Pemilu bukan pesta lima tahunan, tetapi proses untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas dan rakyat yang berdaulat.
Oleh
A BAKIR IHSAN
·4 menit baca
Secara prosedural, pemilu berakhir saat Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasilnya. Penetapan pemenang menjadi puncak dari seluruh dinamika politik elektoral dengan beragam catatannya. Meski demikian, penetapan prosedural tersebut tidak serta-merta menjawab persoalan substantif yang menyebabkan proses pelaksanaan pemilu (demokrasi) mengalami degradasi.
Beberapa hasil survei dan temuan lembaga yang concern terhadap demokrasi, seperti V-Dem Institute, mengonfirmasi kecenderungan degradasi demokrasi tersebut (Kompas.com, 26/5/2023). Lembaga Survei Indonesia juga menunjukkan fenomena yang sama, yaitu adanya penurunan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu 2024 (Kompas.com, 25/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Catatan gelap demokrasi ini sering terhapus karena pesona kemenangan yang seakan memaafkan semua masalah. Apalagi, diakhiri dengan koalisi, seakan semua luka sudah terobati. Inilah yang menyebabkan pemilu sebagai pilar demokrasi di negeri ini mengalami involusi.
Pemilu 2024 merupakan pemilu ke-6 di era reformasi. Secara kuantitas, sama jumlahnya dengan pemilu di era Orde Baru. Perjalanan pemilu Orde Baru menunjukkan gerak degradasi karena terjebak pada sisi prosedural.
Perjalanan pemilu ke-6 di era reformasi ini seharusnya bisa memberi harapan baru dengan peta yang semakin jelas untuk beranjak dari kecenderungan stagnasi ke konsolidasi demokrasi. Namun, kontinuitas problem pemilu menunjukkan demokrasi masih menjadi agenda periodik atau musiman.
Padahal, pemilu, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, merupakan sistem ketatanegaraan yang berbasis pada demokrasi. Ia menjadi prasyarat untuk memastikan penguatan sistem negara demokrasi melalui mekanisme yang berkelanjutan.
Pemilu tak sekadar pendaftaran, kampanye, dan pemberian suara, lalu penetapan pemenang oleh KPU yang dilakukan lima tahunan. Pemilu merupakan proses penguatan sistem demokrasi yang menempatkan efikasi diri sebagai basis partisipasi.
Dalam konteks inilah, pemilu harus hadir sebagai proses berkesinambungan untuk pertama, menguatkan kesadaran politik warga sebagai penentu kepemimpinan sehingga tidak mudah dimoblisasi. Kedua, melerai kecenderungan monopoli dan terbentuknya oligarki. Keterjebakan kepada prosedur semata menjadi benih pengelompokan berdasarkan kuasa dan kasta elite dan rakyat sekadar pelengkap pesta.
Belajar dari enam kali pemilu, sejatinya sudah terbangun peta jalan pemilu yang melampaui ukuran kategoris dan mengarah kepada penguatan kualitas pemilu yang lebih substantif dan progresif. Secara umum, persoalan pemilu sudah terpetakan dalam UU Pemilu yang membaginya dalam tiga kategori, yaitu problem kode etik, administratif, dan tindak pidana pemilu.
Kategorisasi ini sejatinya dapat menjadi peta problem pemilu dalam meminimalisasi penyimpangan, bukan sekadar memastikan pelanggaran dan dianggap selesai dengan keputusan hakim.
Pemilu merupakan proses penguatan sistem demokrasi yang menempatkan efikasi diri sebagai basis partisipasi.
Angka-angka pelanggaran yang dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan akut dan sengkarutnya persoalan Pemilu 2024, seperti kasus intimidasi di 2.271 TPS baik terhadap pemilih maupun petugas; mobilisasi yang dilakukan oleh tim sukses, peserta pemilu, maupun penyelenggara di 2.632 TPS; penggunaan hak pilih lebih dari satu kali di 2.413 TPS (Kompas.com, 15/2/2024); dan penggeseran suara oleh oknum PPK (Kompas.com, 8/3/2024). Itu semua merupakan kecenderungan pelanggaran yang tidak bisa dilihat secara kuantitatif dan legalistik-formalistik semata.
Perspektif kuantitatif hanya melihat kecenderungan kalkulatif. Sementara perspektif legalistik-formalistik melihatnya dalam perspektif sanksi dan final dengan eksekusi. Seperti menutup luka tanpa obat penyembuhnya, menyebabkan bau busuk kecurangan dan penyimpangan menyeruak setiap pemilu.
Mencicil kesembuhan
Pengobatan ”luka” pemilu harus dilakukan secara bertahap dan komprehensif. Diagnosis sederhana atas problem yang terjadi adalah relasi menyimpang antaroknum penyelenggara dan kontestan serta antaraktor utama dan aktor pendukung pemilu.
Relasi menyimpang tersebut terjadi karena tersedianya ruang gelap (black box) yang memberi keleluasaan transaksi antara oknum penyelenggara dan oknum kontestan. Terlebih dengan sistem proporsional terbuka, kontestan betul-betul dihadapkan pada persaingan menentukan nasib dirinya sendiri.
Walaupun secara individu terjadi pergantian pada aktor-aktor penyelenggara, kecenderungan penyimpangan sudah mengkristal menjadi atmosfer. Ada semacam atmosfer kesadaran palsu (fals consciousness) yang menuntunnya melakukan tindakan melampaui aturan main tanpa merasa bersalah.
Kesadaran palsu ini akan terus tumbuh apabila solusi yang ditawarkan dalam penyelesaian penyimpangan pemilu hanya pada ranah prosedural, legalistik-formalistik.
Pemilu 2024 dengan segala catatannya menunjukkan bahwa demokrasi kita tidak baik-baik saja. Solusi mengatasinya sejatinya tidak sulit, tetapi juga tidak mudah.
Tidak sulit karena peta jalan masalahnya sudah jelas, yaitu problem kesadaran yang menyimpang di kalangan elite yang mewabah dalam bentuk pemakluman dan sikap permisif masyarakat atas penyimpangan demokrasi. Tidak mudah karena kunci dari solusi ini ada pada elite politik itu sendiri yang sampai saat ini mendapatkan keuntungan dari penyimpangan tersebut.
Karena itu, pemilu harus dikembalikan pada rahim (core) demokrasi sebagai sistem yang tidak sekadar melembaga secara struktural, tetapi juga mengakar secara kultural dalam kesadaran kolektif kewargaan. Pemilu tak berhenti saat pemenang diumumkan. Pemilu sebagai ajang kontestasi kepemimpinan mensyaratkan ketersediaan calon yang sejak awal berproses sebagai calon pemimpin.
Di sinilah komitmen partai politik dalam proses rekrutmen kepemimpinan dipertaruhkan untuk mengedepankan merit system dan integritas bukan sekadar popularitas. Dan hal tersebut tidak bisa diperoleh secara instan atau dadakan. Sekali lagi, pemilu bukan pesta musiman lima tahunan, tetapi proses berkelanjutan untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas dan rakyat yang berdaulat.
A Bakir Ihsan, Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta