Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya lima tahun setelah pemerintahan ini berkuasa. Pemilu pada masa ini memiliki keunikan tersendiri daripada pemilu yang terjadi sebelum dan sesudahnya karena adanya kebijakan fusi partai sehingga pemilihan umum sejak tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga partai politik.
Pelaksanaan pemilu sendiri pada masa Orde Baru berlangsung enam kali, yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada Pemilu 1971, jumlah peserta masih cukup banyak, yakni 10 partai politik. Saat itu, Golongan Karya meraih suara terbanyak. Pemilu selanjutnya, dimulai sejak tahun 1977 hingga 1997, diikuti oleh tiga partai politik, yakni PPP, Golongan Karya, dan PDI. Pada pelaksanaan pemilu itu pula, Golongan Karya meraih suara terbanyak.
Pada masa itu terjadi penyederhanaan partai politik menjadi dua partai dan satu golongan karya, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Penyederhanaan atau penggabungan (fusi) partai pada tahun 1973 merupakan kebijakan Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan ini dianggap menjadi syarat utama dalam mencapai pembangunan ekonomi Indonesia.
Pada era 1971 sampai 1997, atau era Orde Baru, fokus pemotretan pemilu memang pada sosok utama Presiden Soeharto. Hampir semua foto headline Kompas memuat wajah Soeharto. Profil, langkah, dan gerak hingga senyuman Soeharto yang dingin menjadi konsumsi wajib media.
Orde Baru diharapkan tidak lagi berorientasi pada ideologi serta politik, tetapi pada program ekonomi. Menurut pemerintah Orde Baru, tidak stabilnya politik yang terjadi pada masa sebelumnya (Orde Lama) disebabkan oleh sistem kepartaian.
Partai politik saat itu sangat banyak sehingga menimbulkan banyak ideologi dan sekaligus kepentingan. Partai politik sulit terkontrol dan akhirnya timbul gerakan-gerakan yang membahayakan bangsa dan Negara. Hal tersebut yang melatarbelakangi perlunya melakukan fusi terhadap kendaraan politik tersebut. Fusi partai tahun 1973 oleh pemerintah tidak serta didasarkan pada persamaan ideologi, tapi pada persamaan program. Dengan begitu, diharapkan dapat membantu pemerintah untuk bersama-sama membangun Indonesia lebih baik.
Ada tiga partai muncul dari hasil kebijakan politik ini. Pertama adalah PPP. Partai ini berlandaskan nilai-nilai Islam, gabungan dari antara lain NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Kemudian PDI, partai ini berlandaskan pada nasionalisme. Partai ini gabungan antara lain PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
Adapun organisasi Golongan Karya (Golkar) sudah ada sejak 1964. Seperti namanya, Golongan Karya dianggap sebagai wadah orang-orang yang dianggap tidak berpolitik dan lebih mengedepankan karya, tergantung latar belakang individu tersebut, mulai dari sastrawan, petani, hingga TNI.
Pada masa Orde Baru atau selama kepemimpinan Presiden Soeharto, Golkar tampil sebagai alat kekuasaan rezim yang berkuasa. Pemilu dijalankan dengan penuh kendali oleh Golkar dan peserta pemilu lain memiliki keterbatasan dalam ekspresi politik. Pada masa itu, pegawai negeri sipil (ASN) ”diwajibkan” pemerintah Orde Baru mencoblos Golkar, yang menjadi salah satu modal pasti keunggulan elektabilitas Golkar di setiap pemilu.
Pemilu yang diselenggarakan selama era ini lebih merupakan mobilisasi massa dan belum menunjukkan bentuk partisipasi rakyat. Bahkan masih dinilai belum demokratis atau masih diselenggarakan dalam suasana yang kurang demokratis, seperti munculnya berbagai kecurangan dan ketidakadilan, tekanan, teror, dan intimidasi yang semuanya ditujukan untuk membantu kemenangan Golkar.
Masa Orde Baru ditandai dengan keterbatasan kebebasan berekspresi dan asosiasi politik. Kemenangan beruntun Golkar turut berperan melanggengkan kekuasaan Soeharto hingga bertahan 32 tahun. Partai-partai oposisi diawasi ketat dan kritik terhadap pemerintah sering kali diganjar hukuman. Pemilu dianggap sebagai alat legitimasi pemerintah, bukan sebagai ajang adu gagasan.
Pemilu era Orde Baru sering kali dituding mengalami manipulasi hasil dengan klaim bahwa Golkar selalu menang dengan margin yang sangat besar. Proses pemilihan umum dianggap tidak selalu mencerminkan kehendak rakyat sebenarnya.
Meski demikian, rakyat masih tetap bersemangat menggunakan hak suaranya pada pemilu era Orde Baru tersebut. Menjelang dan saat pencoblosan, masyarakat berduyun-duyun untuk mudik ke kampung halaman demi menggunakan hak pilihnya. Suasana lengang tergambar di pusat bisnis dan keramaian pada hari pencoblosan. Pemilih muda dari pelajar tingkat SMA hingga golongan pekerja dan masyarakat luas turut ambil bagian untuk memilih dalam pemilu.
Dilihat dari tingkat partisipasi rakyat dalam lima kali pemilu masa Orde Baru sejak 1971 hingga 1992, persentasenya cukup tinggi, yaitu rata-rata 90 persen. Pada masa tersebut, upaya rezim Orde Baru untuk memberikan legitimasi bagi pemerintahan dengan segala manipulasi dan represinya untuk memelihara stabilitas politik cukup berhasil. Hal ini karena bagi pemerintah saat itu, stabilitas politik sangat penting untuk mendorong pembangunan ekonomi yang ingin dicapai.