Perbedaan Makin Tajam, AS-China Upayakan Titik Temu
›
Perbedaan Makin Tajam,...
Iklan
Perbedaan Makin Tajam, AS-China Upayakan Titik Temu
China berharap AS bisa memandang kemajuan yang dialami negeri itu lebih positif. Keduanya sepakat meneruskan dialog.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
BEIJING, JUMAT — Relasi antara Amerika Serikat dan China dalam berbagai masalah bilateral, regional, dan global masih menyisakan daftar panjang untuk dijembatani. Meski berkukuh pada posisi masing-masing, kedua negara tetap berupaya mengelola perbedaan agar tidak mengarah ke konflik terbuka.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tengah melawat ke China untuk mengupayakan komunikasi kedua negara tetap terbuka. Kepada Blinken, Presiden China Xi Jinping mengatakan, AS dan China seharusnya menjadi mitra, bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat manusia yang semakin kompleks. ”Kedua negara harus menjadi mitra, bukan saingan,” kata Xi, saat menerima di Aula Besar Rakyat di Beijing, Jumat (26/4/2024),
Mengutip laporan kantor berita China, Xinhua, Xi mengatakan, kedua negara seharusnya berkolaborasi untuk bisa mencapai kesuksesan dibanding saling menyakiti. Washington dan Beijing semestinya mencari titik temu dengan menjaga perbedaan ketimbang menekankan persaingan. Menurut Xi, planet Bumi cukup besar untuk mengakomodasi pembangunan bersama yang digagas China dan AS sehingga membawa dampak positif bagi semuanya.
”Saya mengusulkan rasa saling menghormati, hidup berdampingan secara damai, dan kerja sama yang saling menguntungkan menjadi tiga prinsip utama. Ini pembelajaran dari masa lalu dan panduan untuk masa depan,” kata Xi.
Ia juga meminta agar AS melihat perkembangan China melalui sudut pandang positif. Beijing senang melihat AS yang memiliki kepercayaan tinggi tinggi, terbuka, sejahtera, dan terus berkembang.
Kedua negara terus memperlihatkan arah kebijakan berbeda dalam berbagai isu, mulai kendaraan listrik, semikonduktor, media sosial, hingga masalah geopolitik termasuk Laut China Selatan, Selat Taiwan, dan invasi Rusia ke Ukraina. Situasi yang tegang akibat perbedaan kebijakan itu turut dirasakan banyak negara, termasuk sejumlah negara anggota ASEAN.
Sebelum bertemu Xi, Blinken bertemu Menlu China Wang Yi dan Menteri Keamanan Publik Wang Xiaohong. Dalam pertemuan itu, Wang Yi mengeluhkan sikap AS yang dinilai terlalu agresif dan menekan dalam beberapa masalah. Wang Yi menyoroti soal Laut China Selatan, Selat Taiwan, hak asasi manusia, dan hak menjalin hubungan dengan negara-negara yang memiliki kepentingan selaras dengan China.
”Hak pembangunan China yang sah telah ditekan secara tidak wajar. Kekhawatiran China selalu konsisten. Kami selalu menyerukan penghormatan terhadap kepentingan pokok satu sama lain dan mendesak AS untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri China, tidak menghambat pembangunan China, serta tidak melewati batas garis merah soal kedaulatan dan keamanan China,” kata Wang Yi.
Dengan berbagai tekanan AS terhadap China, ia mempertanyakan apakah komunikasi semacam ini perlu tetap dilanjutkan atau sebaliknya. ”Haruskah China dan AS tetap berada pada arah yang benar, yaitu bergerak maju dengan stabilitas atau kembali ke kondisi yang terpuruk?” katanya.
Sebelumnya Wang Yi juga memperingatkan bahwa tekanan AS bisa memicu kemerosotan perekonomian China dan bisa menjalar ke seluruh dunia. Meski ada faktor-faktor yang memperuncing hubungan ke dua negara, ia menilai hubungan China-AS mulai stabil.
Blinken menjawab kekhawatiran dan harapan China dengan menyatakan bahwa kedua negara berkomitmen menjaga serta memperkuat jalur komunikasi. Ini perlu agar miskomunikasi, salah persepsi, dan salah penghitungan bisa dihindari. ”Saya menantikan diskusi ini menjadi sangat jelas dan langsung mengenai bidang-bidang di mana kita memiliki perbedaan,” kata Blinken.
Dalam pertemuan itu, Blinken mengungkapkan ketidaksukaan AS atas dukungan China pada industri pertahanan Rusia. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Millter mengatakan, Blinken mengingatkan tentang bantuan industri persenjataan dan teknologi China pada Rusia yang membuat industri pertahanan Rusia tetap hidup dan bahkan membantu militer membalikkan situasi di Ukraina.
Sejumlah pejabat AS mengungkap, suplai teknologi dari sejumlah negara, salah satunya China, membuat industri persenjataan Rusia bisa bertahan. Suplai senjata bagi militer Rusia bahkan lebih stabil walaupun dikepung berbagai sanksi internasional. Mereka menyebut, impor peralatan mesin dari China telah membantu Rusia meningkatkan produksi rudal balistiknya.
Sementara Ukraina yang didukung sekutu Barat, termasuk AS dan Uni Eropa, terengah-engah menghadapi gempuran militer Rusia. Sekitar 30 persen wilayah Ukraina saat ini bahkan telah dikuasai sepenuhnya oleh militer Rusia.
Pemerintah China membantah industri milik negara menjadi penyuplai peralatan bagi industri pertahanan Rusia. Menurut Beijing, mereka tidak menyediakan persenjataan pada pihak mana pun dan mereka bukanlah produsen atau pihak yang terkait dalam krisis Ukraina.
Namun, Beijing menekankan, transaksi perdagangan normal antara sejumlah entitas bisnis China dan Rusia tidak boleh diganggu atau dibatasi.