Jawa Tengah Menjadi Sumber Perantau Terbesar di Indonesia
Sebagian masyarakat Jateng telah bermigrasi dan menetap di luar provinsinya demi meningkatkan kesejahteraan hidup.
Tingginya pergerakan massa pada Lebaran 2024 yang tertuju ke Jawa Tengah mengindikasikan bahwa provinsi ini menjadi sumber perantau terbesar di Indonesia. Selama berpuluh-puluh tahun, sebagian masyarakat Jateng telah bermigrasi dan menetap di daerah lain di luar provinsinya demi meningkatkan kualitas kehidupan.
Hasil survei Potensi Pergerakan Angkutan Lebaran Tahun 2024 yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan menunjukkan adanya potensi pergerakan secara nasional pada masa Lebaran yang diperkirakan mencapai 193,6 juta orang. Tingginya estimasi jumlah pergerakan itu disebabkan mayoritas penduduk Indonesia hingga 71,7 persen diperkirakan bepergian pada masa Lebaran tahun ini.
Mobilitas penduduk yang masif pada masa hari raya Idul Fitri itu sebagian besar bertujuan untuk pulang ke kampung halaman. Sekitar 52 persen responden menyatakan akan melakukan tradisi mudik untuk pulang ke daerah asalnya. Lainnya, sebesar 35,2 persen, mengaku akan mengunjungi orangtua dan sanak saudara di kampung dan 10,6 persen sisanya akan berlibur ke sejumlah lokasi wisata.
Besarnya proporsi masyarakat yang pulang ke kampung halaman dan berkunjung ke sanak-saudaranya di daerah asal secara tidak langsung menyiratkan proses migrasi penduduk dari wilayah Jateng ke luar daerah di seantero Indonesia.
Hasil survei BKT menunjukkan bahwa tujuan pergerakan masa Lebaran tahun 2024 ini masih kurang lebih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Wilayah Pulau Jawa menjadi sentra tujuan pelaku perjalanan secara nasional. Provinsi Jawa Tengah menjadi tujuan terbesar para pemudik yang mencapai 31,81 persen. Selanjutnya, disusul Jawa Timur sebesar 19,44 persen, Jawa Barat 16,59 persen, dan Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 6 persen.
Tingginya arus pergerakan masyarakat yang tertuju di wilayah Jateng itu mengindikasikan bahwa Jateng menjadi pusat asal perantau secara nasional. Sebagian masyarakat Jateng pada masa-masa sebelumnya telah merantau ke daerah lainnya untuk berbagai tujuan. Bahkan, beberapa di antaranya telah menetap, berumah tangga, dan menjadi warga masyarat di luar daerah asalnya.
Meskipun demikian, besarnya keterikatan emosional dengan kampung halamannya membuat para perantau itu senantiasa pulang ke Jateng. Untuk berjumpa dengan orangtua, keluarga, kerabat, hingga teman-teman masa lalu.
Baca juga: Pergerakan Lebaran 2024 Tertuju ke Sumber Migrasi
Selain terlihat dari arus perjalaan mudik, tingginya pergerakan Lebaran di Jateng juga tampak dari arus perjalan balik keluar dari Jateng. Tampak sejumlah ruas jalan dipadati kendaraan dan muncul kemacetan di beberapa tempat.
Bahkan, selang beberapa hari setelah Lebaran, muncul kemacetan di ruas jalan tol Solo-Semarang dan menjelang memasuki gerbang tol Palimanan, Cirebon. Hal itu disebabkan tingginya arus kendaraan yang akan meninggalkan Jateng menuju arah Jakarta.
Kemacetan juga terjadi di sejumlah ruas jalan umum selain tol, seperti di jalur selatan dari arah Yogyakarta menuju Banyumas dan Jawa Barat, serta dari arah Banyumas menuju Tegal-Brebes. Kemacetan yang tinggi menuju arah Jawa Barat dan Jakarta itu mengindikasikan banyaknya perantau yang pulang ke kampung halamannya pada masa Lebaran tahun ini. Fenomena demikian kian menguatkan citra Jateng sebagai sumber kaum perantau secara nasional.
