Tingkat Pengangguran Terbuka Sudah Lebih Baik Dibandingkan dengan Sebelum Pandemi
Pemerintah harus memikirkan cara menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik, permanen, dan layak.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2024, sesuai data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik, mencapai 4,82 persen. Pencapaian angka TPT ini lebih baik dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatnya pasokan tenaga kerja.
Sesuai data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, TPT sempat mengalami kenaikan di atas 5 persen saat pandemi Covid-19. Pada Februari 2021, TPT mencapai 6,26 persen. Lalu, TPT Februari 2022 tercatat turun menjadi 5,83 persen. Kemudian, TPT Februari 2023 turun tipis menjadi 5,45 persen.
Sebelum terjadi pandemi Covid-19, data Sakernas BPS pada Februari 2020 menunjukkan TPT nasional mencapai 4,94 persen.
Hanya saja, sejalan dengan angka TPT Februari 2024 yang turun dibandingkan dengan angka TPT tiga tahun ke belakang, data Sakernas BPS pada Februari 2024 menunjukkan ada kenaikan jumlah orang yang tergolong setengah pengangguran atau mereka yang jam kerjanya di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam per minggu) dan masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan lain. Tingkat setengah pengangguran pada Februari 2024 adalah sebesar 8,52 persen. Dibandingkan dengan Februari 2023, tingkat setengah pengangguran mengalami peningkatan sebesar 1,61 persen.
”Hal itu berarti kualitas penciptaan lapangan kerjanya kurang,” ujar dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, Selasa (7/5/2024), di Jakarta.
Menurut dia, apabila dilihat secara lebih jeli, data Sakernas BPS pada Februari 2024 juga menyebutkan terdapat sekitar 1,81 juta tenaga kerja baru bekerja di sektor perdagangan, akomodasi, dan makanan sehingga bisa dikatakan banyak sifat pekerjannya bukan permanen. Teguh menduga penciptaan lapangan pekerjaan yang ada pada Februari 2024 banyak bersifat sementara karena ada momen pemilu. Apalagi, tenaga kerja sektor administrasi pemerintahan juga terpantau naik 760.000 orang.
”Secara absolut, jumlah pengangguran terbuka Indonesia bisa dikatakan masih belum pulih sempurna dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19. Hal yang perlu diantisipasi ialah kondisi pascapemilu presiden-wakil presiden dan pemilu kepala daerah. Pemerintah harus memikirkan cara menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik, permanen, dan layak,” ucap Teguh.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar memandang, perihal tingkat setengah pengangguran yang naik, ada kemungkinan mereka yang termasuk kelompok itu benar-benar menganggur. Namun, mereka cenderung menyatakan asal bekerja saja dan memperoleh upah sekadarnya dulu daripada tidak sama sekali. Inilah yang BPS catat.
Senada dengan Teguh, Timboel menduga lapangan kerja formal saat ini sebenarnya terbatas. Jika dibiarkan, bisa berdampak buruk kepada angkatan kerja karena kesejahteraan mereka tergerus.
Apabila menengok data Sakernas BPS tiga tahun ke belakang, tingkat setengah pengangguran terekam mengalami penurunan. Pada Februari 2021 tercatat 8,71 persen, lalu Februari 2022 turun menjadi 7,86 persen, dan Februari 2023 kembali turun menjadi 6,91 persen.
Koordinator Divisi Media dan Komunikasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Bimo Aria menyampaikan, di pasar kerja sedang berkembang praktik kontrak kerja berdurasi pendek dan alih daya di beragam sektor industri sejak beberapa tahun terakhir. Situasi seperti ini selain mendorong setengah pengangguran juga menyebabkan angkatan kerja tidak memiliki masa depan karier yang jelas.
”Keberadaan platform digital sebagai mediator dan durasi kerja yang sangat pendek yang membedakan karakteristik pekerja gig dengan pekerja prekariat lain. Kendati demikian, situasinya sama saja. Orang yang bekerja seperti itu biasanya harus menanggung ’ongkos’ lebih tinggi,” ujar Bimo yang ditemui di acara diskusi publik ”Menavigasi Hidup di Tengah Arus Transformasi Digital: Sudahkah Pekerja Terlindungi”, pada Selasa (7/5/2024), di Jakarta. Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Centre for Innovation Policy and Governance.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, secara terpisah, menyampaikan, pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri manufaktur marak berkembang beberapa tahun terakhir. Pekerja yang bekerja di sektor itu dan mengalami PHK biasanya langsung menganggur. Kalaupun bekerja, mereka bekerja serabutan, seperti menjadi tukang ojek dan sopir tembak angkot. Durasi mereka bekerja setiap hari bisa kurang dari 5 jam.
Menurut dia, pemerintah perlu menggenjot pertumbuhan berkelanjutan di industri manufaktur. Lalu, pemerintah berani meningkatkan efektivitas program pelatihan keterampilan kerja supaya kompetensi pekerja naik dan industri pun bisa lebih berdaya saing.