FotografiFoto CeritaArsip Foto ”Kompas”: Pemilu...
KOMPAS/PAT HENDRANTO
Bebas Akses

Arsip Foto ”Kompas”: Pemilu Era Orde Baru, Fusi Partai, dan Dominasi Golkar

Masa Orde Baru ditandai dengan keterbatasan kebebasan berekspresi dan asosiasi politik. Kemenangan beruntun Golkar turut berperan melanggengkan kekuasaan Soeharto hingga bertahan 32 tahun.

Oleh
RIZA FATHONI
· 4 menit baca
Presiden Soeharto dan Ibu Tien menuju tempat pemungutan suara di Jalan Cendana pada Pemilu 1971, Senin (5/7/1971). Dalam foto itu, tampak pula Eddie Nalapraya (sebelah kiri Bu Tien) dan Solihin GP (belakang Presiden Soeharto).
KOMPAS/PAT HENDRANTO

Presiden Soeharto dan Ibu Tien menuju tempat pemungutan suara di Jalan Cendana pada Pemilu 1971, Senin (5/7/1971). Dalam foto itu, tampak pula Eddie Nalapraya (sebelah kiri Bu Tien) dan Solihin GP (belakang Presiden Soeharto).

Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya lima tahun setelah pemerintahan ini berkuasa. Pemilu pada masa ini memiliki keunikan tersendiri daripada pemilu yang terjadi sebelum dan sesudahnya karena adanya kebijakan fusi partai sehingga pemilihan umum sejak tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga partai politik.

Pelaksanaan pemilu sendiri pada masa Orde Baru berlangsung enam kali, yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada Pemilu 1971, jumlah peserta masih cukup banyak, yakni 10 partai politik. Saat itu, Golongan Karya meraih suara terbanyak. Pemilu selanjutnya, dimulai sejak tahun 1977 hingga 1997, diikuti oleh tiga partai politik, yakni PPP, Golongan Karya, dan PDI. Pada pelaksanaan pemilu itu pula, Golongan Karya meraih suara terbanyak.

Sejumlah simpatisan OPP pemilu naik ke atas patung Merdeka atau Mati di Jalan Basuki Rachmat, Surabaya, Jawa Timur, untuk memasang gambar kampanye, Kamis (2/4/1987).
KOMPAS/AW SUBARKAH

Sejumlah simpatisan OPP pemilu naik ke atas patung Merdeka atau Mati di Jalan Basuki Rachmat, Surabaya, Jawa Timur, untuk memasang gambar kampanye, Kamis (2/4/1987).

Pada masa itu terjadi penyederhanaan partai politik menjadi dua partai dan satu golongan karya, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Penyederhanaan atau penggabungan (fusi) partai pada tahun 1973 merupakan kebijakan Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan ini dianggap menjadi syarat utama dalam mencapai pembangunan ekonomi Indonesia.

Pada era 1971 sampai 1997, atau era Orde Baru, fokus pemotretan pemilu memang pada sosok utama Presiden Soeharto. Hampir semua foto headline Kompas memuat wajah Soeharto. Profil, langkah, dan gerak hingga senyuman Soeharto yang dingin menjadi konsumsi wajib media.

Kompas/PH/KR/RB (Pat Hendranto/Kartono Ryadi/Robby Sgiantoro)
JESS

Kompas/PH/KR/RB (Pat Hendranto/Kartono Ryadi/Robby Sgiantoro)

Repro kliping harian <i>Kompas</i>
KOMPAS/PAT HENDRANTO

Repro kliping harian Kompas

Presiden dan Ny Tien Soeharto melemparkan senyum cerah ketika memasukkan surat suara Pemilu 1992 di TPS 02 Cendana, Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta, Selasa (9/6/1992).
KOMPAS/JB SURATNO

Presiden dan Ny Tien Soeharto melemparkan senyum cerah ketika memasukkan surat suara Pemilu 1992 di TPS 02 Cendana, Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta, Selasa (9/6/1992).

Orde Baru diharapkan tidak lagi berorientasi pada ideologi serta politik, tetapi pada program ekonomi. Menurut pemerintah Orde Baru, tidak stabilnya politik yang terjadi pada masa sebelumnya (Orde Lama) disebabkan oleh sistem kepartaian.

Partai politik saat itu sangat banyak sehingga menimbulkan banyak ideologi dan sekaligus kepentingan. Partai politik sulit terkontrol dan akhirnya timbul gerakan-gerakan yang membahayakan bangsa dan Negara. Hal tersebut yang melatarbelakangi perlunya melakukan fusi terhadap kendaraan politik tersebut. Fusi partai tahun 1973 oleh pemerintah tidak serta didasarkan pada persamaan ideologi, tapi pada persamaan program. Dengan begitu, diharapkan dapat membantu pemerintah untuk bersama-sama membangun Indonesia lebih baik.

Ketiga organisasi peserta pemilihan umum (OPP) mengawali kampanye perdana, Minggu (27/4/1997). Di Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, bendera ketiga kontestan dipasang berjajar rapi oleh Pemda DKI Jakarta.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Ketiga organisasi peserta pemilihan umum (OPP) mengawali kampanye perdana, Minggu (27/4/1997). Di Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, bendera ketiga kontestan dipasang berjajar rapi oleh Pemda DKI Jakarta.

Ada tiga partai muncul dari hasil kebijakan politik ini. Pertama adalah PPP. Partai ini berlandaskan nilai-nilai Islam, gabungan dari antara lain NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Kemudian PDI, partai ini berlandaskan pada nasionalisme. Partai ini gabungan antara lain PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.

Adapun organisasi Golongan Karya (Golkar) sudah ada sejak 1964. Seperti namanya, Golongan Karya dianggap sebagai wadah orang-orang yang dianggap tidak berpolitik dan lebih mengedepankan karya, tergantung latar belakang individu tersebut, mulai dari sastrawan, petani, hingga TNI.

Pada masa Orde Baru atau selama kepemimpinan Presiden Soeharto, Golkar tampil sebagai alat kekuasaan rezim yang berkuasa. Pemilu dijalankan dengan penuh kendali oleh Golkar dan peserta pemilu lain memiliki keterbatasan dalam ekspresi politik. Pada masa itu, pegawai negeri sipil (ASN) ”diwajibkan” pemerintah Orde Baru mencoblos Golkar, yang menjadi salah satu modal pasti keunggulan elektabilitas Golkar di setiap pemilu.

Beberapa bilik tempat pemungutan suara (TPS) di depan Hotel Indonesia. Sejak Sabtu (30/4/1977), bermunculan bilik-bilik TPS di Jakarta dan tentu di seluruh Indonesia untuk pemilu yang dimulai hari Senin (2/5/1977). Jalur lambat sepanjang Jalan Thamrin ditutup. Di sana ditempatkan kotak-kotak TPS dan kursi- kursi. Trotoar depan Hotel Indonesia digunakan pula untuk TPS.
KOMPAS/CHRYS KELANA

Beberapa bilik tempat pemungutan suara (TPS) di depan Hotel Indonesia. Sejak Sabtu (30/4/1977), bermunculan bilik-bilik TPS di Jakarta dan tentu di seluruh Indonesia untuk pemilu yang dimulai hari Senin (2/5/1977). Jalur lambat sepanjang Jalan Thamrin ditutup. Di sana ditempatkan kotak-kotak TPS dan kursi- kursi. Trotoar depan Hotel Indonesia digunakan pula untuk TPS.

Seorang ibu tampak bersama anaknya di dalam bilik suara saat pelaksanaan Pemilu 1977 di Jakarta, Kamis (29/5/1997). Ibu kota Jakarta diliputi suasana sepi saat warga mendatangi tempat pemungutan suara di lingkungan masing-masing.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Seorang ibu tampak bersama anaknya di dalam bilik suara saat pelaksanaan Pemilu 1977 di Jakarta, Kamis (29/5/1997). Ibu kota Jakarta diliputi suasana sepi saat warga mendatangi tempat pemungutan suara di lingkungan masing-masing.

Pemilu yang diselenggarakan selama era ini lebih merupakan mobilisasi massa dan belum menunjukkan bentuk partisipasi rakyat. Bahkan masih dinilai belum demokratis atau masih diselenggarakan dalam suasana yang kurang demokratis, seperti munculnya berbagai kecurangan dan ketidakadilan, tekanan, teror, dan intimidasi yang semuanya ditujukan untuk membantu kemenangan Golkar.

