Generasi Milenial
Generasi milenial suka yang ”happy-happy” dan menyerap ”politainment” sebagai bagian dari jati dirinya.
Generasi milenial yang saat ini berada pada kondisi prime atau masa terpenting dari karier dan kehidupannya merupakan penentu bagi masa depan bangsa ini. Mereka adalah orang yang kreatif dan berada di tampuk kepemimpinan pada sejumlah bisnis, budaya, ekonomi, dan tentunya politik.
Meski memimpin berbagai sektor kehidupan, termasuk politik nasional dan daerah, generasi milenial ini adalah kelompok yang paling sering tak dipahami atau disalahpahami, terutama oleh generasi yang lebih tua. Inilah yang sering disebut sebagai intergenerational gap atau perbedaan pemahaman antar-generasi.
Buku Understanding the Role of Indonesian Millennials in Shaping the Nation’s Future (ISEAS-BRIN, 2024) menjelaskan tiga fenomena yang memengaruhi adanya intergenerational gap ini. Pertama, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Teknologi telah membuat mereka jauh menjadi dekat, tetapi kadang menjadikan mereka yang dekat (secara lokasi) malah menjadi jauh. Teknologi ini mengubah konsep keluarga, pertemanan, dan pola interaksi antarmanusia secara umum.
Baca juga: Beragama Maslahat
Kedua, sebagai lanjutan dari revolusi teknologi tersebut, keterhubungan dengan dunia luar menjadi tak terelakkan dan gadget menjadi kebutuhan sehari-hari, bukan lagi sebagai barang mewah. Bahkan, desa yang sebelumnya tertutup, seperti Baduy, menjadi sangat masif di media sosial.
Ketiga, internet tidak hanya membuat orang mendapatkan informasi secara instan, mereka bahkan akhirnya malah kerap kebanjiran informasi. Ini yang membuat kita sering tak lagi bisa mencerna secara benar berbagai kabar yang masuk, apalagi mengecek kebenaran dan keakuratannya. Maka, wajar jika banjir hoaks, disinformasi, misinformasi menjadi fenomena sehari-hari. Inilah yang disebut dengan infodemic.
Wujud intergenerational gap itu, misalnya, terjadi pada Pemilihan Presiden 2024. Pilihan politik generasi milenial ini berbeda dari generasi X dan baby boomer. Berdasarkan survei Litbang Kompas yang ditampilkan di koran ini (17/2/2024), salah satu faktor penentu kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024 ini adalah pemilih muda.
Mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu generasi Z (di bawah 26 tahun), generasi Y-muda (26-33 tahun), dan generasi Y-madya (34-41 tahun). Prabowo-Gibran mendapat 65,9 persen suara dari pemilih kelompok pertama, 59,6 persen dari kelompok kedua, dan 54,1 persen dari kelompok ketiga.
Dalam survei itu, selera pemilih muda terhadap Prabowo-Gibran ditentukan oleh beberapa hal, di antaranya faktor Gibran yang berusia 36 tahun dan mewakili selera atau mampu memikat kaum muda, pola dan strategi kampanye Prabowo-Gibran yang cocok dengan gaya anak muda terutama dengan kampanye gemoy-nya, serta media sosial yang sangat intensif digunakan kubu ini untuk merebut hati anak muda.
Isu politik lain yang sering tak dipahami oleh generasi tua adalah fenomena Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partainya anak muda. Pengangkatan Kaesang Pangarep sebagai ketua umum dalam Kopi Darat Nasional (Kopdarnas) di Jakarta (25/9/2023), kampanye ”berpolitik dengan santuy”, penyebutannya sebagai ”Partainya Jokowi”, dan berbagai manuver politik sebelum dan pascapemilu membuat partai ini dicibir beberapa generasi tua.
Seperti jargonnya, anak-anak muda ini tak menganggap politik sebagai sesuatu yang serius. Mereka suka yang happy-happy dan menyerap apa yang disebut dengan politainment sebagai bagian dari jati dirinya. Apa yang dilakukan PSI ini telah membuat konflik dengan sejumlah pihak dari generasi senior yang dulu bahkan ikut terlibat membidani lahirnya.
