Mengarahkan Kedaulatan atas Teknologi
Gairah untuk meniti salah satu bidang ilmu atau menjalani sebuah pilihan aktivitas dalam kehidupan kerap kali baru dimulai setelah mencobanya. Minat besar dan kemampuan bakal cenderung semakin terasah menyusul praktik langsung dengan pendampingan yang dilakukan terus-menerus.
Ini seperti dialami Rian Wardana (20), mahasiswa Jurusan Teknik Elektro, Universitas Indonesia. Rian mengenali pilihan ilmu dan jalan hidup yang ditekuninya dari interaksinya bersama Komunitas Robot Indonesia (KRI). Kini, Rian seringkali dibidik pencari tenaga kerja dan juga tengah jadi tenaga kerja profesional.
Rian bergabung bersama komunitas itu sejak tahun 2012 karena minat besarnya pada teknologi.
Keterpukauan, sekaligus semacam asumsi bahwa sejumlah aplikasi teknologi relatif sulit dikuasai, sempat dirasa Rian. ”Kini, setelah prinsipnya diketahui, maka itu gampang saja,” sebut Rian, akhir Januari lalu.
Ia mencontohkan asumsinya dengan teknologi pengontrol jarak jauh siaran televisi berbasis ponsel pintar. Dia mengetahui prinsip beroperasinya aplikasi teknologi tersebut setelah bergabung dalam komunitas tersebut. Dari situ, Rian berkesimpulan, teknologi bukanlah hal sulit untuk dikuasai.
Tentu saja, hal paling penting dari interaksinya dalam komunitas tersebut adalah fokus yang diperolehnya pada jurusan perkuliahan yang dipilihnya.
Apa yang dialami Rian juga dialami Boy Adam (17), Aulia S Rosyad (17), dan M Bondan Vitto (16). Ketiganya merupakan pelajar SMA Negeri 70, Jakarta, dan juga anggota KRI. Mereka bergabung dengan KRI menyusul kegiatan ekstra kurikuler robotik di sekolahnya.
Ketiganya kini sudah mantap memilih jurusan teknik saat kelak melanjutkan ke perguruan tinggi. Bahkan, dua di antara mereka sudah lebih spesifik menentukan bidang ilmu teknik elektro dan teknik informatika sebagai bidang ilmu yang selanjutnya bakal ditekuni.
Pendiri KRI, Adiatmo Rahardi, menyebutkan, salah satu tujuan komunitas tersebut adalah guna menyiapkan para insinyur Indonesia sejak dini. ”Indonesia itu kekurangan insinyur,” kata Adiatmo alias Adi.
Bingung ”coding”
Penyiapan itu dilakukan dengan sedini mungkin mengarahkan anak- anak Indonesia untuk mengenali bidang-bidang teknologi dan sejumlah disiplin ilmu terkait. ”Anak-anak diarahkan dengan lebih baik agar tidak seperti saya dulu saat kuliah. Dulu, saya bingung saat menerima mata kuliah coding (bahasa pemrograman komputer), dan merasa salah jurusan. Nah, kami, di komunitas ini, meminimalkan hal-hal tersebut,” sebut Adi.
Ini juga menjadi semacam alternatif kegiatan ekstra kurikuler ataupun semacam ”kursus” yang bisa dipilihkan orangtua bagi anak-anak mereka. Pasalnya, relatif tidak banyak wadah untuk menaungi minat dan mengarahkan kemampuan anak- anak pada bidang teknologi jika dibandingkan dengan ketertarikan di bidang lain, semisal musik dan olahraga.
Mereka pun kerap melakukan sejumlah kegiatan yang terkait dengan isu-isu terkait. Januari lalu, mereka menggelar pelatihan aplikasi teknologi 3D printing yang diselenggarakan di @america dalam salah satu pusat belanja di Jakarta.
Adi, bersama sejumlah anggota dan Sekretaris Jenderal KRI, Zerfani Yulias, mengawal acara tersebut. Zerfani sehari-hari menjadi penyedia sejumlah peralatan yang dibutuhkan untuk membuat robot.
Menurut dia, setelah memantik gairah dan melakukan edukasi terkait robot, hal penting yang akan dilakukan adalah menentukan target dan arah yang dijalani.
Kegiatan itu menarik seorang mahasiswi teknik elektro Institut Teknologi Bandung, Sachia Teresa. Ia berkonsultasi dengan Adi, perihal niatan untuk menggelar semacam festival robot.
Sachia tidak menyangka, murid-murid SMP dan SMA yang menjadi anggota komunitas tersebut sudah relatif piawai menguasai dan mengaplikasikan teknologi robotik. ”Anak SMA dan SMP sekarang ini sudah keren banget,” ujarnya.
Sachia menambahkan, KRI sebagai komunitas dengan banyak anggota yang tersebar di Indonesia membuatnya harus menimba ilmu terkait pengalaman pengelolaan dan sebagainya. Hal ini termasuk dalam salah satu fokus KRI yang juga mengajarkan kemampuan membangun perangkat keras yang dibutuhkan.
Ribuan anggota
KRI dimulai dari inisiatif Adi tatkala memulai grup di laman Facebook. Adi, yang sebelumnya bekerja di majalah CHIP Indonesia dan memoderatori forum sejenis, kaget saat menghadapi 100 orang bergabung dalam waktu tiga hari setelah grup itu dibuka.
Adi dan sejumlah rekannya lalu berpikir untuk bergerak lebih serius dengan membentuk komunitas bersama para anggota yang mengapresiasi robot. Pada 24 Desember 2011, KRI ditahbiskan di Universitas Telkom, Bandung, setelah sekitar 500 orang dari beberapa daerah di Indonesia turut terlibat.
Pada 24 Desember 2016, KRI mengubah struktur kepengurusan, dengan rantai birokrasi meniru sistem korporasi. Saat ini, sekitar 12.000 orang terkait dalam komunitas tersebut.
Untuk kepentingan pendataan, mereka akan menerbitkan kartu anggota dan pengaktifan Forum KomunitasRobot.com dengan 10.000 anggota yang bisa diakomodasi. Lewat pelantar itu, KRI akan lebih fokus pada upaya kolaborasi dengan sejumlah pihak.
Ini dilakukan untuk mengatasi sejumlah tantangan, di antaranya yang cukup besar adalah relatif masih terceraiberainya sejumlah pusat pengembangan teknologi robotik. Hal itu termasuk yang dilakukan di sejumlah kampus, sehingga membuat pencapaian Indonesia cenderung masih kalah jika dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.
Kolaborasi ini, pada gilirannya, diharapkan pula mendorong pemerintah untuk berpihak pada kegiatan pengembangan teknologi robotik, seperti terjadi di sejumlah negara lain. (INGKI RINALDI)