Migrasi
Tingginya arus perjalanan menuju Jateng dan juga keluar Jateng pada Lebaran sekarang linear dengan jumlah migrasi neto seumur hidup yang bernotasi negatif di provinsi ini. Migrasi atau migran seumur hidup adalah seseorang yang provinsi tempat lahirnya berbeda dengan provinsi tempat tinggal pada saat pencacahan. Artinya, orang tersebut telah berpindah ke lokasi baru sejak lama. Untuk migrasi neto artinya jumlah bersih pengurangan antara kaum migran yang masuk dengan kaum migran yang keluar.
Data Statistik Migrasi Indonesia, Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020, BPS, menunjukkan bahwa migrasi neto Provinsi Jateng merupakan yang terbesar defisitnya, yakni mencapai minus 4,84 juta jiwa. Artinya, Provinsi Jateng mengalami penyusutan kaum yang berpindah lokasi tempat tinggal hingga 4,84 juta jiwa pada periode pendataan terakhir.
Defisit migrasi neto berikutnya disusul oleh sejumlah provinsi besar lainnya, seperti Jatim yang mencapai minus 2,49 juta jiwa, Sumatera Utara minus 1,74 juta jiwa, dan Sulawesi Selatan sekitar minus satu juta orang.
Data itu menunjukkan bahwa Jateng memiliki defisit migrasi neto terbesar secara nasional yang menandakan Provinsi Jateng cenderung ditinggalkan masyarakat aslinya. Ada sejumlah alasan yang melandasi fenomena tersebut. Namun, sebagian besar perpindahan penduduk untuk bermigrasi itu lebih didorong oleh faktor ekonomi.
Hasil kajian Litbang Kompas mengenai migrasi di Indonesia menunjukkan bahwa hampir 98 persen proses migrasi seumur hidup di Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi. Sisanya, kurang dari 3 persen, disebabkan faktor lainnya.
Setidaknya ada empat variabel yang mendorong kuat terjadinya arus migrasi seumur hidup di Indonesia. Secara berurutan dari yang terbesar pengaruhnya adalah variabel upah minimum provinsi (UMP), PDRB sektor industri (industrialisasi), angkatan kerja, dan terakhir adalah investasi.
Baca juga: Tergiur Melihat Kilau Sukses Perantau, Mendominasi 20 Persen Keluarga Terkaya di Jabodetabek
Keempat variabel itu telah diuji dengan persamaan regresi data panel dan menghasilkan output yang signifikan secara statistik. Dari keempat variabel itu, semuanya bernotasi positif, kecuali investasi. Notasi positif artinya mendorong terjadinya arus migrasi masuk dan notasi negatif artinya mengurangi laju migrasi masuk. Jadi, bisa diartikan bahwa kenaikan upah, maraknya industrialisasi, dan juga bertambahnya angkatan kerja mendorong masyarakat Indonesia untuk bermigrasi ke daerah lain dan bahkan tinggal menetap.
Untuk variabel investasi justru bernotasi negatif yang maknanya dengan meningkatnya kapitalisasi modal, maka jumlah migrasi masuk berkurang. Artinya, semakin banyak investasi yang ditanamkan di daerah-daerah akan menghambat peningkatan jumlah arus migrasi keluar daerah bersangkutan (Kompas.id, 4 Mei 2023).
Jateng akan ditinggalkan
Dari uji ekonometrika yang mengunakan data tahun 2000-2020 itu, tampak hasil proyeksi yang mengindikasikan bahwa Jateng akan cenderung ditinggalkan penduduknya. Hal ini tampak dari hasil koefisien Provinsi Jateng yang memiliki minus paling besar di antara provinsi lainnya di Indonesia. Tanpa ada perbaikan dari sisi ekonomi, migrasi penduduk keluar dari Jateng akan terus berlangsung dan akan menjadi yang terbesar secara proporsional di Indonesia.
