Sektor Tanaman Pangan Tumbuh Minus 24,75 Persen pada Triwulan I-2024
Sejak triwulan I-2023, sektor tanaman pangan tumbuh negatif. Pada triwulan I-2024, pertumbuhannya -24,75 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan tahunan produk domestik bruto atau PDB berdasarkan lapangan usaha di sektor pertanian tanaman pangan pada triwulan I-2024 terkontraksi sangat dalam. Hal itu melanjutkan laju pertumbuhan negatif sektor tersebut sejak awal 2023.
Pertanian tanaman pangan mencakup tanaman budidaya yang menghasilkan pangan untuk konsumsi yang mengandung karbohidrat dan protein. Tanaman tersebut antara lain berupa padi, jagung, dan kedelai.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia pada triwulan I (Januari-Maret) 2024 tumbuh 5,11 persen secara tahunan. Seluruh lapangan usaha penopang ekonomi tumbuh positif, hanya sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang tumbuh -3,54 persen secara tahunan.
Dari seluruh komponen sektor tersebut, pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan terkontraksi sangat dalam, yakni -24,75 persen secara tahunan. Hal ini melanjutkan tren pertumbuhan negatif sektor pertanian tanaman pangan tersebut sejak awal 2023.
Pada triwulan I-2023 dan triwulan II-2023, sektor pertanian tanaman pangan tumbuh -3,01 persen dan -3,26 persen. Kemudian, pada triwulan III-2023 dan IV-2023, pertumbuhannya juga masih terkontraksi, masing-masing sebesar -1,32 persen dan -10,02 persen.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh, tetapi Belum Stabil dan Berkualitas
Dalam konferensi pers pada 6 Mei 2024, Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terkontraksi akibat dampak El Nino. Fenomena iklim tersebut telah menyebabkan penurunan produksi komoditas pertanian, khususnya tanaman pangan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Selasa (7/5/2024), berpendapat El Nino memang menjadi penyebab utama. Kendati begitu, ada sejumlah faktor lain yang membuat pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan anjlok drastis.
Ia menjelaskan El Nino yang terjadi sejak semester II-2023 hingga tekanannya berkurang pada April 2024 telah menyebabkan produksi beras dan jagung nasional turun. Beras, misalnya, pada 2023, total produksinya sebanyak 31,1 juta ton atau turun 1,36 persen secara tahunan.
Pada triwulan I-2024, pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan terkontraksi sangat dalam, yakni -24,75 persen secara tahunan.
Kemudian, pada Januari-Maret 2024, data Kerangka Sampel Area BPS menunjukkan total produksi beras nasional sebanyak 5,78 juta ton. Volume produksi tersebut turun sebesar 37,98 persen dibandingkan triwulan I-2023 yang sebanyak 9,32 juta ton.
”Untuk menambal penurunan produksi beras itu, pemerintah memutuskan mengimpor beras pada 2023 dan 2024. Angkanya cukup besar. Lantaran produksi beras nasional turun dan mendatangkan beras dari luar negeri, input sektor tanaman pangan, khususnya padi, terhadap PDB jadi sangat kecil,” kata Tauhid ketika dihubungi dari Jakarta.
Berdasarkan data BPS, total impor beras Indonesia pada 2023 sebanyak 3,06 juta ton atau naik 613,61 persen secara tahunan. Adapun merujuk data Proyeksi Neraca Pangan Nasional 2024, impor beras pada Januari-Maret 2024 telah terealisasi 1,41 juta ton. Adapun impor beras pada April-Desember 2024 ditargetkan sebanyak 3,76 juta ton.
Baca juga: Limbung Beras Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Menguntungkan pedagang
Tauhid juga menuturkan, El Nino juga menyebabkan panen raya padi hasil musim tanam I mundur dari biasanya Maret menjadi April. Hal itu menyebabkan input sektor pertanian tanaman pangan terhadap PDB triwulan I-2024 juga kecil.
Di samping itu, pada triwulan I-2024, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sangat tinggi, bahkan ada yang tembus Rp 8.000 per kg di sejumlah daerah. Namun, lantaran baru sedikit daerah yang panen padi, hanya sedikit petani yang menikmati kenaikan harga GKP itu.
