Ekosistem Belum Terbentuk, Hilirisasi Batubara Mandek
Ibaratnya, batubara dijual mentah saja laku, kenapa harus repot-repot diproses lagi?
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi batubara, seperti gasifikasi menjadi dimetil eter atau DME masih mandek karena dianggap belum ekonomis. Apalagi, harga batubara, yang biasa dijual mentah sebagai sumber energi, relatif tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Kepastian hukum serta peta jalan transisi energi dinilai memiliki peran penting dalam pengembangannya.
Harapan sempat muncul saat Presiden Joko Widodo meresmikan peletakan batubara pertama proyek DME, yang digarap PT Bukit Asam Tbk dengan Pertamina, di Sumatera Selatan, pada 24 Januari 2022. Perusahaan asal Amerika Serikat Air Products ambil bagian dalam proyek itu. Namun, pada awal 2023, Air Products memilih mundur dan hingga kini belum ada penggantinya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar, Kamis (9/5/2024), mengatakan, komoditas batubara Indonesia selama ini dijual begitu saja, atau secara mentah. Beberapa tahun terakhir permintaan pun meningkat yang membuat harga relatif tinggi. Dengan kondisi itu, ibaratnya: dijual mentah saja laku, kenapa harus repot-repot diproses lagi?
Selain perihal harga, kepastian pasar yang akan menyerap produk DME di dalam negeri juga belum jelas meskipun produk itu disebut-sebut bakal menggantikan elpiji. ”Yang paling urgen ialah soal biaya. Gasifikasi batubara membutuhkan teknologi dan pembiayaan tinggi sehingga hingga kini hilirisasi batubara belum optimal. Ini beda dengan mineral,” kata Bisman.
Hal tersebut juga didorong belum terbentuknya ekosistem DME, yang relatif masih bersifat rintisan. Menurut Bisman, harapan DME ataupun produk hilirisasi batubara lainnya untuk berkembang ada, tetapi tingkat skpekulasi dan pertimbangan-pertimbangannya masih amat tinggi. Dengan demikian, sejumlah pihak masih wait and see dalam pengembangan hilirisasi batubara itu.
Kepastian hukum, bagaimanapun mesti dipastikan, ”Sebab, ini investasi besar. (Bagi pengusaha) tidak untung atau menunggu dulu oke, tetapi minimal aman investasi atau modalnya. (Terkait insentif) memang ada royalti 0 persen, tetapi toh sampai saat ini kenyataannya belum menarik. Lalu, bagaimana produknya ini disinergikan dengan kebijakan transisi energi. Harus ada peta jalan yang jelas,” tuturnya.
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arsal Ismail, di sela-sela Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PTBA untuk Tahun Buku 2023 di Jakarta, Rabu (8/5/2024), menuturkan, rencana gasifikasi batubara masih berproses. Kajian masih dilakukan karena dalam hilirisasi batubara, nilai keekonomian harus benar-benar jadi pertimbangan.
”Jangan sampai keekonomiannya ini mengganggu keuangan PTBA. Ini harus hati-hati. Namun, kami tetap mendukung program hilirisasi pemerintah. Dari sisi sumber daya batubara kami punya banyak. Namun, teknologi untuk memproses batubara untuk dihilirisasi menjadi bentuk apa, masih dalam kajian. Dulu kan harusnya sudah jadi, tetapi (Air Products) mundur,” kata Arsal.
Menurut dia, kajian berjalan dengan panjang agar dapat dipastikan keekonomiannya tercapai. ”Kajian sampai benar-benar ekonomis yang bisa menguntungkan PTBA maupun pemerintah. Apalagi, gejolak kondisi global juga naik-turun terus. Kalau ditanya sampai kapan, mau kami, ya, begitu (investor) masuk, langsung jalan,” ucapnya.
Direktur Pengembangan Usaha Rafli Yandra menuturkan, produk hilirisasi batubara yang juga dalam penelitian dan pengembangan ialah mono ethylene glycol (MEG). Kolaborasi pun terus dilakukan dengan sejumlah perguruan tinggi dan lembaga riset. Diharapkan, akan ada inovasi-inovasi yang akan mendukung skala keekonomian sehingga hilirisasi batubara dapat benar-benar berjalan.
Sejak pertengahan 2021, harga batubara dunia menanjak seiring meningkatnya permintaan global. Catatan Trading Economics, puncaknya terjadi pada 5 September 2022 yang mencapai sekitar 457 dollar AS per ton. Setelah itu, harga berfluktuasi dan sempat turun signifikan. Namun, sejak pertengahan 2023, harga selalu dapat dijaga pada kisaran 120-150 dollar AS per ton.
Pada Januari 2024, harga batubara sempat turun menjadi 117 dollar AS per ton, tetapi kemudian naik kembali. Pada Senin (6/5), harga batubara tercatat 146 dollar AS per ton. Terakhir kali harga batubara di bawah 100 dollar AS per ton ialah pada 2021.
Dalam RUPST PTBA, Rabu, pemegang saham menyetujui penggunaan 75 persen laba bersih Tahun 2023, sebesar Rp 4,6 triliun, sebagai dividen. Sepanjang 2023, PTBA mencatatkan pendapatan Rp 38,5 triliun sehingga laba bersih mencapai Rp 6,1 triliun. Hal tersebut ditopang volume produksi pada 2023 yang sebesar 41,9 juta ton atau meningkat 13 persen dibandingkan 2022.
Arsal Ismail mengemukakan, tantangan ekonomi global dan nasional dihadapi dengan implementasi strategi bisnis yang tepat sehingga mampu mendukung ekspansi kinerja yang lebih berkelanjutan. ”Ke depan, PTBA akan melakukan pengembangan-pengembangan untuk meningkatkan kinerja operasional ataupun penjualan,” katanya.
Berdasarkan rencana kerja dan anggaran biaya yang telah disetujui, imbuh Arsal, pada 2024, target produksi PTBA akan tetap di kisaran 41 juta ton. Kemudian meningkat menjadi sekitar 50 juta ton pada 2025 dan naik lagi menjadi hampir 60 juta ton pada 2026.