Masa Orde Baru ditandai dengan keterbatasan kebebasan berekspresi dan asosiasi politik. Kemenangan beruntun Golkar turut berperan melanggengkan kekuasaan Soeharto hingga bertahan 32 tahun. Partai-partai oposisi diawasi ketat dan kritik terhadap pemerintah sering kali diganjar hukuman. Pemilu dianggap sebagai alat legitimasi pemerintah, bukan sebagai ajang adu gagasan.

Atribut pemilihan umum di Jakarta. Kampanye Golkar di Jakarta pada Pemilu 1987.
KOMPAS/KARTONO RYADI

Atribut pemilihan umum di Jakarta. Kampanye Golkar di Jakarta pada Pemilu 1987.

Seusai para pemilih menggunakan haknya pada Pemilu 1992, Selasa (9/6/1992), petugas di TPS mulai melakukan penghitungan suara. Dari pengamatan sementara di TPS-TPS se-DKI, Golkar terlihat unggul.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Seusai para pemilih menggunakan haknya pada Pemilu 1992, Selasa (9/6/1992), petugas di TPS mulai melakukan penghitungan suara. Dari pengamatan sementara di TPS-TPS se-DKI, Golkar terlihat unggul.

Dilihat dari tingkat partisipasi rakyat dalam lima kali pemilu masa Orde Baru sejak 1971 hingga 1992, persentasenya cukup tinggi, yaitu rata-rata di atas 90 persen.
KOMPAS/KARTONO RYADI

Dilihat dari tingkat partisipasi rakyat dalam lima kali pemilu masa Orde Baru sejak 1971 hingga 1992, persentasenya cukup tinggi, yaitu rata-rata di atas 90 persen.

Petugas di TPS mulai melakukan penghitungan suara, Selasa (9/6/1992). Dari pengamatan sementara di TPS-TPS se-DKI, Golkar terlihat unggul.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Petugas di TPS mulai melakukan penghitungan suara, Selasa (9/6/1992). Dari pengamatan sementara di TPS-TPS se-DKI, Golkar terlihat unggul.

Pemilu era Orde Baru sering kali dituding mengalami manipulasi hasil dengan klaim bahwa Golkar selalu menang dengan margin yang sangat besar. Proses pemilihan umum dianggap tidak selalu mencerminkan kehendak rakyat sebenarnya.

Meski demikian, rakyat masih tetap bersemangat menggunakan hak suaranya pada pemilu era Orde Baru tersebut. Menjelang dan saat pencoblosan, masyarakat berduyun-duyun untuk mudik ke kampung halaman demi menggunakan hak pilihnya. Suasana lengang tergambar di pusat bisnis dan keramaian pada hari pencoblosan. Pemilih muda dari pelajar tingkat SMA hingga golongan pekerja dan masyarakat luas turut ambil bagian untuk memilih dalam pemilu.

Stasiun Gambir dipenuhi pemudik menjelang pemilu, Senin (2/5/1977). Puluhan ribu penduduk yang menetap di Ibu Kota sejak minggu lalu mengalir pulang ke tempat asal untuk memenuhi hak pilihnya dalam pemilu 2 Mei mendatang. Mereka yang mudik ini kebanyakan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mayoritas dari sekitar Surakarta dan Yogyakarta. Stasiun Gambir yang setiap hari memberangkatkan empat kereta api ke Kutoarjo, Surabaya, Sala, dan Yogyakarta penuh sesak penumpang. Mereka yang kurang ”sabar” antre karcis mengambil jalan potong membeli karcis catutan, yang harganya rata-rata Rp 500 di atas harga resmi.
KOMPAS/JB SURATNO

Stasiun Gambir dipenuhi pemudik menjelang pemilu, Senin (2/5/1977). Puluhan ribu penduduk yang menetap di Ibu Kota sejak minggu lalu mengalir pulang ke tempat asal untuk memenuhi hak pilihnya dalam pemilu 2 Mei mendatang. Mereka yang mudik ini kebanyakan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mayoritas dari sekitar Surakarta dan Yogyakarta. Stasiun Gambir yang setiap hari memberangkatkan empat kereta api ke Kutoarjo, Surabaya, Sala, dan Yogyakarta penuh sesak penumpang. Mereka yang kurang ”sabar” antre karcis mengambil jalan potong membeli karcis catutan, yang harganya rata-rata Rp 500 di atas harga resmi.