Daerah yang akan mendapat limpahan jumlah migrasi terbesar di Indonesia akan terpusat di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Ketiga provinsi itu memiliki nilai koefisien positif terbesar di antara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga provinsi itu memiliki daya tarik ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat dari luar provinsi itu.
Hal ini relatif wajar karena di ketiga wilayah tersebut, terutama di sekitar Jabodetabek, menjadi sentra kemajuan ekonomi yang menawarkan banyak peluang kemajuan. Mulai dari sektor industri, jasa-jasa, keuangan, pendidikan, infrastruktur, hingga kepemerintahan terpusat di kawasan aglomerasi tersebut.
Fenomena itu patut menjadi perhatian bersama karena akan menimbulkan dampak bagi daerah yang menjadi tujuan migrasi ataupun daerah yang ditinggalkan para penduduknya. Bagi daerah tujuan migrasi, hal itu akan menimbulkan sejumlah beban bagi kemajuan daerah apabila tidak disertai dengan penciptaan peluang pekerjaan yang juga besar. Bagi daerah yang ditinggalkan akan cenderung kekurangan sumber daya manusia berkualitas unggul sehingga cenderung relatif sulit menciptakan kreativitas dan kemajuan bagi daerah.
Khusus wilayah Jateng, ada beberapa daerah yang menjadi sumber utama para perantau. Salah satunya terindikasi dari daerah tujuan para pemudik yang menggunakan transportasi umum. Ada sejumlah terminal angkutan bus umum yang menjadi simpul kepadatan masa Lebaran, seperti terminal bus di Surakarta, Purwokerto, Tegal, Pekalongan, dan Wonogiri. Untuk penumpang kereta api, sebagian besar tertuju di Stasiun Purwokerto, Purworejo, dan sekitar Yogyakarta.
Baca juga: Jakarta Tak Lagi Menarik Pendatang Baru Pascalebaran
Kepadatan penumpang angkutan umum hasil survei BKT itu menjadi indikator untuk mendeteksi daerah utama yang menjadi asal daerah para perantau, khususnya yang bermigrasi di wilayah Jabodetabek. Wilayah sekitar Tegal, Surakarta, Banyumas, Pekalongan, dan Kedu menjadi sumber utama para perantau asal Jateng.
Ada sejumlah daerah di wilayah tersebut yang hingga kini masih menjadi sentra kemiskinan dan pengangguran yang cukup besar di Jawa Tengah, misalnya Kabupaten Brebes, Banyumas, Pemalang, Kebumen, dan Cilacap. Angka kemiskinan di daerah tersebut pada tahun lalu masing-masing lebih dari 190.000 jiwa.
Pun demikian dengan jumlah penganggurnya yang rata-rata di setiap daerah itu lebih dari 50.000 orang. Dengan kondisi seperti itu, sejumlah daerah tersebut kemungkinan akan terus mendorong sejumlah warganya untuk bermigrasi ke daerah lainnya.
Apa pun itu, proses bermigrasi untuk memperbaiki kualitas kehidupan adalah hak setiap orang. Pemerintah mulai dari level pusat hingga daerah hanya berperan sebagai sarana untuk mempermudah proses peningkatan kesejahteraan itu.
Memang, pada masa-masa sebelumnya pembangunan dan investasi lebih banyak terserap di sekitar Jabodetabek, tetapi pada masa-masa berikutnya diharapkan investasi lebih merata sehingga mampu mendorong kemajuan daerah secara lebih optimal lagi.
Sebagian perantau yang telah sukses pun kemungkinan juga akan kembali membangun daerah asalnya dengan investasi yang mereka peroleh dari jaringan usaha atau pekerjaannya di tanah rantau. Jadi, merantau atau bermigrasi bukan hanya menjadi hal buruk bagi daerah yang ditinggalkan, melainkan menjadi proses memupuk keberhasilan secara bertahap dalam jangka panjang. (LITBANG KOMPAS)