap.
Pengembangan percontohan budidaya ikan nila salin di Karawang menelan biaya sekitar Rp 76 miliar dan dikelola oleh Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budi Daya (BLUPPB). Selain kolam produksi, terdapat fasilitas lain yang dibangun, antara lain, instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), saluran pengairan (inlet-outlet), tandon, hingga laboratorium.
Produktivitas nila salin pada kawasan itu ditargetkan 7.020 ton per siklus atau senilai Rp 210,6 miliar dengan asumsi harga jual ikan nila salin Rp 30.000 per kg. Dengan asumsi harga pokok produksi Rp 24.500 per kg, proyek percontohan itu diharapkan menghasilkan keuntungan sekitar Rp 38,6 miliar.
Daya dukung lingkungan
Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Lautan IPB University Rokhmin Dahuri mengatakan, beban pencemaran yang terus meningkat yang masuk ke kawasan perairan pesisir (coastal waters) pantura telah mengakibatkan kualitas air perairan pesisir ini semakin menurun atau tercemar.
”Sekitar 85 persen beban pencemaran yang masuk ke perairan pesisir pantura berasal dari berbagai kegiatan manusia dan sektor pembangunan di darat (land-based pollution sources), seperti sisa pupuk dan pestisida dari pertanian, bahan organik dan unsur hara dari kegiatan rumah tangga dan pemukiman, dan limbah industri," katanya Selasa di Jakarta.
Padahal, untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (survival), udang memerlukan kualitas air yang lebih tinggi (baik) ketimbang ikan nila salin. Dengan kata lain, ikan nila salin lebih tahan banting.
Permintaan (demand) terhadap ikan nila, baik di dalam maupun di luar negeri (ekspor) pun cukup besar dan cenderung meningkat.
”Namun, pemerintah harus tetap hati-hati dalam pengembangan budidaya nila salin, jangan sampai luas tambak yang dikembangkan untuk nila salin melampaui daya dukung lingkungan pantura. Pemerintah dan masyarakat juga harus mengurangi beban pencemaran ke perairan laut pantura secara signfikan dengan menerapkan zero-waste technology, 3R (reduce, reuse, dan recycle), dan ekonomi sirkular," kata Rokhmin yang juga Ketua Umum Gerakan Nelayan Tani Indonesia (GNTI).
Sasaran pasar
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo berpendapat, pasar ekspor nila dinilai masih terbuka luas, terutama untuk produk irisan daging (filet). Produk filet nila memerlukan hasil panen dengan bobot minimal 800 gram per ekor.
”Pasar ekspor filet nila yang potensial, antara lain, ke Amerika Serikat dan Uni Eropa,” ujarnya.
Adapun produksi nila berukuran lebih kecil, yakni dengan bobot 300-700 gram per ekor, masih sulit bersaing di pasar ekspor karena kalah bersaing dengan produksi asal China yang harganya lebih kompetitif. Akan tetapi, produksi nila berukuran lebih kecil dinilai masih bisa digarap untuk pasar lokal.
”Upaya meningkatkan pasar komoditas nila perlu mempertimbangkan target pasar, termasuk seberapa besar kemampuan pasar lokal untuk menyerap,” ujar Budhi.