Belasan ribu warga Jakarta yang akan memberikan suaranya di kampung halaman. hari Minggu (7/6/1992), memadati Terminal Bus Pulogadung, Jakarta. Luapan arus pemudik yang di luar perkiraan ini menyebabkan tersendatnya arus masuk-keluar bus ke terminal. Bus-bus dari arah Bekasi terlambat masuk karena terjadi kemacetan sepanjang 5 kilometer ke terminal.
KOMPAS/KARTONO RYADI

Belasan ribu warga Jakarta yang akan memberikan suaranya di kampung halaman. hari Minggu (7/6/1992), memadati Terminal Bus Pulogadung, Jakarta. Luapan arus pemudik yang di luar perkiraan ini menyebabkan tersendatnya arus masuk-keluar bus ke terminal. Bus-bus dari arah Bekasi terlambat masuk karena terjadi kemacetan sepanjang 5 kilometer ke terminal.

Para karyawan instansi kompleks perkantoran Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, antre di TPS Pemilu 1992, Selasa (9/6/1992) pagi.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Para karyawan instansi kompleks perkantoran Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, antre di TPS Pemilu 1992, Selasa (9/6/1992) pagi.

Hampir semua penduduk yang mempunyai hak memberikan suara sejak pukul 08.00 membanjiri TPS dalam Pemilu 1977, Selasa (3/5/1977).
KOMPAS/CHRIS KELANA

Hampir semua penduduk yang mempunyai hak memberikan suara sejak pukul 08.00 membanjiri TPS dalam Pemilu 1977, Selasa (3/5/1977).

Wajah-wajah cerah para pemilih juga terlihat dalam antrean panjang para pelajar SLTA di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Selasa (9/6/1992).
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Wajah-wajah cerah para pemilih juga terlihat dalam antrean panjang para pelajar SLTA di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Selasa (9/6/1992).

Untuk menjaga kebebasan memilih, para suster di RS Stella Maris, Ujungpandang, ini menutupi pencoblos tersebut dengan kain sebagai pengganti bilik, Selasa (3/5/1977).
ARSIP KOMPAS

Untuk menjaga kebebasan memilih, para suster di RS Stella Maris, Ujungpandang, ini menutupi pencoblos tersebut dengan kain sebagai pengganti bilik, Selasa (3/5/1977).

Hampir semua penduduk yang mempunyai hak memberikan suara sejak pagi pukul 08.00 membanjiri tempat-tempat pemberian suara (TPS) untuk Pemilu 1977. Jalanan sepi, seperti tampak pada pertokoan Pasar Baru yang menjadi mati. Tidak mustahil pula kalau banyak orang yang tidak siap sedia bahan makanan menjadi kelabakan karena semua pasar sepi.
KOMPAS/CHRIS KELANA

Hampir semua penduduk yang mempunyai hak memberikan suara sejak pagi pukul 08.00 membanjiri tempat-tempat pemberian suara (TPS) untuk Pemilu 1977. Jalanan sepi, seperti tampak pada pertokoan Pasar Baru yang menjadi mati. Tidak mustahil pula kalau banyak orang yang tidak siap sedia bahan makanan menjadi kelabakan karena semua pasar sepi.

Dilihat dari tingkat partisipasi rakyat dalam lima kali pemilu masa Orde Baru sejak 1971 hingga 1992, persentasenya cukup tinggi, yaitu rata-rata 90 persen. Pada masa tersebut, upaya rezim Orde Baru untuk memberikan legitimasi bagi pemerintahan dengan segala manipulasi dan represinya untuk memelihara stabilitas politik cukup berhasil. Hal ini karena bagi pemerintah saat itu, stabilitas politik sangat penting untuk mendorong pembangunan ekonomi yang ingin dicapai.

Memuat data...
Memuat data...
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000