Foto jurnalistik hampir selalu dituntut untuk menjadi rekaman realitas seasli-aslinya. Namun, dalam banyak hal, perlu ada kebijaksanaan dalam melakukannya, terutama kalau liputan itu menyangkut sebuah kerusuhan, apalagi kerusuhan yang berbau SARA.
Bahkan, dalam masyarakat yang secara pendidikan sudah maju pun, sebuah foto masih bisa memancing emosi tertentu. Foto yang merupakan berita berbahasa visual, dalam banyak hal bisa punya banyak tafsir, bergantung pada cara berpikir pembacanya.
Pada 30 Januari 1997 pagi, terjadi kerusuhan berbau SARA di Rengasdenglok, Jawa Barat. Waktu itu, ada dua bangunan ibadah dari dua agama berbeda dibakar atau dirusak massa. Saya memang memotret semua hal yang bisa saya potret, tetapi dalam pemuatannya, sikap Kompas sangat jelas: tak boleh memuat foto bangunan ibadah yang dirusak massa.