Pada periode tersebut, lanjut Tauhid, harga beras juga naik cukup tinggi seiring dengan kenaikan harga GKP di tingkat petani. Kenaikan harga beras itu banyak dinikmati perusahaan dan pedagang karena mereka yang memiliki stok beras, bukan petani.
”Kondisi itu mengindikasikan justru perusahaan dan pedagang beras yang lebih diuntungkan atas kenaikan harga GKP dan beras sepanjang Januari-Maret 2024,” tuturnya.
Baca juga: ”Drama” Deflasi Beras
Menurut Tauhid, situasi perberasan pada tahun lalu hingga triwulan I-2024 menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Penurunan produksi beras akibat El Nino dan kenaikan harga GKP yang tidak dirasakan banyak petani berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Kondisi itu mengindikasikan justru perusahaan dan pedagang beras yang lebih diuntungkan atas kenaikan harga GKP dan beras sepanjang Januari-Maret 2024.
Perubahan iklim masih akan terus menjadi tantangan ke depan. Untuk itu, pemerintah perlu mengatisipasinya dengan meningkatkan produksi dan produktivitas pangan, terutama beras. Selain itu, pemerintah juga perlu menjamin harga GKP tetap menguntungkan petani.
”Upaya-upaya tersebut perlu dibarengi dengan membangun ketahanan pangan petani, terutama petani gurem, agar memiliki stok gabah dan beras sendiri. Hal itu mengingat petani merupakan produsen sekaligus konsumen beras,” katanya.
Buruh tani turun
Selain pertumbuhan sektor pertanian, BPS juga merilis kondisi ketenagakerjaan di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Dari 17 lapangan usaha, sektor tersebut menyerap tenaga kerja terbanyak pada Februari 2024, yakni 28,64 juta orang atau sekitar 28,64 persen dari total penduduk bekerja yang mencapai 142,18 juta orang.
Serapan tenaga kerja sektor itu bertambah 0,03 juta orang dibandingkan Februari 2023 yang sebanyak 40,63 juta orang. Namun, khusus pekerja bebas di sektor pertanian atau buruh tani harian atau borongan turun 0,24 juta orang dari 3,54 juta orang pada Februari 2023 menjadi 3,52 juta orang pada Februari 2024.
Baca juga: Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri mengatakan, serapan tenaga kerja sektor pertanian masih menjadi yang tertinggi dibandingkan lapangan usaha lain. Hal itu menunjukkan sektor pertanian masih merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia.
Bahkan, sektor tersebut juga turut berkontribusi terhadap serapan tenaga kerja di sejumlah lapangan usaha lain. Salah satunya adalah sektor akomodasi dan penyediaan makanan-minuman yang serapan tenaga kerjanya bertambah 0,96 juta orang dari 10,15 juta orang pada Februari 2023 menjadi 11,11 juta orang pada Februari 2024.
”Bahan dasar atau bahan baku produk makanan dan minuman tidak lepas dari kemampuan sektor pertanian nasional menyediakan sumber pangan yang cukup dan beragam. Bersyukur pertanian kita masih menjadi lapangan kerja utama bagi masyarakat Indonesia,” ujar Kuntoro melalui siaran pers di Jakarta.
Kendati begitu, serapan tenaga kerja pertanian, terutama buruh tani, di sejumlah daerah, justru tidak optimal. Tokoh petani yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Hery Sugiharto mengemukakan, ada sejumlah faktor yang memengaruhi penurunan pekerja pertanian di sejumlah daerah.
Di Demak, misalnya, kemarau panjang akibat dampak El Nino tahun lalu membuat banyak sawah yang bera atau tidak ditanami padi. Kondisi itu menyebabkan banyak petani dan buruh tani menganggur sementara.
Selain itu, kenaikan upah buruh tani juga menyebabkan petani pemilik lahan mengurangi jumlah pekerja saat tanam ataupun panen. Hal serupa juga dilakukan pedagang atau penebas gabah petani saat panen padi.
”Banyak dari mereka yang bermodal besar yang mengurangi tenaga kerja lantaran sudah memiliki combine harvester atau mesin pemanen padi,” ujarnya.
BPS mencatat, rata-rata upah buruh di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada Februari 2024 sebesar Rp 2.236.045 per bulan. Upah tersebut naik 8,42 persen dibandingkan Februari 2023 yang sebesar Rp 2.062.328 per bulan.