Perundungan dan Kekerasan Picu Gejala Depresi Calon Dokter Spesialis
›
Perundungan dan Kekerasan Picu...
Iklan
Perundungan dan Kekerasan Picu Gejala Depresi Calon Dokter Spesialis
Peserta program pendidikan dokter spesialis masih mengalami perundungan dan kekerasan hingga membuat mereka depresi.
Oleh
PRADIPTA PANDU, DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya tekanan sosial menjadi salah satu faktor yang memicu peserta program pendidikan dokter spesialis atau PPDS mengalami gejala depresi. Tekanan sosial ini khususnya datang dari senior yang kerap melakukan perundungan dan kekerasan.
Adanya gejala depresi ini terungkap dalam hasil skrining atau penapisan yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait kesehatan jiwa peserta PPDS. Hasil skrining di 28 rumah sakit vertikal ini menemukan bahwa 22,4 persen peserta PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi dan 3,3 persen di antaranya ingin mengakhiri hidup atau melukai diri sendiri.
Marcelius Patria Prabaniswara mengaku pernah mengalami gejala depresi saat menjadi peserta PPDS ortopedi dan traumatologi di salah satu universitas negeri di Yogyakarta pada 2019 akhir. Saat menempuh PPDS selama empat semester sebelum akhirnya mengundurkan diri, Marcel kerap menjadi korban perundungan dan kekerasan oleh para seniornya.
”Menjadi dokter residen penuh dengan tekanan dari senior dan dokter konsulen. Ketika kami melakukan kesalahan dan senior tidak suka, kami mendapat penghakiman dalam kegiatan yang disebut parade pada sore hari setelah layanan poliklinik tutup pukul 16.00 WIB,” ujarnya, Rabu (17/4/2024).
Sejak semester awal, Marcel sudah mendapat perundungan dari yang sifatnya ringan hingga berat. Salah satu contohnya, Marcel dan dokter residen lainnya kerap mendapat cacian, makian, serta kata-kata kasar dari senior hanya karena tidak mengangkat telepon atau terlambat membalas pesan singkat Whatsapp lebih dari satu menit.
Senior di tempat Marcel melakukan PPDS juga tidak menoleransi kesalahan sedikit pun yang dilakukan dokter residen sebagai yuniornya. Apabila hal tersebut terjadi, yunior akan mendapat hukuman fisik, seperti push up. Bahkan, tidak sedikit senior yang melakukan kekerasan, seperti melempar benda keras, menampar, menendang, hingga memukul yuniornya.
”Saat itu, saya bisa tidak tidur tujuh hari. Padahal, kurang tidur ini berkaitan erat dengan gejala depresi. Ketika saya dipersekusi, saya sempat mendiagnosis sendiri mungkin saya sudah depresi berat. Sebab, ketika mengunjungi ruang ICU saya merasa bahwa mereka lebih bahagia dari kehidupan saya,” tuturnya.
Berbagai tekanan seperti perundungan inilah yang membuat Marcel tidak menyelesaikan PPDS dan memutuskan mengundurkan diri pada semester empat. Ironisnya, pihak universitas memberikan catatan bahwa alasan pengunduran diri tersebut karena Marcel dianggap malas dan tidak menjalankan penugasan dengan benar.
”Sebenarnya, dokter spesialis tahu ada perundungan dan kekerasan dalam kegiatan parade karena sudah menjadi kebiasaan. Akan tetapi, mereka seolah-olah membiarkan dan kegiatan ini diadakan pada sore hari di luar jam kerja. Banyak dari kami yang juga tidak berani melawan karena akan memengaruhi nilai dan jenjang karier ke depan,” ungkap Marcel.
Pengakuan serupa saat menjalani PPDS juga disampaikan EG (40), salah satu dokter spesialis di Jawa Tengah. Ia mengakui tekanan sebagai peserta PPDS tidak sekadar dialami terkait pendidikannya saja, melainkan juga tekanan dari seniornya.
Pada saat itu, ia bahkan sedang hamil. Namun, itu tidak membuat tekanan yang didapatkannya berkurang. Dalam ”tradisi” di perguruan tingginya, setiap mahasiswa PPDS diminta untuk rutin menemui profesor yang mengampu bidang yang dijalaninya. ”Ini bukan untuk bimbingan, tapi istilahnya seperti sowan (menghadap). Itu kita harus membawa bingkisan atau makanan,” tuturnya.
Banyak dari kami yang juga tidak berani melawan karena akan memengaruhi nilai dan jenjang karier ke depan.
Namun, menurut EG, hal itu seharusnya tidak diperlukan sehingga ia enggan untuk melakukan ”tradisi” tersebut. Hal inilah yang membuat dia sering mendapat perlakuan buruk dari seniornya tersebut. Perundungan dalam bentuk verbal sering ia dapatkan.
Bahkan, beberapa kali ia sempat dihambat dalam proses pendidikannya. Ia pun lebih sering ditugaskan untuk menjaga bangsal rumah sakit. Tekanan fisik dan mental yang dihadapi EG tersebut bahkan membuat EG mengalami keguguran kala itu.
Masalah global
Kondisi perundungan yang masih terjadi pada mahasiswa PPDS sangat rentan memicu terjadinya depresi. Sekalipun risiko depresi sangat bergantung pada setiap individu, dengan tekanan tugas terkait pendidikan, persoalan rumah tangga, juga sosial ekonomi yang dihadapi bisa semakin memicu terjadinya risiko depresi.
Kondisi depresi pada dokter PPDS atau dokter residen tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Sejumlah hasil penelitian dan jurnal internasional telah menunjukkan bahwa gejala depresi pada dokter residen telah menjadi permasalahan global.
Salah satu penelitian ini dipublikasikan di JAMA, 12 Mei 2016. Penelitian yang dilakukan berdasarkan tinjauan sistematis dan meta-analisis tersebut menunjukkan, prevalensi depresi atau gejala depresi pada dokter residen 28,8 persen. Itu berkisar 20,9 persen sampai 43,2 persen, bergantung pada instrumen yang digunakan.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, hasil skrining terkait kesehatan jiwa peserta PPDS dari Kemenkes dilakukan dengan metode kuesioner yang sudah terstandar. Sementara untuk menentukan hasil depresi ini dengan lebih pasti harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
”Apa yang dilakukan Kemenkes yaitu terlebih dahulu harus menyelamatkan mereka yang memiliki gejala ingin meninggal atau melukai diri sendiri dan dilakukan penanganan secara komprehensif. Kemudian, yang mengalami depresi berat juga harus ditangani, seperti diberikan obat,” katanya.
Selain itu, Nadia juga menyebut bahwa Kemenkes akan melakukan evaluasi terkait penyebab munculnya depresi dalam PPDS tersebut baik yang skala ringan, sedang, maupun berat. Semua faktor akan dievaluasi mulai dari aspek pendidikan, pelayanan kesehatan, ekonomi, hingga kasus perundungan yang dilaporkan jumlahnya masih terus bertambah.