Perbedaan lain antargenerasi ini bisa dilihat dari sikap generasi milenial ini terhadap cryptocurrency dan nonfungible tokens (NFT). Mereka adalah pelaku utama bisnis ini dengan logika keagamaan yang berbeda dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Meski ketiga lembaga pemegang otoritas keagamaan di Indonesia itu mengharamkan cryptocurrency, anak-anak muda lebih memilih logika margin keuntungan dari bisnis ini dan jika pun ada dosanya, maka itu bisa dibersihkan dengan melakukan donasi dari keuntungan yang didapatkan (Garadian dan Arrasyid 2024).
Selain soal bisnis dan politik, generasi milenial ini juga tak menjadikan pernikahan sebagai prioritas. Jika generasi tua menganggap berkeluarga dan memiliki anak sebagai bagian dari status sosial dan bukti kesuksesan, tidak demikian dengan anak-anak muda sekarang. Ditulis di Tajuk Rencana koran ini, ”Beda Era, Beda Sikap Soal Menikah” (9/3/2024) dan laporan berjudul ”Menikah Tidak Lagi Menjadi Prioritas” (8/3/2024), sejak 2018 terjadi tren penurunan pernikahan terus-menerus: 2,01 juta pernikahan (2018), 1,96 juta (2019), 1,78 juta (2020), 1,74 juta (2021), 1,70 juta (2022), dan 1,58 juta (2023).
Kalau generasi milenial dipandang sebagai potret dari bonus demografi yang puncaknya terjadi pada 2030 nanti, maka ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, ketika melihat kepemimpinan generasi milenial, terutama dalam politik, perlu dilihat juga isu tentang politik dinasti.
Terdapat 20 generasi milenial yang terpilih sebagai kepala daerah pada Pilkada 2020. Sayangnya, 13 dari jumlah tersebut adalah bagian dari politik dinasti. Mereka adalah anak, menantu, atau istri dari kepada daerah sebelumnya atau pemimpin politik nasional lain (Dewi dan Fuady 2024). Kasus Gibran tentu menjadi yang paling besar sebagai contoh dari politik dinasti ini.
Baca juga: Melawan Arah
Kedua, ketika melihat tren penurunan angka pernikahan secara nasional, ada yang ironis di sini. Dari kelompok anak muda yang masih melakukan pernikahan, beberapa di antaranya terjadi justru dalam bentuk pernikahan dini atau di bawah 18 tahun. Pernikahan anak bisa saja membalik bonus demografi menjadi kutukan demografi. Mereka ini berada dalam usia labil dan karena itu potensi perceraian menjadi tinggi. Mereka yang mestinya berkontribusi dalam investasi demografi dan membuka windows of opportunity ternyata sudah harus mengurus keluarga dan anak.
Seperti dilaporkan harian ini, ”Tingginya Angka Perkawinan Usia Anak di Indonesia” (8/3/2024), Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Selatan merupakan daerah dengan proporsi kasus pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Motifnya bermacam-macam, ada yang terkait ekonomi dan ada juga yang terkait pemahaman keagamaan.
Ketiga, selain intergenerational gap, gap itu bisa juga terjadi pada mereka yang sesama generasi milenial, tetapi berbeda ekonomi (kaya dan miskin) dan geografi (desa dan kota). Ini bisa dilihat pada kasus yang ditulis oleh Ibnu Nadzir dalam ”Nasionalisme ala Milenial: Sebuah Disrupsi?” (2021) ketika membandingkan nasib Rich Chigga dan Hatf.
Keduanya memiliki imajinasi yang terkoneksi dengan dunia global karena internet. Rich menjadi rapper internasional berkat Youtube, sementara Hatf menjadi teroris dan mati terbunuh di Suriah. Internet menghubungkan generasi milenial kepada komunitas yang berbeda dan menciptakan nasib yang berbeda pula.
Ahmad Najib Burhani,Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)