Fotografi manual adalah pelarian dari kenyataan bahwa teknologi fotografi digital sudah begitu canggih dan sempurna. Ketika film negatif berubah menjadi kartu memori yang mampu menyimpan ratusan hingga ribuan imaji, ketika proses transfer dari negatif foto menjadi gambar yang bisa disajikan adalah membuang-buang waktu karena bisa dilakukan dalam sekali duduk di depan komputer ataupun laptop, maka fotografi manual adalah sesuatu yang pantas ditinggalkan. Puluhan tahun fotografi digital berkembang, fotografi manual pun mulai terabaikan. Tidak ada lagi yang menjual film negatif atau slide, toko foto tidak lagi melayani proses cuci film karena ongkos produksi dan harga bahan kimia pengembang film tidak sebanding dengan film yang harus diproses.
Lalu kemudian, segelintir orang mulai suka dengan sesuatu yang lama. Diawali oleh remaja yang mungkin saja jenuh dengan hasil foto digital yang begitu-begitu saja, maka mereka lalu mencoba yang lain. Karena hanya ada pilihan kembali ke retro, maka mereka pun mencoba sensasi fotografi yang mungkin saja belum mereka alami ketika pertama kali mengoperasikan kamera. Fotografi manual, atau yang biasa disebut dengan fotografi analog, menemukan kehidupan kedua. Para fotografer yang galau ini akhirnya menemukan tempat singgah baru, menyelami dunia fotografi manual.
Sebenarnya, ini adalah hal yang tidak masuk akal. Jika dilihat dari operasional proses produksi sebuah fotografi manual, maka biayanya berlipat-lipat dari fotografi digital. Dengan kamera DLSR atau mirrorless, kita hanya mengeluarkan uang saat membeli kamera, lensa, dan kartu memori, itu saja. Ongkos tambahan dikeluarkan jika komponen kamera perlu perbaikan. Memang, harga peralatan fotografi digital lebih mahal dari kamera-kamera manual lama. Namun, jika dijabarkan modal untuk memproduksi karya fotografi manual, mungkin kita akan geleng-geleng kepala.